COWASJP.COM – Di Jakarta, menu ini hanya dijual di restoran khusus. Mahal pula. Di Madiun, saya memperolehnya di warung pinggir jalan. Rasa bintang lima, harga kaki lima.
***
BERBAHAGIALAH orang Madiun karena punya kota yang hidup hingga tengah malam dan warung pecel porang. Saya menikmati dua-duanya malam ini: Makan pecel porang sambil menikmati keindahan Jalan Pahlawan.
Begitu keluar dari Stasiun Madiun, saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju Hotel Amaris, budget hotel yang saya pilih untuk menginap. Di Google Maps, jaraknya dari stasiun tertulis 900 meter. Tidak terlalu jauh.
Beberapa tukang ojek di halaman parkir menawarkan jasanya. Saya berusaha tidak tergoda. Saya harus jalan kaki. Seharian ini saya kurang banyak membakar kalori. Hanya duduk dan tidur sepanjang perjalanan.
Tiba-tiba terlintas rekaman para pendukung pasangan calon presiden - wakil presiden nomor urut 1: Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang terpaksa berjalan kaki hingga 5 Km menuju Jakarta International Stadium, pada kampanye akbar, Sabtu, 10 Februari yang lalu.
Saya lihat dalam siaran langsung itu, banyak juga yang usianya lebih tua dari saya. Berarti 900 meter belum ada apa-apanya. Pasti kuat.
Baru berjalan 100 meter, saya lihat seorang bapak tua yang selonjoran di atas bangku becaknya. Kali ini, saya tidak bisa menahan godaan.
Segera saya terima tawarannya untuk mengantar ke hotel. Tapi saya minta diantar lebih dulu mencari pecel yang paling enak, tetapi tidak jauh dari hotel.
''Kalau begitu kita ke Pecel 99 saja. Lokasinya satu jalur,'' saran Pak Karni.
Sepanjang jalan, Pak Karni pun bercerita tentang nasib tukang becak di Madiun yang kian sulit sejak beroperasinya ojek online. Saya tidak bisa berkomentar. Terus terang saya tidak punya solusi bagi Pak Karni yang usianya sudah lanjut untuk menghadapi disrupsi teknologi.
''Nah itu hotel Amaris sudah kelihatan. Setelah melewati hotel, kita sampai ke Pecel 99,'' kata Pak Karni membuyarkan lamunan saya.
Saat yang sama saya membaca tomprang warung kecil dengan tulisan ''Pecel Porang'' yang cukup mencolok.
''Stop Pak. Ayo kita makan bareng di sini saja,'' kata saya sambil mengarahkan telunjuk ke warung itu.
''Gak jadi ke Pecel 99?'' tanyanya.
''Sepertinya ini lebih menarik. Saya belum makan pecel porang,'' jawab saya.
Porang adalah tanaman umbi-umbian dari spesies Amorphophallus muelleri. Porang dikenal juga dengan nama iles-iles dan suweg. Di Jepang, tepung porang menjadi bahan baku makanan shirataki. Dalam produksi mi, tepung porang digunakan sebagai campuran tepung terigu agar tekstur mi mengembang ketika dimasak dan lembut saat dikonsumsi.
''Pecel porang masih ada. Tapi nasi porang sudah habis. Hanya ada nasi beras,'' kata Bu Lilik, pemilik warung.
Pecel porang ternyata sama dengan pecel pada umumnya. Hanya sambalnya menggunakan tambahan porang. Karena porang tidak memiliki rasa dan aroma, saya akhirnya gagal menemukan keunikan rasa pecel porang. Mungkin akan berbeda kalau nasinya porang, bukan nasi beras.
''Kami juga menyediakan dawet porang,'' kata Bu Lilik.
Dawet porang adalah dawet yang cendolnya terbuat dari tepung porang. Pada umumnya, cendol dibuat dari tepung umbi garut (kerut). Logikanya, kandungan glucomanan pada porang akan membuat cendol itu lebih lembut.
Ternyata benar. Dawet porang lebih enak dibanding dawet biasa. Benar-benar lembut dan lumer di lidah. Segelas ternyata kurang.
Dawet porang buatan Bu Lilik. Lebih enak dari dawet biasa. (FOTO: Joko Intarto)
''Siapa yang bikin dawet porang?'' tanya saya.
''Dawet itu buatan saya sendiri. Di Madiun baru saya yang menjual dawet porang,'' jawab Bu Lilik.
Keahlian Bu Lilik membuat dawet porang dikuasai dua tahun lalu, melalui pelatihan yang diselenggarakan Pendekar, nama komunitas UMKM Porang di Madiun. Setiap peserta diarahkan pelatih untuk memproduksi satu jenis makanan berbahan porang. Produk itu kemudian dipasarkan bersama-sama.
''Sambal porang ini diproduksi UMKM lain. Krupuk porang diproduksi UMKM yang lain lagi. Es krim porang dibuat UMKM lain lagi. Semua bisa dibeli di sini,'' papar Bu Lilik.
''Es krim porang? Seperti apakah es krimnya?'' tanya saya.
''Ya seperti es krim biasa. Bahannya porang dengan buah-buahan asli, bukan perisa,'' jelas Bu Lilik.
Saya kemudian mencicipi satu cup es krim durian. Rasanya benar-benar maknyusssss. Selain buah durian memang enak, tepung porang yang digunakan juga membuat es krim itu terasa lebih lembut.
Tidak terasa sudah satu jam saya di warung Bu Lilik. Malam sudah larut. Saya harus segera ke hotel untuk beristirahat. Pagi ini saya harus presentasi penyusunan annual report.
Sebagai oleh-oleh saya minta dibungkuskan 4 paket nasi porang, dua paket sambal pecel porang dan empat paket kerupuk porang.
Nasi porang ini bagus untuk yang harus diet karena diabetes, atau harus menurunkan berat badan.
''Bayarnya bisa pakai QRIS?'' tanya saya.
''Cash saja,'' jawab Bu Lilik.
Jawaban Bu Lilik ini membuat saya heran. Sebab, warungnya di-branding dengan merk BRImo, produk mobile banking BRI. Mengapa sistem transaksinya masih manual?
Untung saya punya uang cash di dompet. (*)