COWASJP.COM – JAKARTA-Surabaya makin pendek. Sehari bisa ditempuh pulang pergi. Jika ingin pagi ketemu sore, pilihannya naik pesawat. Jika ingin malam ketemu malam bisa kereta 8 jam dari stasiun Gubeng Surabaya ke Gambir Jakarta.
Semuanya enak. Bisa dinikmati meski sedang puasa Ramadan.
Saat dalam perjalanan seperti itu pikiran langsung menerawang jauh ke belakang. Saat di mana rasa kecepatan dalam sebuah perjalanan tidak secepat sekarang.
Mungkin nanti, ketika mobilitas makin cepat dengan perkembangan teknologi, pelajaran syukur itu seharusnya makin membuncah. Memenuhi laut kesadaran kita sebagai muslim.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (1): Puasa Meredefinisi Keseimbangan Kehidupan
Almaghfurullah Mbah Yai Musta'in Romly, Peterongan, Jombang, allahu yarham, pernah dawuh bahwa suatu saat di antara para santri pasti ada yang melampaui apa yang diinginkan, maka saat itulah akan muncul tabir tipis di hatinya. Makin orang itu beriman, makin tipis pula tabir itu.
Tapi ingat, dawuh yai, makin tipis tabir itu maka bahayanya bagi hati makin tinggi. Namun santri seperti kami kala itu juga diberi resepnya oleh beliau. "Selalu bersyukur!"
Maka, ketika merenungi perjalanan Jakarta-Surabaya dan sebaliknya yang begitu cepat, sangat benar apa yang didawuhkan Yai itu. Saat merasa perjalanan begitu mudah, di sitilu tabir tipis berupa kesombongan muncul. Walau pun hanya terlintas sedikit saja karena mampu menempuh sehari bolak balik jarak 2000 km pulang pergi.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (2): Melaut di Samudera Kesunyian Ramadan
Beruntung, saat ini puasa. Setidaknya rem jiwa masih baru diservis. Sehingga rasa syukur langsung menebas tabir tipis kesombongan itu.
Dalam membingkai rasa syukur di bulan Ramadan, kita memulai perjalanan dengan merenungi hakekat puasa yang lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga. Ini adalah masa introspeksi diri, memetik hikmah dari kesederhanaan, dan merajut benang-benang spiritualitas yang menghubungkan kita dengan penciptaan yang lebih luas.
Ketika siang menjulang tinggi, dengan terik matahari yang membakar, puasa mengajarkan tentang ketabahan dan kesabaran. Ia bagaikan pematung yang dengan cermat mengukir karakter, mengasah setiap sudutnya dengan detail. Menghilangkan kelebihan untuk menciptakan karya seni; sebuah kepribadian yang lebih tangguh dan tulus.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (10): Cermin Hati di Ruang Digital
Menjelang berbuka, waktu seakan melambat, mengajak kita merenung dalam diam. Ini saatnya mendengarkan bisikan hati, mengenal rasa syukur yang sejati. Bukan sekadar ucapan, tapi perasaan yang tumbuh dari pengalaman spiritual mendalam. Dari pengenalan bahwa setiap nikmat hidup adalah anugerah yang tidak terhitung.
Ramadan adalah guru yang mengajarkan kita untuk memandang dunia dan diri sendiri dengan lensa yang berbeda. Ia mengundang kita ke dalam perjalanan menemukan harta yang tersembunyi dalam diri: keikhlasan, ketenangan, dan kebijaksanaan. Puasa menyediakan ruang bagi jiwa untuk bernafas, membebaskannya dari hiruk-pikuk kehidupan duniawi, memungkinkan untuk merenungkan apa yang benar-benar berharga.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (11): Menanam Koding Ramadan dalam Jiwa
Maka, what's next, bahwa kemenangan hati pasca Ramadan bukanlah tentang kembalinya rutinitas makan dan minum semata. Yang kita tuju adalah penemuan ulang terhadap kekuatan diri dalam menghadapi tantangan dengan hati yang lebih terbuka dan bersyukur.
Rasa batin tentang mempertahankan semangat dan pelajaran yang dipetik selama bulan suci, menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta menjadikannya sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan hidup yang penuh dengan makna dan tujuan.
Menyelami esensi puasa Ramadan sesungguhnya juga belajar melejitkan rasa syukur. Rasa di mana kita tidak hanya bertahan hidup, tetapi benar-benar hidup dengan kesadaran penuh, kebijaksanaan, dan rasa syukur yang mendalam. Ini adalah perjalanan yang tidak berakhir ketika hilal menghilang di langit.
Namun perjalanan yabg terus berlanjut, memancar ke dalam setiap aspek kehidupan, membawa cahaya dan kedamaian yang abadi. Dan, selalu bersyukur adalah kenikmatan abadi dalam setiap kondisi. Wallahu a'lam bis shawab. (*)