COWASJP.COM – SEMOBIL santai dengan anak lanang yang baru lulus kuliah teknologi menjadikan keasyikan tersendiri untuk memulai tadabbur Ramadan. Kebiasaan ngobrol dan diskusi pun berjalan enjoy sepanjang tol Surabaya-Malang menjelang buka puasa.
Perbincangan mengalir, sembari menikmati bunyi putaran roda kecepatan santai 70 km/jam, melintasi aspal cor jalan tol yang merekam jejak peradaban kemajuan transportasi tanah air. Bincang mulai dari pernak-pernik teknologi, hingga lahirnya INA Digital. Sebuah mahakarya yang memeluk 27.000 aplikasi dari seluruh kementerian, lembaga, pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten se-Indonesia, menjadi satu super apps. Sebuah platform aplikasi yang akan menjadikan Indonesia tak lebih dari genggaman tangan.
Betapa dunia kini bagai di ujung jemari, berkat karya agung pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kominfo itu. Karya teknologi yang menggarap mimpi menjadikan segala sesuatu terkoneksi, terintegrasi, dari puncak menara pemerintahan hingga ke lorong-lorong kampus dan sekolah, tercapai.
Perbincangan pun berlanjut. Menelisik kemungkinan AI yang bakal merambah ke dalam relung INA Digital. Merajut harapan bahwa suatu hari nanti, kita dapat merangkul Indonesia dengan segenap data dan layanan digital di telapak tangan. Sungguh, betapa batas-batas terhapus, menjadikan kita warga Indonesia dalam satu genggaman.
Dalam ruang dialog yang semakin larut, seraya menyelami mimpi digital yang menyatukan jagad yang memungkinkan setiap jiwa di bumi terhubung. Terpaut dalam satu ikatan tanpa sekat. Angan pun terbang, menyusuri jalur digital yang mengantar ke arah koneksi global, memadukan insan ciptaan Allah ini dalam satu jaringan tanpa batas.
Obrolan gayeng ini benar-benar serasa berdialog dengan kontemplasi. Paduan kesunyian dan paradoks zaman, di mana teknologi, ciptaan manusia yang penuh gema dan cahaya, menjadi sarana dalam menapaki jalan spiritualitas. Layaknya jembatan yang merentang di antara dua tebing, teknologi menghubungkan jiwa yang mencari dengan keabadian yang dinanti.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (13): Meng-install Allah di Hati
Seraya merenung jauh, buah kata Maulana Jalaludin Rumi, penyair sufi, melintas begitu saja. "What you seek is seeking you. Apa yang kamu cari sedang mencarimu."
Saat kita terus mencari Allah, sesungguhnya Allah juga mencarikan jalan bagi kita untuk segera bertemu. Karena sesungguhnya Allah juga lebih dekat dari urat leher kita sendiri. "Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qaf 50: Ayat 16)
Yang dipuisikan Rumi dan firman Allah ini bukan sekedar pencarian terhadap apa yang absen. Itu semua sebuah proses saling menemukan antara jiwa dan ilahi.
Pribadi kita juga diingatkan tentang kedekatan ilahi yang melampaui batas fisik. Dalam ayat ini, teknologi - seperti aplikasi pengingat sholat atau Al-Quran digital, misalnya - bisa diartikan sebagai manifestasi dari kedekatan tersebut. Memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa, memperkuat bisikan hati yang terkadang tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia.
Walau pun ada sisi lain yang juga patut dicermati, bahwa pelayaran di laut teknologi tidak selalu membawa ke pantai ketenangan. Ada risiko di mana teknologi dapat mengaburkan esensi ibadah, bahkan mengalihkan dari kekhusyukan yang sejati. Kekhusyukan seperti disabdakan Rasulullah bahwa, keutamaan ibadah terletak pada merasakan kehadiran Allah seolah-olah kita dapat melihat-Nya.
Peringatan itu menegaskan pentingnya kekhusyukan yang mungkin tergerus jika teknologi menjadi tirai yang menghalangi pandangan kita dari Yang Maha Melihat.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (14): Mining Frekuensi Allah
Kendati begitu, barangkali kita penting menimbang bahwa teknologi tidak hanya sebagai alat. Namun perlu menempatkannya sebagai jalan yang harus dilalui dengan hikmah. Teknologi harus digunakan untuk mendukung aspirasi spiritual, bukan sebagai pengganti dari pengalaman batin itu sendiri. Karenanya, menavigasi jembatan teknologi dalam ibadah itu berarti bergerak dengan kesadaran, menggunakannya untuk memperdalam, bukan menggantikan pencarian jiwa kita.
Prinsipnya, teknologi menghadirkan dunia yang tidak terbatas di ujung jari kita. Namun, penting untuk selalu kembali pada inti dari semua ini: teknologi sebagai alat, bukan pengganti dari pengalaman spiritual yang autentik.
Mencari keseimbangan antara teknologi dan spiritualitas dalam Ramadan adalah tentang mengenali batas. Seperti jembatan yang menyatukan dua sisi sungai, teknologi harus menghubungkan kita dengan kedalaman spiritual tanpa menjatuhkan kita ke dalam arus materialisme yang dangkal. Dengan teknologi, kita diberi kesempatan untuk menjelajahi dimensi spiritualitas dengan cara-cara baru, tetapi hanya ketika kita menggunakannya dengan niat yang benar dan murni.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (15): Mencangkul Langit, Memurnikan Energi Spiritual
Menggunakan teknologi dalam diam, bisa ditemukan ruang suci untuk refleksi dan koneksi yang lebih mendalam. Teknologi, bila digunakan dengan hati yang tulus dan niat yang jernih, bukan hanya mendekatkan kita pada kepraktisan dunia, tetapi juga pada kekayaan spiritual yang tak ternilai.
Bukankah sering kita di kalangan santri ini guyonan sanepo-an di teras-teras intelektualitas. Semisal, kita memakai aplikasi Zoom karena ia aplikasi yang paling islami dan NU. Karena tiap Jumat selalu disebutkan oleh bilal; Ya ma'asiral muslimiina wa zumratal mikminina rahimakumullah.
Lalu, ada lagi. Search engine Yahoo juga sangat sufistik. Karena
sering disebut thariqah satariyah dalam berdzikir. Yaa Hu.. Ya huu! Atau INA Digital ini yang menjadi "alat segalanya" dalam menggenggam Indonesia. Just sanepo!
'Ala kulli hal, teknologi itu itu bisa menjadi alat dzikir kita. Pula menjadi jembatan yang dapat mengantar jiwa menuju pengenalan diri dan pemahaman yang lebih luas tentang keberadaan kita dalam skema yang lebih besar dari semesta. Wallahu a'lam bis shawab. (*)