COWASJP.COM – Oleh: Nasaruddin Ismail, Mantan Wartawan Jawa Pos.
AKHIRNYA, penyamaran itu terbongkar. Pasalnya, sebuah WA masuk ke bos pemilik transportir. Yang rumahnya di Banjarmasin.
Lalu WA itu diteruskan ke para sopir di tengah hutan belantara itu. Di Kalimantan Tengah.
Saya tidak tahu asal muasal WA tersebut. Tapi, seakan-akan dari saya. Karena menyebut nama saya dengan jelas.
Isinya: Saya menuduh para sopir tanki gas maling. Merekalah yang mencuri gas selama ini. Sehingga sampai ke tanki darat, menyusut lebih dari 1,5 persen.
Tentu saja, para sopir pasti marah. Marah sekali. Siapa yang tak marah. Dituduh maling.
BACA JUGA: Investigasi Penyusutan Gas yang Diangkut Truk
Saya juga ikut marah dengan isi WA itu. Karena merasa tidak membuat WA tersebut.
Saya justeru datang ke sana. Ingin menyelamatkan para sopir yang sudah sebulan tak terima gaji. Karena ada tuduhan seperti itu kepada mereka.
Akibatnya. Saya disidang dan dimarahi rame-rame oleh mereka.
Meski membantah, kalau WA itu bukan dari saya, namunbtetap saja mereka tidak percaya. “Ini ada nama bapak. Kok tidak ngaku,” kata salah seorang driver dengan mada berang. Dengan muka merah.
Saya tetap bantah. Bahkan bersumpah.
Sopir yang semuanya suku Dayak Bakumpai yang mayoritas Muslim yang tinggal di pedalaman Kalimantan Tengah itu tetap tak percaya. “Kami tidak percaya dengan ucapan Bapak. Karena di WA ini, jelas-jelas nama Pak Nasaruddin,” katanya berulang-ulang.
Tak satu kata pun pembelaan saya dipercayai. Lantas, saya diam. Membisu. Percuma bela diri. Toh tetap tidak dipercayai.
Mobil selip masuk parit. Mulai jam 24.00. Sore hari pukul 15.00 baru ada bantuan. (FOTO: Dok. Nasaruddin Ismail)
Saat mereka marah, satu demi satu saya tatap wajahnya. Nampak sangar. Matanya merah, pertanda betul-betul marah.
Badan mereka jauh lebih besar dibandingkan saya. Apalagi soal umur. Mereka rata-rata usia 30 an. Bahkan ada yang lebih muda. Usia saya sudah kepala 7.
Sudah menjadi kebiasaan sopir di sana. Bila ke mana-mana selalu membawa mandau. Diselipkan di dalam tas ranselnya.
Untung, ketika marah. Tak satu pun yang membawa tas. Ketika masuk ke ruang kantor.
Saya pun sadar. Hanya seorang diri. Tak satu pun yang bela. Bahkan karyawan perusahaan, juga membisu seribu bahasa. Terkesan ikut memojokkan saya.
Saya paham. Kenapa mereka marah. Karena gajinya ditangguhkan. Kalau pun dibagikan, nilainya dipotong. Karena dituduh menyalahgunakan muatannya tadi.
Kemarahan mereka reda. Setelah saya buat pernyataan. Kalau mereka tidak salah. Mereka tidak nakal. Mereka tidak mencuri.
Pernyataan saya tersebut dijadikan senjata. Agar gajinya segera cair. Tanpa dipotong sedikit pun.
“Kalau Bapak buat pernyataan seperti ini kan gaji kami bisa segera cair,” tuturnya.
Padahal tujuan saya ke sana memang untuk mengetahui kebenaran tuduhan itu. (BERSAMBUNG)