COWASJP.COM – TAK terasa 10 hari terakhir puasa Ramadan sudah kita tapaki. Bagi kalangan muslim penikmat ibadah puasa, Ramadan dalam lintasan waktu yang abadi, merupakan hamparan luas bagi jiwa yang mencari. Berpuasa juga menjadi bagian upaya melukis jalan bagi mata hati untuk melihat dunia dalam bingkai yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih manusiawi.
Laiknya dunia menenun, puasa menjadi benang merah yang menghubungkan diri dengan semesta, menemukan simpul-simpul sosial yang selama ini tersembunyi di balik tirai egoisme.
Di sinilah, sesungguhnya puasa mengajarkan manusia tentang kesederhanaan dan kebutuhan untuk melihat lebih jauh dari sekadar kepentingan pribadi. Seperti kata yang terukir dalam Surah Al-Baqarah [2:183], "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Ayat itu seakan menjadi undangan VVIP untuk memasuki ruang yang lebih luas. Ruang di mana hati menjadi kaca pembesar yang memperjelas visi tentang dunia dan sesama.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (19): Upgrade Mental, Install Chip Keyakinan
Dalam sketsa Ramadan, puasa tidak hanya menciptakan ritme spiritual yang mendalam tetapi juga simfoni sosial yang meresonansi ke seluruh penjuru. Seperti sungai yang mengalir tak henti, memberi kehidupan di mana ia berlalu. Begitu pula Ramadan menyeru umat manusia untuk mengalirkan kebaikan, membasahi tanah-tanah kering dengan kasih dan empati.
Dengan berpuasa, pribadi muslim diajak untuk merasakan getirnya kelaparan. Menyentuh luka dunia. Algoritma itu kemudian membangkitkan keinginan untuk berbagi, lalu mengeja ulang arti kebersamaan.
Kesadaran sosial yang dibangkitkan oleh puasa menggugah jiwa untuk tidak hanya berdiri sebagai individu. Namun juga sebagai bagian dari mosaik kemanusiaan yang lebih besar.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (18): Menyinari Jalan Kesabaran
Nabi Muhammad SAW mengingatkan, "Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala seperti itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun." Ini mengisyaratkan pentingnya tindakan kolektif dan saling menopang dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Dalam lipatan sejarah, puasa mengajarkan bahwa kehidupan ini bukanlah panggung soliter. Setiap individu terhubung dalam jaringan yang tak terlihat. Di mana aksi satu pihak dapat mengirimkan gelombang ke seluruh sistem. Ramadan memperjelas ini, menunjukkan bahwa setiap perbuatan. Sekecil apa pun, ketika dilakukan dengan niat yang tulus, dapat menimbulkan perubahan yang signifikan.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (17): INA Digital dan Yahoo pun Mengajak Dzikir
Saat itulah Puasa secara otomatis menjadi meditasi sosial, di mana setiap detik tanpa asupan makanan atau minuman menjadi momen untuk menimbang ulang prioritas. Lalu, melihat kembali kepada mereka yang terpinggirkan.
Ini adalah waktu untuk mematahkan dinding yang memisahkan, membangun jembatan yang menghubungkan, dan untuk menyulam kebersamaan dalam tapestri kehidupan yang lebih besar.
Yusuf Al-Qaradawi dapat menggambarkan esensi perjalanan spiritual dan sosial ini, "Puasa adalah pelajaran dalam ketabahan dan kesabaran, di mana jiwa dilatih untuk memperkuat kehendak dan empati." Dalam diamnya raga yang berpuasa, terdapat bisikan lirih yang mengajak untuk memandang dunia tidak hanya sebagai arena untuk diri sendiri tetapi sebagai taman di mana setiap jiwa dapat tumbuh dan berkembang bersama.
BACA JUGA: Ekspedisi Batin (16): Melafal Ketahanan Spiritual
Maka, sejatinya puasa Ramadan ini menjadi awal dari perjalanan mendalam untuk memahami kompleksitas kemanusiaan, menavigasi lorong-lorong kepedulian sosial, dan secara aktif berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Dalam setiap sujud dan lapar, tersembunyi pelajaran tentang kerendahan hati dan pentingnya merasakan serta memahami kehidupan sesama. Perjalanan puasa ini mengasah jiwa untuk menjadi lebih peka, lebih responsif terhadap jeritan keadilan yang bergema di sudut-sudut masyarakat. (*)