COWASJP.COM – Oleh: Nasaruddin Ismail, Mantan Wartawan Jawa Pos
ADA hal menarik selama jadi kernet mobil tangki, di Barito Utara, Kabupaten Muara Teweh.
Kecepatan truk tanki gas hanya 10 KM per jam. Suara truk Mercedes beroda 10 itu menderu. Memecahkan anak telinga.
Jalannya tanah licin dan sempit. Ini yang membuat truk harus berjalan pelan. Dan berhati-hati.
Di sana. Ketentuan berlalu-lintas beda dengan UU Lalu Lintas umumnya. Mereka buat ketentuan lokal. Sesuai dengan kebutuhan setempat.
Tapi, siapa pun yang mengemudi di sana pasti mematuhinya. Agar aman. Dan selamat.
Di sana, bila belok kiri harus mengambil jalur sebelah kanan. Begitu juga sebaliknya. Bila belok kanan. Harus ambil jalur kiri. Tujuannya agar belakang mobil yang umumnya bermuatan panjang itu tidak menyenggol kendaraan lain.
“Ketentuan mengemudi di sini berbeda dengan di tempat lain,” kata Midri, koordinator operasional mobil tangki itu.
Sepanjang perjalanan saya amati perilaku sopir yang saya dampingi.
BACA JUGA: Akhirnya Penyamaran Terbongkar, Saya Dimarahi Para Sopir
Saya kagum. Ketika bertemu sopir di sepanjang jalan mereka saling menyapa. Setiap berpapasan dengan kendaraan lain. Meski tak dikenal sekalipun.
Santun dan ramah.
Itu yang terkesan di benak saya. Setiap berpapasan dengan pengguna jalan selalu disapa. Bila berpapasan dengan sepeda motor pasti mengalah. Dan berhenti.
Dari kejauhan sudah mengerem mobilnya dan berhenti. Mereka lanjutkan perjalanan bila sepeda motor telah lewat. Padahal kalau di tempat lain kendaraan kecillah yang mengalah.
Tak hanya itu. Pengemudi menyapanya dengan ramah. Dan santun. Mobil pun dikelakson. Sebagai tanda menyapa mereka.
Bila melihat orang di pinggir jalan, sopir kelakson sambil melambaikan tangan.
BACA JUGA: Investigasi Penyusutan Gas yang Diangkut Truk
Yang disapa pun membalas. Dengan lambaian tangan pula. Pertanda, mereka saling menghormati.
Tinggalnya boleh di tengah hutan belantara. Tapi etikanya sangat tinggi. Senyum selalu menghiasi bibirnya.
Bila menemukan sepeda motor yang mogok di jalan, yang dibonceng dinaikkan mobil. Sampai perkampungan. Padahal di mobil tangki ada tulisan: Tidak boleh menaikkan penumpang.
Tapi itulah etika orang Dayak Bakumpai, Barito Utara, pedalaman Kalimantan Tengah. Yang diwariskan secara turun temurun.
“Ini tradisi yang kami wariskan secara turun temurun,” kata Sahayan.
Sepanjang jalan yang dilalui mulai dari Luwe hingga pemboran gas, memang tidak ada pemukiman. Satu-satunya kampung di Karendan. Di depan pembangkit listrik tenaga gas. Ini pun kampung baru. Setelah PLTG berkapasitas 150 MW itu dibangun.
Selebihnya, hutan belantara.
Bila mobil mogok sopir pun tak bisa berbuat banyak. Sebab, tidak alat komunikasi. Telepon seluler tak berfungsi di tengah hutan itu. Tidak ada sinyal.
Satu - satunya cara, menitip pesan pada siapa pun yang lewat. Untuk menyampaikan pada tetangga, atau teman agar meneruskan ke kantor atau yang diuji.(*)