COWASJP.COM – Di ''Jawa Pos'', ia senior saya. Di luar urusan kantor, ia adalah mentor bisnis saya. Catatan pendek saya untuk keteladanannya.
***
NAMANYA Ismail Husni. Orang-orang di sekitarnya lebih sering memanggilnya Pak Haji. Ia wartawan yang bertransformasi menjadi pengusaha di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di kampung halamannya.
Selain memimpin grup media lokal Lombok Post Group (koran, radio dan TV), Pak Haji juga membudidayakan kerang mutiara dan mengelola peternakan ayam potong dan ayam petelur. Dua bisnis terakhir itu ditekuninya setelah ‘pensiun’ dari rutinitas industri media, 10 tahun terakhir.
Saya mengenal Pak Haji pada tahun 1991, ketika menjadi wartawan baru di ''Jawa Pos'', Surabaya. Pak Haji saat itu menjadi koordinator liputan. Pak Haji menjadi wartawan Jawa Pos sejak 1982.
Tak lama kemudian, kami berpisah. Pak Haji pindah tugas ke Mataram, kampung halamannya, untuk memimpin ‘’Suara Nusa’’, koran lokal milik Pemda NTB yang kolaps.
Saya kembali bertemu Pak Haji pada 1993 dalam acara rapat kerja triwulanan Jawa Pos Group di Surabaya. Saya mewakili koran ‘’Mercusuar’’, koran lokal terbitan Palu milik H Rusdy Toana, Ketua PW Muhammadiyah Sulawesi Tengah, saat itu.
BACA JUGA: Ternyata Nonton di Bukit Seger Lebih Asyik dan Gratis Pula
Sesuai skala usahanya, ‘’Suara Nusa’’ dan ‘’Mercusuar’’ masuk media kelompok ‘perusahaan koran kecil’, dengan oplah di bawah 10.000 eksemplar. Karena kesamaan nasib, kami selalu berada pada satu grup diskusi setiap rapat kerja.
Di luar urusan Jawa Pos Group, Pak Haji adalah mentor bisnis saya. Hubungan bisnis itu dimulai pada tahun 2000 ketika saya selesai bertugas di koran ‘’Mercuar’’ Palu kemudian kembali berdinas di ‘’Jawa Pos’’ Jakarta.
‘’Bagaimana kalau kita kelola bisnis pemasaran sapi potong di Jakarta?’’ tanya Pak Haji, suatu ketika.
Berbisnis sapi potong tidak pernah terlintas dalam pikiran saya. Dari mana sumber sapinya? Bagaimana teknis pengirimannya? Bagaimana pengelolaannya di Jakarta? Darimana sumber modal usahanya?
‘’Sapinya dari Bima. Saya yang menyiapkan. Saya yang mengirimkan. Saya yang memodali semua. Anda cukup kelola rumah potong hewan (RPH) dan urus pemasarannya saja,’’ kata Pak Haji.
Deal! Akhirnya saya bersama Pak Ibrahim Husni (kakak Pak Haji dan mantan wartawan MBM Tempo) dan Mas Elik Susanto, wartawan Tempo, mengelola usaha RPH di daerah Gaplek, Parung, Bogor.
Pemasaran daging sapi potong terkonsentrasi di Pasar Ciputat dan Pasar Parung. Setiap hari RPH memotong sapi berkisar antara 10-25 ekor, sesuai pesanan para pedagang yang masuk.
Setelah berjalan setahun, Pak Haji memutuskan untuk menutup usaha ini, karena rugi. Diizinkannya impor sapi siap potong dari Australia dalam jumlah banyak membuat usaha sapi potong lokal di kota-kota besar sulit berkembang karena kalah harga.
Situasi lebih rumit karena sistem kerjasama penjualan dagingnya tidak sehat. Pedagang daging memberlakukan sistem 3 – 1: Artinya, tiga kali kirim, dibayar satu. Berarti menyisakan piutang dua pengiriman.
Kalau satu malam memotong 10 ekor, maka total piutangnya 20 ekor. Kalau harga sapi Rp5 juta per ekor, paling kurang ada Rp100 juta yang tertahan di pedagang. Sistem ini sebenarnya ‘’berbahaya’’ dan sangat merugikan pemasok daging. Tapi saat itu, hanya ini pilihan terbaiknya.
Gagal dalam bisnis sapi potong di Jakarta tidak membuat Pak Haji patah arang. Ia selalu bertanya kepada saya, mau mengembangkan bisnis apa selanjutnya. ‘’Sepanjang bisa mempertemukan sumber bahan baku di NTB dan pasar Jakarta, saya siap memodali,’’ kata Pak Haji.
Begitulah Pak Haji. Ia tidak pernah ‘’hitung-hitungan’’ soal uang. Selama untuk memajukan NTB, Pak Haji akan selalu siap merogoh saku. Karena sikap kedermawanannya, Pak Haji sering ditipu orang-orang yang ditolongnya.
Hari ini, 23 tahun kemudian, saya belum menemukan bisnis baru seperti yang diinginkan Pak Haji. Tapi tadi pagi beredar kabar di WhatsApp group bahwa Pak Haji telah berpulang. Inalillahi waina ilaihi rojiun. Semoga husnul khotimah.(*)