COWASJP.COM – Cerita ini didedikasikan mengenang kebaikan Solichin M Awi -- yang lazim disapa Cak Sol -- yang sudah bersahabat dengan penulis selama 28 tahun sejak 1996. Sampai Allah menjemput SOL, inisial almarhum selama merintis di Jawa Pos.
***
Bismillahir-rahmanir- rahim.
JAGAT jurnalistik Indonesia kehilangan salah satu wartawan terbaiknya.
Ahad, 2 Juni 2024 Solichin M Awi biasa disapa Cak Sol mantan redaktur Jawa Pos, redaktur pelaksana Harian Sindo, menghadap sang Khalik akibat digerogoti kanker paru paru.
Almarhum meninggalkan seorang istri Dr Ana Christanti, M. Pd staf pengajar Universitas Nahdhatul Ulama (NU) Sidoarjo, Jatim, serta dua putri nan cantik cantik mulai beranjak dewasa. Si sulung Pipin baru menyelesaikan sarjana Sastra Belanda di Universitas Indonesia, Depok, Jakarta. Si ragil baru duduk di bangku sekolah menengah.
Kata Ana, istri Cak Sol, almarhum dua bulan sebelumnya menderita batuk batuk. Setelah diperiksa intensif baru diketahui terkena kanker paru paru. Sudah stadium tiga.
Bahkan almarhum sempat menjalani kemoterapi sebanyak tiga kali.
Setelah itu menjalani perawatan intensif di salah satu RS terbaik di Surabaya.Tetapi Allah berkehendak lain. Memanggil hambanya untuk lebih mendekatkan makhluknya pada penciptaNYA.
Innalillahi wainnailaihi Raji'un.
Tak ayal banyak sahabat, teman dekat, kolega kaget. Itu karena almarhum tidak pernah mengeluh, apalagi mengabarkan dirinya sakit. Makanya, kabar duka itu menghenyakkan kawan, koleganya.
Perut penulis langsung senep, mual campur ngilu begitu mendengar kabar duka tadi. "Sejak dulu Cak Sol orangnya tidak mau merepotkan teman. Sakit pun tidak pernah ngabari, " kata Satrijo, senior Jawa Pos salah satu teman 'ahli hisab' alias merokok saat kongkow di kantin JP. Suryadi dan Suhu juga teman setia ahli hisab almarhum saat masih aktif di JP.
Kolega, rekan kerja punya kenangan beragam terhadap almarhum yang kelahiran Lamongan, Jatim itu.
Dhimam Abror Djuraid, mantan Pimred Jawa Pos menyebut almarhum, "Sosok wartawan yang jujur dan berdedikasi tinggi. Husnul-khatimah, InsyaAllah, " kata Abror dalam postingan di group WA Cowas, kumpulan pensiunan JP.
Abror tentu tidak asal puji. Sebab, Abror adalah pimpinan langsung almarhum baik saat Abror jadi Redpel 1996 dan Pimred JP 2000. Mereka berdua juga terlibat menangani halaman nasional. Jadi, Abror tahu persis kinerja, dedikasi almarhum saat menangani halaman nasional JP.
Saat Abror menjadi Pimred Surabaya Post, Cak Sol juga dipercaya menjadi Redpel. Meski hanya beberapa waktu. Makanya, Abror tahu persis kualitas kerja almarhum.
Dedikasi tinggi ditunjukkan almarhum saat peristiwa bom Bali 2002 silam yang menewaskan ratusan turis manca negara.
Sebagai penanggungjawab halaman nasional JP almarhum dkk di Redaksi dituntut habis habisan harus unggul pemberitaannya dari kompetitor media lain.
Selain JP mengirim wartawan secara bergantian ke Bali. Termasuk penulis.
Almarhum Cak Sol tidak mau duduk manis di kantor JP yang sejuk. Tapi, dengan sepeda motor bututnya almarhum setiap hari melaju Surabaya--Tenggulun, Solokuro Lamongan, desa tempat tinggal Amrozi dkk.
Jarak Surabaya Lamongan sekitar 50 km. Jarak Lamongan-Tenggulun sekitar 25 km.
Ngelaju Surabaya Tenggulun itu dilakukan Cak Sol tak hanya sehari, tapi berbulan bulan sejak Amrozi dkk terdeteksi sebagai pelaku bom Bali 2002.
Semua itu dilakukan agar JP unggul dalam pemberitaan kasus bom Bali dari media kompetitor lainnya.
Sebagai redaktur dan salah satu penanggungjawab halaman nasional JP, Cak Sol bisa saja ongkang ongkang kaki di Graha Pena yang sejuk. Tinggal telpon. Perintah wartawan sana sini sambil memonitor berita di internet soal perkembangan bom Bali. Seperti dilakukan redaktur pada umumnya. Tapi, Cak Sol beda. Ia turun langsung ke lapangan untuk memback-up penuh wartawannya.
Cak Sol ingin menunjukkan loyal profesinya sebagai wartawan profesional. Bom Bali berita besar mengguncang dunia. Redaktur pun seharusnya terpanggil turun ke lapangan. Jadi, tahu persis kendala di lapangan yang dialami wartawannya. Juga bagus untuk menggambarkan suasana liputan lapangan.Itu yang dilakukan almarhum.
Almarhum yang asli Lamongan memanfaatkan jaringan pertemanan di desa, teman sekolah, kuliah untuk mengobok obok semua informasi terkait Amrozi dkk di Tenggulun sekitarnya.
Informasi awal itu lalu didistribusikan kepada Mohamad Sholahudin atau Hud, salah seorang wartawan lapangan JP yang ditugaskan meliput kasus Amrozi dkk.
Dari penelusuran Cak Sol terungkaplah di mana Amrozi dkk biasa menukar mata uang asing di money changer langganannya, sampai membeli bahan kimia sebagai bahan baku bom di Jalan Tidar, Surabaya.
Semua informasi tadi oleh Cak Sol dipasok ke Hud untuk dikonfirmasi ke pihak terkait.
Cak Sol juga terus memandu Hud untuk pengembangan berita Amrozi dkk. Harus wawancara nara sumber ini, itu. Menemui di A, si B. Bahkan materi wawancara sudah disiapkan Cak Sol. Hud tinggal konfirmasi.
Ada cerita lucu, ketika Cak Sol sejak pagi sudah standby di Tenggulun. Karena siangnya akan ada rombongan polisi yang akan olah TKP di lapangan. Iseng iseng Cak Sol telepon Hud. "Posisi nangdi Hud (posisi dimana Hud), " tanya Cak Sol.
"Di TKP bos," jawab Hud yang juga cah Lamongan itu asal nyeplos.
"TKP endi? Aku keit isuk wis nang kene (baca TKP). Awakmu nggak onok. Nggak ketok blas. Awakmu baru teko nang TKP awan sih, ambek rombongan Polres Lamongan," tanya balik Cak Sol.
"Ha.. ha. Iyo Bos. Sampeyan ero ae," jawab Hud cengengesan.
"Posisiku nang dhukurmu (atasmu). Beberapa puluh meter dari Hud. Aku ero awakmu, " tukas Cak Sol.
"Dikiro Hud aku nggak nang TKP. Padahal, keit isuk aku nang kono (TKP)," tutur Cak Sol suatu ketika kepada penulis.
Berkat dedikasi tinggi dari Cak Sol, pemberitaan JP soal kasus bom Bali 2002 relatif unggul dari media kompetitor lainnya.
Berkat kerja keras Cak Sol terpilih menjadi redaktur terbaik JP. Hadiahnya sekitar Rp 15 juta. "Bisa bantu biaya adik kuliah," aku Cak Sol.
Sejak itu karir Cak Sol melejit dan terpilih beberapa kali sebagai redaktur terbaik.
Berkah liputan bom Bali 2002 juga diterima Hud.
Hud yang semula posisinya sulit menjadi karyawan langsung diangkat sebagai pegawai berkat bimbingan Cak Sol dalam meliput pelaku bom Bali, Amrozi dkk.
PERSETERUAN AZRUL vs NANY BEREBUT KUASA
Slamet Oerip Prihadi mantan Kepala Kompartemen Olahraga Jawa Pos yang menjadi atasan almarhum saat bertugas di olahraga menilai: "Beliau orang baik. Dulu almarhum sempat ditunjuk jadi Pimred JP pengganti Abror karena dianggap bisa ngemong Azrul (ahli waris Dahlan) Tapi, beliau tak bersedia karena masih banyak senior di atasnya.
Dari sini terpancarlah kepribadian beliau yang baik, rendah hati dan menghargai para seniornya. Saya walaupun jauh lebih tua menghormati dan menghargai beliau. Almarhum pintar, wawasannya luas, " kata Suhu. “0rangnya bersih. Jadi sulit dicari kesalahannya.“ tambah Suhu.
Penulis meski dekat Cak Sol dan kerap ngobrol tapi sekali pun tidak pernah menyinggung, apalagi bertanya mengapa keluar dari JP dan bergabung dengan Harian Sindo bersama Sururi Al Farouk dkk pada 2005 silam.
Selain tidak ada gunanya, penulis khawatir membangkitkan luka lama.
Namun beberapa kali ngobrol dengan Cak Sol suatu ketika beliau sempat menyinggung, ngomong mengapa harus keluar dari JP. Padahal, karirnya tergolong moncer, posisinya mapan dan masuk zona nyaman.
Pertama, Cak Sol mengaku sudah mengendus rivalitas antara Azrul Ananda vs Nany Wijaya untuk menjadi orang yang berkuasa sebagai pengganti Dahlan Iskan. Suatu saat itu akan meledak. Menjadi perang terbuka.
Cak Sol mengaku tahu betul peta Redaksi JP. Siapa saja redaktur, wartawan yang berpihak ke Azrul. Atau sebaliknya yang menjadi orangnya, kaki tangan Nany Wijaya.
Bahkan ada wartawan, redaktur oportunis berdiri di banyak kaki. Ya ngeblok ke Nany, ya ke Azrul. Tergantung siapa rezim yang berkuasa. Semata itu dilakukan agar selamat. Karirnya moncer. Juga tak sedikit yang mendekat Dis sampai Nafsiah Sabri, istri Bos Dis. Sampai segitunya mereka.
Akibat terbelahnya kubu Azrul dan Nany, Redaksi JP sudah tidak sehat lagi.
Maka jika ada pejabat (baca Pimred) yang naik misalnya, dari kubu Azrul, akan diserang, dicari kesalahan oleh kubu dan orang orangnya Nany Wijaya sampai angkat tangan. Menyerah.
Sebaliknya, kalau ada orangnya Nany naik jadi Pimred, kubu Azrul juga merecoki.
Cak Sol melihat ini tidak sehat. Makanya, beliau tidak mau ditunjuk jadi Pimred.
"Koyok sing koen tulis nang bukumu (Azrul Ananda Dipuji dan Dicibir dan Konflik Jawa Pos, Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan v Goenawan Mohamad). Iku wis tak prediksi kawet sak mono (2005), " tutur Cak Sol.
Untuk menguji hipotesanya itu suatu ketika saat kongkow di anak tangga Graha Pena Cak Sol pura pura sambat, mengeluh tidak punya uang pada Nany yang kebetulan lewat.
Mendengar itu Nany kontan menukas. "Butuh piro awakmu Sol. Tak utangi. Gawe duwikku dewe, " ujar Nany serius.
"Nggak Mbak. Cuma guyon, " tukas Cak Sol.
"Bener iki. Nek awakmu butuh dhuwik tak silihi gawe duwikku, " tawar Nani.
Dengan memberi utang pakai dhuwit pribadi tentu tidak gratis. Mungkin Nany berharap tanam budi yang berhutang hingga bisa dikendalikan. Minimal kalau tidak jadi orangnya ya netral. Dan, Cak Sol sadar sepenuhnya soal begitu an.
"Nggak Mbak. Serius guyon kok, " ujar Cak Sol meyakinkan.
"Mbak Nani terpancing, " tambah Cak Sol.
Itu karena Kubu Azrul maupun Nany mencari, merekrut wartawan redaktur untuk berpihak pada kelompoknya.
Cak Sol salah satu, mungkin satu satunya redaktur independen yang tidak berpihak baik ke kubu Azrul maupun Nany. Meski independen tapi Cak Sol bersikap baik sama Azrul maupun Nany.
"Saya merasa tidak enak. Makanya, dua duanya saya baiki. Saya netral," aku Cak Sol.
"Pilihan akhirnya saya ambil. Keluar dari JP agar tidak terjebak kubu Azrul maupun Nany," aku Cak Sol.
Ternyata prediksi Cak Sol benar. Tak hanya seratus persen tapi seribu persen benar ha. ha.
Fakta itu didapat penulis saat bikin buku Azrul Ananda Dipuja dan Dicibir (2017) dilanjut buku Konflik JP Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan v Goenawan Mohamad (2021).
Saat Azrul dicopot sebagai Pimred oleh Abahnya Dahlan karena adanya rumor tak sedap, semua redaktur senior menolak jadi pimred. Akhirnya, bu Wenny menunjuk Zam atau Zainal Muttaqin sebagai Pimred. Zam lalu menunjuk Cak Fu (Fuad Ariyanto) sebagai Wapimred. Cak Fu diminta cari Wapimred lain untuk mendampingi. Cak Fu lalu memilih Tofan Mahdi.
Zam meski hanya jadi pimred beberapa bulan sempat mengumpulkan beberapa pimpinan media Group JP yang berhome base di Surabaya. Ada Memo, Radar Surabaya dan lainnya. Alasannya, mereka kesulitan mengakses JP. Jadi, Zam mencoba memfasilitasi.
Nany Wijaya melihatnya lain. Zam dianggap bermanuver. Tak lama Zam oleh Nany dicopot sebagai Pimred.
Sebagai gantinya Nany memanggil orangnya Rohman Budijanto atau Roy yang saat itu bertugas di Radar Malang untuk menjadi Pimred JP. Tapi, Roy tidak pede. Dia mau menjadi Pimred kalau Redpelnya Imam Syafii yang juga dikenal luas orangnya Nanyi.
Jadi lah duo Roy-Imam Syafii berkuasa di Redaksi.
Di saat bersamaan karena rumor miring yang menerpa Azrul tidak terbukti dan desakan Eri Suharyadi pemasaran JP yang kini Dirut Radar Bojonegoro agar menarik Azrul ke JP lagi. Meski Dis sempat menggertak Eri, memaki maki Eri, akhirnya Azrul ditarik sebagai Wakil Direktur JP.
PERANG TERBUKA
Azrul kurang sreg Pimred dijabat Roy atau Rohman Budijanto dan Redpel Imam Syafii. Makanya, Azrul terus merecoki Roy. Tiap hari Azrul, kata Maksum redaktur opini paling lama di JP, sering kirim SMS ke Roy. Yang isinya mengkritik isi koran. Kurang ini, kurang itu. “Sampai sampai istri Roy menangis membaca SMS tadi, “ kata Maksum yang sering dicurhati Roy.
Puncaknya saat Azrul menerima tamu di ruang Redaksi, Azrul minta diambilkan koran JP. Tapi, oleh karyawan tadi diambilkan halaman nasional. Sama Azrul langsung dibuang karena dianggap isinya tidak bermutu.
“Halaman nggak bermutu, “ dengus Azrul yang didengar Roy dan Maksum sambil melempar koran halaman nasional itu.
Roy dan Maksum mendengar itu karena posisi duduk mereka tak jauh dari itu. Meja kerja Roy dan Maksum berdampingan di halaman nasional. “Ganti. Ambil yang Deteksi, “ perintah Azrul setengah berteriak yang tentu didengar Roy dan Maksum.
“Gawe koran soro soro. Diguwak rek. Nggak menghargai blas, “ dengus Roy setelah Azrul beranjak dari Redaksi seperti dituturkan Maksum kepada penulis.
Imam Syafi'i yang menjabat Redpel juga tak luput direcoki Azrul. Makanya Imam sering sering nongol ke JP Biro Jakarta di mana penulis saat itu masih bertugas di sana. Kabarnya, Imam menghindari Azrul di Surabaya.
Untuk membayangi Imam di Jakarta, Azrul menugasi orang kepercayaannya Khoiron Fadil atau Iro tugas di JP Biro Jakarta.
Kesempatan menyingkirkan Imam akhirnya terbuka.
Saat ada tugas ke Singapura, kursi Imam sekembalinya di Jakarta sudah “hilang”. Kabar itu didapat penulis dari teman Jakarta karena sudah pindah ke Surabaya.
Kasus serupa juga kerap terjadi.Tak hanya menerpa pejabat JP tapi juga groupnya. Saat balik dari pelesir luar negeri, pejabat yang tidak dikehendaki lagi, kursinya sudah diisi orang lain sekembalinya ke kantor.
Roy yang hendak dikonfirmasi saat menulis membuat buku Azrul Ananda menolak diwawancarai. “Saya akan bikin buku sendiri Mas,“ jawab Roy lewat SMS kala itu. Entah buku apa yang akan dibuat. Apa soal JP. Sampai sekarang belum ada kabarnya.
Begitu juga Imam Syafi'i yang kini jadi anggota DPRD Surabaya periode kedua. “Ojok aku. Aku nggak idek ambek Azrul. Iro (Khoiron Fadil) ae sing idek Azrul, “ elaknya.
Suatu ketika saat penulis menyanggong Azrul untuk wawancara bikin buku Azrul Dipuja dan Dicibir di kantin lantai dua Graha Pena ketemu Imam.
Penulis penasaran mengapa tak bersedia diwawancarai. Salah satunya alasannya karena masih aktif di JP.
Begitu Azrul melintas di lobi Graha Pena penulis bergegas menyusulnya. Imam juga ikut turun. Seraya berjalan beriringan Imam berkata pelan. “Selametno koncomu iki (Baca Imam Syafi'i), “ bisiknya ke penulis. Penulis sampai hari ini tidak paham apa yang mau diselamatkan.
Sejak dilengser dari Redpel Imam terlihat kritis kepada Azrul. Saat penulis baru pindah ke Surabaya, redaksi menggelar rapat di RM kawasan Kupang Indah, Surabaya Barat. Penulis lihat hanya Imam yang kritis. Tanya ini, itu ke Azrul. Yang lain hanya pendengar. Kalau tanya sifatnya normatif.
Tapi, ada senior yang membisiki penulis, Imam berani kritis ke Azrul karena sangat dekat dengan Nany Wijaya bahkan Dis. “Makanya, posisinya aman terus, “ bisik senior tadi.
Saat Azrul menguasai redaksi, Nany dan orang orangnya Nany tidak tinggal diam.
Momentum itu datang saat digelar pilwalikota Surabaya antara Tri Rismaharini v Arif Afandi bekas Pimred JP yang sebelumnya menjabat Wakil Walikota Surabaya.
Kebijakan redaksi di bawah Azrul mendukung Tri Rismaharini. Kepala Kompartemen Metropolis dikomandani Dos. Pimred dijabat Leak Kustiya.
Tapi, di redaksi kebijakan Azrul tersendat gegara sikap Pimred Leak Kustiya bermain dua kaki.
Kata Tomy C Gutomo kalau ada Azrul di redaksi Leak mendukung Risma. Tapi, kalau tidak ada Azrul di redaksi, Leak mendukung Arif. Bahkan menegur, menyalahkan redaksi terkait pemberitaan pilwali. Itu dilakukan berulang kali.
Itu membuat anak anak Metropolis jengkel. Dos pun menyatakan secara terbuka dalam rapat Metropolis. Ada pimpinan JP yang culas (baca Leak).
“Pak Leak bermain dua kaki agar jabatannya aman, “ kata Tomy seperti dikutip dalam buku Konflik JP.
Sejak itu karir Dos dikotak.
Kesempatan kubu Nany menyerang Azrul terbuka saat kubu Risma memenangi pilwali. Azrul yang larut euphoria karena jagonya Risma menang. Dengan dhuwit pribadi Azrul memborong dan membagi bagi Blackberry (BB), HP tercanggih dan mahal saat itu kepada 15 wartawan dan redaktur Metropolis.
Tapi, oleh kubu Nany BB diplesetkan hadiah dari Kubu Risma. Nany mengumpulkan redaktur wartawan Metropolis penerima BB untuk diadili mulai jam 22.00 sampai jam 02.00 dini hari. Ikut mengadili Pimred Leak Kustiya dan KL Baihaqi.
“Mbak Nany morang moreng. Enthek ngamek, kurang golek. Saking lamanya. Sampai nggak kolu mangan,“ aku Miftah dalam buku Konflik JP.
Azrul yang tahu anak buahnya diadili Nany hanya bergumam. “Lihat balas dendam ku nanti lebih kejam,” kata Azrul saat melintas di ruang Metropolis sore harinya.
Akhirnya, semua BB dikembalikan ke kantor. Hanya dua yang tidak mengembalikan dengan alasan berbeda.
Cak Fu yang melihat keanehan langsung gebrak meja saat rapat sore dengan Nany dan Pimred Leak dan KL Baihaqi. Cak Fu emosi mendengar ancaman yang dilontarkan Nany. “Pecat kabeh sing nrimo BB, “ ancam Nani.
“Opo opoan iki. Sing salah opone, “ tukas Cak Fu. Tangannya menggebrak meja. Bruakkk..lalu ngeloyor pergi. Nany, Leak dan Baihaqi hanya melongo. Keder. Membisu.
Setelah Azrul naik menjadi Dirut PT Jawa Pos Koran, ia membalas. Mencopot Nani dari Direktur Group Radar Bali sampai Jogjakarta. JP juga menerbitkan suplemen For Her untuk menggembosi tabloid Nyata milik Nany.
Nani kian terpuruk setelah RUPS JP Holding 2017 mencopot Nany dari Direktur JP tanpa alasan jelas.
Yang aneh, lanjut Miftah, Leak dan Baihaqi yang jelas jelas pendukung Nany malah naik jabatan. “Ujung ujug Leak jadi Direktur, Baihaqi diangkat jadi Direktur Radar Kudus dan Radar Semarang. Bahkan merangkap Wakil Direktur JP. Yok opo kasus sing biyen (pengadilan penerima BB) . Koyok wis dilalekno. Kita anak Metropolis jadi korban, “ ujar Miftah di Buku Konflik JP.
Situasi panas redaksi JP akibat perseteruan kelompok Azrul dan Nany Wijaya itu yang coba dihindari Cak Sol. Akhirnya, mundur dari JP.
Alasan lainnya, ingin mencari pengalaman, belajar di luar JP.
Ternyata di media baru Cak Sol mengaku tidak banyak mendapat tambahan ilmu baru. Sebaliknya, Cak Sol lah yang mengajari awak redaksi di setiap koran yang dibidaninya. Mulai tata perwajahan, pemilihan huruf koran dan lainnya.
Di Koran Seputar Indonesia ( Sindo) bersama tim editor Cak Sol menyusun “Pedoman Dasar dan Panduan Penulisan versi SINDO.
Keputusan Cak Sol keluar dari JP juga mendapat support penuh bapak mertuanya seorang pensiunan Marinir. Sayang setelah pindah ke Jakarta, mertuanya tak berapa lama menghadap Allah.
Namun hijrahnya Cak Sol ke media media yang berhome base Jakarta sekitarnya tentu menambah wawasan, jejaring, cara pandang yang utuh terhadap peta perpolitikan nasional.
Itu karena wartawan yang ngepos di Jakarta bisa merasakan langsung aura politik nasional. Bisa mengakses, ngobrol dan menembus nara sumber yang paham, bahkan pelaku perpolitikan nasional. Jadi bisa memetakan perpolitikan nasional. Maaf, tidak hanya sekadar dapat bocoran seperti rekan wartawan media daerah.
Makanya, kalau ada wartawan Jakarta kalah pintar, kalah jeli dengan redaktur, pimpinannya yang daerah soal peta politik itu keterlaluan. Dungu, kata Rocky Gerung. (Bahari/bersambung)