Mengenang Cak Sol Wartawan Pemikir-Independen (2)

Bersikap Profesional, Berani Tolak Keinginan Azrul

Cak Sol sama Heru Arifin Bachtiar bekas anak Suara Indonesia atau Radar Surabaya di Jakarta. (Foto: Bahari)

COWASJP.COMPASCA mundur dari Harian Sindo, Cak Sol sempat melalang buana ke beragam media. Sebut saja Jurnal Nasional (Jurnas) bersama Ramadan Pohan (mantan wartawan senior JP). Terakhir sempat membantu KBA News juga bersama Ramadhan Pohan. 

Namun sejatinya, hati Cak Sol tetap tertambat bersama Jawa Pos, koran yang membesarkan namanya. 

Itu terekam manakala ada teman di media baru yang ditangani almarhum menjelek-jelekkan JP tanpa dasar, Cak Sol pun meluruskan bahkan membela JP. 

"Eh.. yang merasa pernah di JP tidak terima almamaternya dijelekin, " ledek rekan Cak Sol saat rapat akbar koran mereka di Puncak, Bogor. 

Meski sudah bertahun-tahun meninggalkan JP, Cak Sol tetap menjalin persahabatan dengan mereka yang berkonflik di JP. Termasuk dengan Azrul, Nany Wijaya juga para senior dan yuniornya. 

Bahkan meski Azrul dan Nany sudah tak berkuasa lagi di JP, Cak Sol tetap menghormatinya. 

Bahkan kepada Dahlan Iskan yang dianggap sebagai guru jurnalistiknya, Cak Sol begitu takzim. Sangat hormat. 

Meski belakangan banyak mereka yang dibesarkan DIS -- kode Dahlan Iskan -- sebagian mengkhianati setelah Abahnya Azrul itu tak berkuasa lagi di JP. 

Bahkan di saat banyak orang yang mengkritik tulisan DIS karena dianggap tidak kritis, tidak fokus bahkan sering salah memuji orang, Cak Sol tetap menganggap tulisan DIS jlentreh. Cak Sol boleh dibilang maniak alias pengagum berat Dis. Bedanya, Cak Sol tidak ngathok apalagi memanfaatkan kedekatannya untuk kepentingan pribadi atau karir. 

BACA JUGA: Emoh Terjebak Kubu Azrul-Nany, Pilih Mundur

Itu berbeda dengan oknum rekannya  yang berupaya mendekati Dis, Azrul maupun Nany dengan berbagai cara untuk kepentingan pribadi. Menjilat pun mereka lakukan untuk mengamankan posisinya.

Cak Sol yang dikenal penulis jauh dari gambaran seperti itu. 

Kalau ada rekan wartawan mengkritik tulisan DIS, Cak Sol pilih pasif. Atau hanya jadi pendengar. Itu lah Cak Sol. Punya sikap jelas dan tidak mau ikut ikutan. 

Cak Sol mungkin ingin mengenang para atasannya termasuk Dis dalam hal yang baik baik saja. Bukan kekurangannya meski itu juga banyak pada diri Dis. 

ucapan.jpgUcapan bela sungkawa dari Rektor Universitas NU Sidoarjo, Bapak Dr H Fatkul Anam MSi. (FOTO: Cowas JP)

Sikap tawaduk Cak Sol itu tercermin dari sikap para eksosdus JP yang bergabung Koran Sindo yang berusaha tetap menghargai almamaternya Jawa Pos sebagai salah satu rumah mereka yang mengajari menjadi wartawan terbaik hingga saat ini. 

"Yang jelas, komitmen kami tidak akan menjelek jelekan JP di mana pun. Termasuk di medsos, " kata Pimred SINDO Pung Purwanto kepada penulis 2017 silam. 

Benar kata Suhu, almarhum Cak Sol bisa ngemong Azrul. Tapi, cara ngemong Azrul jelas tidak biasa seperti ngemong reporter lainnya. 

Selain anak salah satu pemilik Jawa Pos Dahlan Iskan, Azrul yang saat itu (tahun 2000) baru masuk redaksi JP baru lulus kuliah  jurusan Internasional Marketing di California State University, Sacramento, Amerika. 

BACA JUGA: LAHIR BUKU MAGNUM OPUS​

Semangat Azrul yang membawa pemikiran baru bergaya liberal banyak berbenturan dengan senior JP. Salah satunya dengan Pimred JP saat itu Dhimam Abror Djuraid.

Azrul yang membawahi kompartemen Deteksi menyuarakan suara anak muda. Lewat majalah dinding, pooling pertanyaan seputar kehidupan anak muda dan lainnya. Tapi, senior JP umumnya tidak sreg dan menilai itu menyimpang dari pakem jurnalistik. Makanya, ide dan gagasan Azrul tak banyak diakomodir senior. 

Maka, terjadi perang dingin Azrul v Abror. 

Merasa anak Dis, Azrul berani misuhi (mengumpat) Abror, menaruh keranjang sampah di meja Abror sebagai sindiran berita halaman nasional tak ubahnya sampah. 

Abror dan senior lain coba bersabar karena masih melihat Dis abahnya Azrul. 

Nama Abror juga diplesetkan Azrul jadi Mr Error. Itu ditulis di white board redaksi dengan tulisan besar. Manggil Abror ngoko. Tidak pakai Mas apalagi Bapak. Cukup Abror. Padahal usia Abror jauh lebih tua dari Azrul. Arogan. 

Puncaknya Azrul marah besar karena tulisannya tak dimuat di halaman satu. Karena tulisan bersifat  pendapat pribadi akhirnya ditaruh di halaman opini. Itu membuat Azrul marah besar. 

BACA JUGA: Loyalis Dahlan Difitnah dan Tersingkir, Saham Karyawan Jadi Bancaan​

Abror sudah tidak tahan dipisuhi Azrul di depan karyawan. Abror pun mencengkeram krah baju Azrul. "Nek nggak eling bapakmu (baca Dis) koen wis tak antemi," tukas Abror gregetan sambil menahan amarahnya. Azrul ngeper. Mata Azrul, kata saksi mata karyawan yang melerai insiden Jumat kelabu itu, tampak berkaca kaca. Tidak melawan. 

Tak lama kemudian jabatan Abror sebagai Pimred dicopot Dahlan Iskan gegara insiden cengkeraman krah baju tadi. 

Tak hanya berani melawan seniornya, Azrul ke kantor hanya pakai celana pendek. Sedengkul. Kadang kaki bersepatu diletakkan di atas meja rapat. Itu tidak lazim. Tapi tidak ada yang berani menegur. 

Bahaya. Bisa bisa si pengritik karirnya dikotak. Itu masih untung. Bisa dipecat dengan card dibuang ke pinggiran. Setelah tak betah akhirnya mundur. Ini modus lama menejemen. Kalau mundur pesangonnya kecil. 

Azrul di awal masuk JP juga suka ngomong, diskusi soal Taoisme dan Buddhisme. Mungkin dipengaruhi pacarnya saat itu yang asal Jepang. 

Dalam kondisi seperti itu Cak Sol harus ngemong Azrul. Untuk "menundukkan" Azrul, Cak Sol harus mempelajari, mengimbangi pemahaman dan pemikiran Azrul dalam berbagai hal termasuk soal apa itu Taoisme dan Buddhisme tadi. 

Cak Sol pun banyak membaca buku referensi soal Taoisme dan Buddhisme. Harapannya ngobrol bisa nyambung. 

BACA JUGA: Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan versus Goenawan Mohamad​

Kabarnya keluarga Dis gusar atas perubahan Azrul. Tak sedikit yang membumbui Azrul sudah keluar dari keyakinan semula. 

Kesempatan mengenal Azrul lebih dalam diperoleh Cak Sol saat meliput hari hari akhir kekuasaan Presiden Philipina Joseph Estrada Januari 2001 yang dikenal People Power 2 itu. 

Cak Sol, Pung Purwanto dan Azrul menginap satu kamar di hotel Makati City. Azrul pilih tidur di ekstra bed daripada buka kamar baru. 

bahari1.jpg

Di sela sela istirahat liputan di kamar itu lah Cak Sol memancing Azrul apakah pernah belajar mengaji. "Pernah lah, " jawab Azrul sambil tertawa.

Setelah itu Cak Sol minta Azrul memberikan bukti. Azrul pun melantunkan sejumlah surat surat pendek dalam Al Quran biasa disebut Juz Amma yang begitu fasih. "Baru saya percaya, " timpal Cak Sol seperti dikutip dalam buku Azrul Dipuja dan Dicibir karya Bahari. 

Belakangan mengapa Azrul suka bicara soal Taoisme hanya sebatas pergulatan pemikiran layaknya seorang mahasiswa lain yang kuliah di luar negeri. 

Bahkan di kemudian hari Azrul sekeluarga dan keluarga besar Dahlan Iskan umroh bareng ke Tanah Suci. 

Pasca meliput bareng di Philipina, hubungan Cak Sol-Azrul kian intensif. Cak Sol menggawangi halaman nasional sedangkan Azrul mengepalai Kompartemen Deteksi. 

Meski anak Dahlan, Cak Sol memperlakukan Azrul secara profesional, meski anaknya Dis, salah satu pemilik JP. 

Artinya, tidak semua keinginan Azrul khususnya pemberitaan kegiatan Deteksi yang ingin ditaruh halaman satu dikabulkan. Kalau tidak layak muat, atau ada peristiwa yang lebih besar ya dengan sendirinya ditolak. Tapi, Cak Sol menjelaskan alasannya. Azrul biasanya paham dan bisa menerima.

Tidak semua redaktur berani menolak keinginan Azrul. Wah.. bisa bahaya karena Azrul saat itu begitu berkuasa. Bisa hilang jabatannya di Redaksi. 

Suatu ketika 2004, Azrul menelpon dari sebuah mal minta foto kegiatan Deteksi dipasang di cover halaman depan. Tim halaman 1 tak berani menolak. Mereka menyerahkan ke Cak Sol 

Cak Sol tak mengiyakan. Bahkan melihat permintaan itu aneh. Janggal. Karena di saat yang sama tim Belanda  kritis, terseok seok menuju putaran final EURO 2004 di Portugal. 

Belanda sebelumnya kalah 0-1di kandang Skotlandia. Malam itu Belanda wajib menang lebih 2 gol untuk lolos. Akhirnya Belanda lolos setelah menang telak  6-0 di kandang sendiri. 

Foto kemenangan Belanda, kata Cak Sol, lebih layak dipampang di halaman utama. 

BACA JUGA: Semua Lini Bergolak, Ada yang Menangis Lantas Menendang

Cak Sol menelpon Azrul tentang urgensinya mengapa foto  kemenangan Belanda ditaruh di halaman muka. 

Sebagai gantinya Cak Sol mempersilahkan halaman belakang atau back cover dipakai foto kegiatan Deteksi dalam porsi besar. Azrul paham. Menerimanya. 

Rupanya Dahlan Iskan mendengar itu. Dan, diam diam setuju Cak Sol memilih foto Timnas Belanda di cover depan. 

Cak Sol juga sering terlibat diskusi dengan Azrul. Soal panjang pendeknya tulisan di koran yang halamannya terbatas. Itu karena Azrul suka bikin tulisan panjang. Bahkan sampai soal kecil misalnya, judul tulisan yang dibuat pun Azrul  kadang minta pertimbangan Cak Sol.

Beda dengan Dis yang bikin tulisan tanpa memberi judul. Itu memaksa redaktur membaca dan memberi judul. Kalau tidak pas bisa diomelin Dis. "Kenapa judulnya tidak begini. Atau mengapa judulnya tak begitu".

Azrul dalam setiap tulisan selalu memberi judul. Tapi, kadang pakai bahasa Inggris. Cak Sol yang lulusan Bahasa Inggris Unesa atau IKIP Surabaya dulu, diminta cari padanan bahasa Indonesia yang pas. 

Itu lah Cak Sol. Seorang wartawan jujur tidak aji mumpung memanfaatkan kedekatannya dengan Azrul dan Bos Dis untuk mendongkrak karirnya. 

DISKUSI DENGAN BOS DIS

Cak Sol tak hanya menjalin hubungan baik dengan Azrul maupun Nany Wijaya yang saling berseteru. Berebut orang paling berpengaruh di JP. 

Tapi, almarhum juga dekat dengan Bos Dis. Mereka berdua pasca deadline, saat redaktur lainnya beranjak pulang, Cak Sol kerap menunggu koran hasil cetak. 

Saat dini hari itulah Bos Dis kerap muncul di kantor Redaksi. 

BACA JUGA: Para Loyalis Sudah Siap Tempur: Ayo Kita Lawan!

Kesempatan itu dipakai Bos Dis tanya banyak hal termasuk  berita yang dimuat JP hari itu. Juga kelanjutan berita yang menarik. Jadi lah Cak Sol terlibat diskusi intensif dengan Bos Dis. 

Diskusi Cak Sol dengan Bos Dis tak hanya pasca deadline. Bisa pagi atau sore menjelang kerja. Pendeknya kalau ketemu Bos Dis ya diskusi soal isi koran dan lainnya. Dari diskusi itu lah sedikit banyak Cak Sol tahu isi kepala Dis. 

Tradisi diskusi redaktur khususnya pengasuh halaman nasional JP dengan Bos Dis terjadi sejak jaman Pimred Margiono hingga Arif Afandi. 

buku-cak-sol.jpgBuku karya almarhum Cak Sol

Setiap kali Bos Dis masuk ruang Redaksi khususnya halaman satu dimanfaatkan para redaktur untuk diskusi soal berita dan perkembangan politik terkini. 

Mereka bahkan rela berhenti mengedit hanya untuk bisa berdiskusi dengan Bos Dis. Itu karena pentingnya Dis dalam mempengaruhi pola pikir redaksi. 

Tradisi Redaksi diskusi dengan Bos Dis mulai luntur sejak Pimred dijabat Azrul Ananda, berlanjut Roy, Leak, Nur Wahid sampai ke belakang. 

Pasca Pimred Arif Afandi, setiap Dis masuk redaksi bukannya dimanfaatkan redaktur untuk diskusi tapi malah mereka asyik menyibukkan diri kerja. Memelototi komputer. Seakan mereka ingin menunjukkan kerja keras di hadapan Bos Dis. Tak hanya itu, awak redaksi generasi 2000 ke atas itu juga memperlakukan Bos Dis layaknya  tamu bahkan seperti artis. Datang disoraki. Pulang dilepas dengan tepuk tangan meriah sambil berdiri. Bahkan saat menjabat Dirut PLN dan Menteri BUMN, banyak staf redaksi yang minta tanda tangan segala. Weleh.. weleh. 

BACA JUGA: Sebagai Striker Harus Siap Ditekel, Kalau Menang Prabowo Ingin Kultur Rekonsiliasi Tetap Dijaga​

Karena itu kalau ke redaksi Dis tidak lama. Paling 5 sampai 10 menit. Beda sebelumnya bisa berjam jam kalau diskusi dengan awak redaksi. 

Jadi tradisi para redaktur dengan Bos Dis terhenti pasca Pimred Arif. Lebih tepatnya setelah halaman nasional tak digawangi Cak Sol dkk. Sayang. 

Apakah redaktur milenial minder atau mereka sudah berjarak sama Bos Dis yang generasinya begitu jauh. Atau faktor lain. Wallahu alam. 

WARTAWAN PEMIKIR

Ini yang membedakan Cak Sol dengan redaktur dan wartawan pada umumnya. 

Cak Sol penulis yang total. Tak hanya pintar, tapi juga menekuni betul bidang yang digelutinya. 

Kalau ditugaskan di olahraga tak hanya melahap semua koran dalam negeri. Sebelum  wartawan, redaktur terbiasa mengakses internet, Cak Sol mungkin salah satunya wartawan, redaktur yang akrab dengan internet. 

Referensinya tak hanya koran lokal, nasional. Juga media internasional. Tidak salah wawasannya, kata Suhu, cukup luas. 

BACA JUGA: Gibran dari Walikota Menyeruak Jadi Cawapres, Prabowo Ksatria yang Pantang Menyerah​

Cak Sol juga rajin, hobi membaca buku. Politik, olahraga dan lainnya. Tak ayal lantai dua rumahnya dijadikan perpustakaan mini. Beragam buku dikoleksi. Baik Indonesia maupun bahasa Inggris. Penulis tahu pas saat bertamu ke rumahnya kadang diajak naik ke ruang kerjanya lantai dua tadi. Atau cukup lesehan di teras rumahnya yang asri sambil ngobrol ngalor ngidul. 

"Penulis yang baik biasanya juga rajin membaca," katanya suatu ketika kepada penulis. 

Kebiasaan Cak Sol setelah koran terbit, tak hanya meneliti, membaca, semua koran nasional. Tapi, juga membeber semua koran di meja redaksi.

Cak Sol ingin membandingkan isi koran JP dengan koran nasional lainnya. 

Mulai foto A, HL, features yang andalan JP. Tak hanya halaman nasional. Juga kompartemen lainnya. Misalnya, olahraga. 

Dari situ, Cak Sol bisa menilai di mana keunggulan JP, di mana kekurangan. Membeber koran semua koran nasional dan membandingkan sering dilakukan saat diskusi dengan Bos Dis. 

Di situ penulis melihat Cak Sol berbeda dengan wartawan atau redaktur lainnya. Cak Sol seorang wartawan pemikir. 

Buah ketekunannya pada dunia wartawan dan seluk-beluk wabil khusus soal penulisan menghasilkan karya buku tentang cara menulis  yang baik. Baik berita, feature maupun opini. 

Buku karya Cak Sol soal tentang dunia tulis menulis berjudul: 

tentang

Menulis, 

mengapa

menulis

dan

menulis lah

Sebuah karya buku yang sangat teknis dalam penulisan buku yang jadi panduan siapa saja yang hobi menulis. Tidak dikhususkan cukup wartawan saja. Kalau bukan wartawan cerdas, total dan telaten sulit membuat karya buku yang sangat teknis. (Bahari/bersambung)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda