COWASJP.COM – PENULIS mengenal Cak Sol sejak 1996. Ketika Markas Besar Jawa Pos masih di Karah Agung, Surabaya. Saat itu penulis baru pamit dari Cenderawasih Pos di Papua, almamater penulis kali pertama jadi wartawan.
Lalu bergabung JPNN di kantor JP Karah Agung Surabaya, meski hanya beberapa bulan. Sedangkan Cak Sol bertugas sebagai translator berita-berita dari kantor berita asing untuk JP dan grupnya. Ruang kerja kami berdua hanya dipisahkan sekat.
Selesai kerja hampir bersamaan. Sekitar pukul 22.00. Saya sering nebeng sepeda motor Cak Sol dari JP Karah ke RSI Wonokromo. Nyambung naik bemo menuju Pakis rumah penulis. Cak Sol juga pulang ke kost dekat Ketintang. Jadi searah.
Kadang sebelum berpisah kami sering makan nasi pecel depan IKIP Ketintang sambil ngobrol ngalor ngidul. Bayarnya gantian. Tapi, Cak Sol yang kerap mbayari. Sejak itu penulis bersahabat dengan Cak Sol. Berarti sampai Cak Sol menghadap Illahi, kami sudah bersahabat 28 tahun.
BACA JUGA: Emoh Terjebak Kubu Azrul-Nany, Pilih Mundur
Tak berapa lama penulis masuk JP di kompartemen olahraga karena ditolong Cak Abror yang saat itu jadi Redpel JP.
Liputan setahun di Surabaya dipindah ke Semarang lalu masuk Jakarta 1999.
Cak Sol sendiri tak berapa lama juga menjadi wartawan JP di kompartemen olahraga.
Karir Cak Sol terus melejit dengan menjadi redaktur olahraga. Lalu dipercaya menjadi redaktur nasional.
Penulis jadi reporter di Jakarta, Cak Sol redaktur nasional di Surabaya. Saya sering kontak Cak Sol terkait berita.
Ketika penulis ditugaskan liputan perang ke Kabul, Afghanistan, Desember 2001, pasca peristiwa ambruknya dua gedung kembar WTC 11 September 2001 oleh serangan teroris, Cak Sol yang memandu dan mengedit berita penulis.
BACA JUGA: Bersikap Profesional, Berani Tolak Keinginan Azrul
"Mboh yok opo carane awakmu isok melbu (entah bagaimana caranya kamu bisa masuk) Kabul, Har (Bahari). Tulisen liku liku perjalanan masuk Kabul," pesan Cak Sol.
Perintah khusus itu terjadi karena wartawan JP yang sebelumnya tidak bisa masuk Afghanistan. Hanya berkutat di Islamabad, Pakistan.
Bersama warga pejuang Afghanistan di depan reruntuhan bangunan akibat gempuran Amerika dan sekutunya. (FOTO: Dok. Bahari)
Dengan membayar 3000 dolar AS -- kurs saat itu 1 dolar AS sekitar Rp 10 ribu atau sekitar Rp 30 juta, lewat dua pengawal mantan komandan Mujahidin, Habibullah dan Farius, penulis berhasil masuk Kabul. Lewat jalan tikus.
Saat itu pemerintah Afghanistan belum terbentuk. Kabul dan sekitarnya dikuasai pasukan Amerika, sekutu dan kelompok Aliansi Utara.
Sedangkan Taliban masih bekuasa di sebagian perbatasan Afghanistan--Pakistan yang membentang hampir 1.800 kilometer. Sebagian kota di Afghanistan dikuasai Mujahidin dan para kabilah yang membenci Amerika dan sekutunya karena dianggap penjajah dan kafir.
BACA JUGA: LAHIR BUKU MAGNUM OPUS
Taliban yang terus terpojok mundur, gerilya di daerah pegunungan dan sepanjang daerah perbatasan Afghanistan-Pakistan mulai daerah selatan Kandahar sampai provinsi Konar di utara.
Alat alat berat sepeti tank, truk militer yang tidak bisa dibawa gerilya ke gunung diserahkan Taliban ke Mujahidin. Itu dilakukan agar tidak jatuh ke Amerika dan sekutunya.
Jangan lupa, saat Taliban mulai terdesak mereka ganti baju menjadi Mujahidin. Mereka umumnya sama sama berasal dari suku Pasthun, suku terbesar di Pakistan dan Afghanistan. Ideologi mereka mirip. Anti Amerika. Anti penjajah. Anti kafir.
MULAI PETUALANGAN KE KABUL
Memulai petualangan ke Kabul, Habibullah dan Farius membawa penulis malam hari dari Islamabad ke Peshawar, kota perbatasan berjarak 150 kilometer dari Islamabad. Menginap beberapa jam di Peshawar.
Dari Peshawar ada jalan cepat, normal menuju Afghanistan lewat perbatasan Tourkam. Tapi, Afghanistan belum ada pemerintah setelah Taliban diusir dari Kabul. Jadi, tidak instansi pemerintah yang bisa mengeluarkan visa Afghanistan. Ditambah dua pengawal penulis, Habibullah dan Farius, juga tidak punya pasport. Hanya semacam KTP Pakistan. Kalau lewat perbatasan resmi bisa ribet.
Karena itu, mereka pilih memutar melalui jalan tikus untuk "menyelundupkan" penulis ke Afghanistan. Meski berliku dan sangat berbahaya. Tapi, bagi wartawan itu tantangan. Semakin menantang dan bahaya kian menarik untuk ditulis.
BACA JUGA: Pasca Pecah Kongsi Dahlan Iskan versus Goenawan Mohamad
Makanya, sebelum Subuh kami dibawa menuju segitiga perbatasan ke arah utara mendekati Tajikistan-China dengan sewa mobil.
Menjelang perbatasan, mobil diganti mobil 4 gardan karena medannya menanjak hingga 3000 di atas permukaan laut.
Kemudian lanjut naik turun gunung dengan jalan kaki berjam jam melewati jalan tikus. Yakni jalan tradisional yang dipakai pelintas batas baik warga Pakistan maupun Afghanistan tanpa paspor, visa.
Terlihat gletser, es yang mencair di sela sela jalan tikus yang dilalui penulis. Juga kumpulan salju di puncak gunung sebelah jalan yang dilalui penulis.
FOTO: Dok. Bahari
Wah capeknya luar biasa. Ditambah suhu dingin pegunungan. Tapi, oleh pengawal tidak boleh berhenti, bahkan dipaksa jalan lebih cepat guna menghindari penangkapan oleh tentara perbatasan Pakistan.
Di saat tegang dan kelelahan itu terjadi insiden, saat naik turun bukit terjal, Halim seorang mahasiswa S2 Internasional Islamic University Islamabad (IIUI) yang fasih bahasa Inggris, Arab, Parsi atau Pasthun -- pendamping penulis sebagai penerjemah -- jatuh terguling guling. Selain tidak sadar alias hilang ingatan beberapa waktu, ia mengalami luka robek di telinga, muka dan anggota tubuh lainnya. Lukanya hanya ditempeli tisu pakai ludah. Sekedar menahan darah tidak keluar. Mampet.
Tapi, dua pengawal Mujahidin terus memaksa kami jalan bahkan lebih cepet agar secepatnya bisa melintas perbatasan. Alasannya, berkejaran waktu. Kian lambat bahaya mengancam.
Saya kebagian menggandeng Halim yang ingatannya belum sadar sepenuhnya setelah terjatuh.
BACA JUGA: Loyalis Dahlan Difitnah dan Tersingkir, Saham Karyawan Jadi Bancaan
Sebab, di puncak gunung yang kami lewati ada pos perbatasan Pakistan yang terus mengawasi orang yang lalu lalang di jalan tikus. Kadang kami harus jalan mengendap endap. Logikanya tentara perbatasan tidak mungkin tidak tahu kami melintas. Mungkin karena jaraknya agak jauh dan menuruni bukit, mereka enggan menyamperi kami.
Meski demikian itu sudah diantisipasi pengawal Mujahidin yang mengharuskan penulis dan Halim mengenakan syarwal qhamis, pakaian tradisional warga Afghanistan dan Pakistan. Sehingga dari jauh kami tampak warga lokal yang biasa melintas jalan tikus di perbatasan.
Menjelang Magrib akhirnya sampai di Desa Kicele, desa pertama perbatasan yang masuk wilayah Afghanistan. Aman. Alhamdulillah.
Halim dibawa ke dr Amar, satu satunya dokter di desa itu. Kehadiran kami jadi perhatian warga dan para pejuang yang membawa AK 47. Ngeri ngeri sedap. Mereka seakan mengurung kami dengan mata penuh selidik. Bersenjata pula.
FOTO: Dok. Bahari
Maklum sejak perang berkecamuk antara Mujahidin dan Uni Sovyet tahun 1979, hampir tidak pernah ada orang asing melintas di desa mereka. Terlalu berbahaya.
Beruntung pejuang Mujahidin wilayah itu mengenal dua pengawal kami Habibullah dan Farius. Mereka umumnya anak buah Habibullah dan Farius saat bergerilya dulu. Mereka yang semula curiga berubah ramah setelah kami dikawal Habibullah dan Farius.
Tak hanya dijamu, kami juga dikawal sampai menginap di rumah komandan setempat.
Bahkan dimuliakan sebagai tamu kehormatan. Disembelihkan ayam untuk makan bersama. Luar biasa penghormatan mereka terhadap tamu.
BACA JUGA: Semua Lini Bergolak, Ada yang Menangis Lantas Menendang
Alhamdulillah, malam harinya Halim sudah sadar. “Yokopo ceritone aku jatuh, “ tanya Halim asal Riau yang fasih bahasa Jawa itu.
Dalam perjalanan Desa Kicele menuju Kabul kami melintasi beberapa provinsi seperti provinsi Konar, Asadabad, Jalalabad sampai Kabul.
Selain bisa wawancara dengan para kepala kabilah yang membawahi puluhan ribu pasukan, kami juga menginap di rumah penduduk bekas anak buah pengawal kami. Atau rumah kabilah kawan atau komandan Habibullah dan Farius saat sama sama berjuang bersama pasukan Mujahidin.
Ada cerita menarik saat menginap di rumah warga, selain diskusi banyak hal, saat salat berjamaah Halim dipercaya jadi imam karena kuliah di universitas IsIam.
FOTO: Dok. Bahari
Warga Afghanistan sangat kagum dengan Halim yang begitu fasih dan tartil saat membacakan surah surah Al Qur'an dalam setiap rokaat salat berjamaah.
Pemilik rumah dan para tetangga Afghanistan yang kami tinggali makin ramah. Mereka menjamu kami bak tamu agung.
Sayang, sampai Jalalabad, saya dan Halim harus berpisah jalan. Halim tak bisa menemani penulis ke Kabul karena masih trauma jatuh.
Ditambah saat menginap di salah satu hotel Jalalabad ada insiden kecil. Saat Halim berbincang dengan seorang guide dari kelompok Aliansi Utara yang menyokong Amerika yang sama sama menginap di hotel. Semula perbincangan ramah. Tapi begitu tahu Halim dari Indonesia, guide tadi berubah benci. Bahkan mengancam Halim akan dibunuh jika nekat ke Kabul. Aliansi Utara posisi politiknya berseberangan dengan Mujahidin.
Mereka tidak suka orang Indonesia yang banyak bergabung dengan pejuang Mujahidin.
BACA JUGA: Para Loyalis Sudah Siap Tempur: Ayo Kita Lawan!
Tahu Halim diancam, Farius ganti mengancam balik guide yang juga akan menuju Kabul. Kalau berani mengganggu orang yang dikawalnya akan dibunuh.
Si guide dari Aliansi Utara rupanya ngeper. Karena Jalalabad masih dikuasai Mujahidin. Akhirnya guide dan turis yang dikawalnya pindah hotel malam itu juga.
Halim dikawal Farius dan Habibullah menuju Tourkam perbatasan Afghanistan-Pakistan yang masuk Provinsi Jalalabad. Lalu Halim seorang diri meneruskan perjalanan ke Islamabad naik angkutan umum.
Belakangan Halim bercerita untuk bisa lolos perbatasan meski tak mengantongi visa Afghanistan, Halim mengaku mengajak bergurau petugas tentara perbatasan Pakistan.
Tapi, itu tidak mudah karena tubuh Halim yang penuh luka. Bahkan wajahnya sebagian diperban. Hingga petugas kian curiga macam macam. Apalagi Afghanistan lagi berperang. Mengaku pendamping wartawan jelas mungkin. Tapi, selain fasih bahasa Pasthun, Halim punya kartu truf sebagai mahasiswa. Entah apa yang membuat tentara percaya Halim dan meloloskan ke Islamabad, meski tanpa visa. Sedangkan Habibullah dan Farius balik ke Jalalabad, menunggu penulis datang dari Kabul.
Sementara itu, penulis meneruskan misi awal masuk Kabul. Sendiri atau tanpa Halim. Tanggung, sudah sampai Jalalabad. Tinggal satu langkah masuk Kabul, meski resiko perjalanannya sangat berbahaya. Dan, situasi Kabul tidak bisa diprediksi. Bismillah. Jalan.
Foto kenangan di Afghanistan, Desember 2001. (FOTO: Dok. Bahari)
Penulis dikawal tiga orang baru. Tiga tiganya dari Aliansi Utara rekan Farius. Pergantian pengawal semata untuk menjamin keselamatan penulis karena Kabul dikuasai Amerika Sekutu dan kelompok Aliansi Utara. Kalau yang mengawal Farius-Habibullah yang orang Mujahidin sangat beresiko.
Sayang ketiga pengawal penulis tidak bisa bahasa Inggris. Jadi selama perjalanan kami berkomunikasi dengan bahasa Tarsan.
Beruntung sampai di Kabul penulis diinapkan di keluarga pegawai maskapai Ariana milik pemerintah Afghanistan yang bisa bahasa Inggris. Anak anaknya yang kuliah di Universitas Afghanistan juga bisa bahasa Inggris. Jadi, komunikasi agak nyambung. Selama beberapa hari di Kabul penulis diajak blusukan di kota Kabul dan sekitarnya.
Juga menengok KBRI di Kabul yang tampak kosong ditinggal staf Indonesia sejak berkecamuk perang Afghanistan.
Kosim adalah staf lokal KBRI Kabul yang meninggalkan terakhir Afghanistan karena tidak ada jaminan keamanan.
Kosim mengungsi ke KBRI Islamabad. Penulis sempat berbincang lama dengan Kosim yang asal Mataram, NTB, yang beristri orang Afghanistan itu.
Setelah misi masuk Kabul tercapai, penulis balik ke Jalalabad untuk diserahkan kepada duo pengawal Farius-Habibullah lagi.
Cerita liku liku masuk Kabul itu yang diminta Cak Sol ditulis dan dimuat di JP secara bersambung. Tulisan diedit Cak Sol yang bergaya mirip hiperbola. Meledak ledak. Agitatif.
Kembali ke hubungan penulis dengan almarhum. Meski sebagai redaktur nasional berhak menugasi wartawan, tapi satu kali pun Cak Sol tidak pernah memberi tugas kepada penulis.
Penulis selama ngepos di Jakarta lebih banyak blusukan, mencari, dan mengembangkan berita sendiri. Terutama untuk rubrik boks atau features.
Cak Sol selalu mengapresiasi jika ada wartawan yang dapat berita bagus.
Misalnya saat penulis bisa wawancara dengan pilot Garuda Abdul Rozak, sehari setelah pesawat Garuda yang dipilotinya rute Mataram-Jogjakarta mendarat darurat di anak sungai Bengawan Solo di Klaten. Malamnya, Cak Sol kirim SMS. "Apik Har beritamu. Maturnuwun, " japri Cak Sol pada penulis.
Esoknya wawancara Abdul Rozak jadi HL (head line atau berita utama halaman 1). Ada tulisan Eksklusif warna merah di badan berita. Dilengkapi boks tentang cerita istri Abdul Rozak yang juga mantan pramugari itu yang menceritakan penuturan suaminya lewat telpon setelah berhasil mendarat darurat di anak sungai Bengawan Solo.
ORBITKAN ANAK BUAH
Cak Sol tak hanya bisa ngemong Azrul. Cak Sol bersama senior olahraga JP lainnya Suhu, Cak Amu, Cak Fu piawai mengorbitkan anak buahnya hingga diangkat jadi karyawan.
Caranya, memaksimalkan berita berita mereka hingga ada alasan kuat untuk kompartemen olahraga mengusulkan mereka segera diangkat jadi karyawan.
Sebut saja AWW, Ali Mahrus adalah hasil didikan Cak Sol dkk hingga statusnya meninggkat jadi karyawan.
Wartawan olahraga JP masih eksis hingga saat ini Tatang, Rocky Maghbal dan lainnya adalah polesan Cak Sol dan senior JP lainnya seperti Suhu, Cak Amu, Cak Fu. Tak ayal mereka ini begitu takzim sama Cak Sol dan senior olahraga lainnya.
Cak Sol juga berempati terhadap rekan rekan yang belum diangkat.
Suatu ketika Cak Sol mendengar kabar besok akan ada rapat gabungan redaksi dan non redaksi. Salah satu agendanya menentukan nasib Sugeng "Tole" .
Tole meski tergolong karyawan JP senior statusnya ngambang alias tidak jelas setelah bergabung Koran Satriya di Banyumas.
Karena sesuatu hal Tole balik lagi ke induknya JP Surabaya. Tapi, status kekaryawanan Tole tidak kunjung jelas. Masih berstatus kontrak meski telah bekerja 6 tahun di JP.
Cak Sol pun menyarankan Tole menemui Pimred JP Sholihin Hidayat di rumahnya malam itu.
Intinya Tole minta tolong Pak Hin sapaan almarhum Sholihin Hidayat agar diperjuangkan dalam rapat besok. Akhirnya gol. Dengan jaminan redaksi, Tole pun tak lama resmi diangkat jadi karyawan.
Cak Sol juga pernah membela penulis. Saat awal satu, dua, tiga tahun ngepos di Jakarta, penulis sempat membangkang, berseberangan dengan Kepala Biro JP saat itu. Salah satunya karena membangun koncoisme dalam memimpin JP Biro Jakarta.
Penulis menilai ini tidak fair karena tidak bisa mengayomi anak buahnya secara adil.
Sebagai bentuk protes, penulis enggan memberikan no HP. Sebagai gantinya penulis terus blusukan mencari berita, boks, features secara mandiri.
Kepala Biro tadi lalu mengeluhkan sikap penulis ke Cak Sol dan Cak Amu.
Kontan keduanya justru menyalahkan Kabiro tadi yang dianggap tidak bisa ngemong penulis.
"Sampean ae sing nggak isok ngemong. Bahari selama di Surabaya manut, patuh sama para redaktur, " bela Cak Sol dan Cak Amu kompak.
Sampai akhirnya Cak Sol bersama 15 redaktur JP ikut eksodus ke Koran Sindo milik taipan Hari Tanoesoedibjo.
Tak lama di Sindo, Cak Sol hengkang lagi dan bergabung Harian Jurnal Nasional atau Jurnas.
Meski kami berbeda media tapi komunikasi dan persahabatan kami berdua tetap terjaga. Baik komunikasi lewat gawai maupun ketemu langsung.
Biasanya di Hari Lebaran Cak Sol pulang ke Sidoarjo. Penulis biasanya sama isteri silahturahmi ke rumah Cak Sol.
Saat Cak Sol bergabung koran yang berhome base di Jakarta, kalau penulis lagi ke Jakarta setelah pensiun, juga mampir, nyambangi Cak Sol di kantornya. Salah satunya di Menteng, Jakarta Pusat, saat masih bergabung Jurnas. Cak Sol juga menjadi salah satu narasumber buku Azrul Dipuja dan Dicibir.
Cak Sol secara tidak langsung juga menjadi mentor penulis saat menulis buku Konflik JP.
Saat buku sudah jadi, tebalnya bukan main. Penulis sendiri sudah berencana akan memecah menjadi tiga seri.
Meski beberapa kawan menyarankan serupa, tapi penulis belum mantap. Masih menimbang nimbang.
Begitu ketemu Cak Sol di rumahnya sambil menenteng buku Konflik JP, saat melihat fisik buku contoh, Cak Sol langsung berkomentar: "Terlalu tebal Har. Bacanya juga tidak nyaman, " tutur Cak Sol spontan.
"Rencana tak bagi tiga seri Cak. Tapi, belum mantap, " aku penulis.
"Malah apik dibagi tiga seri, " saran Cak Sol.
Setelah itu penulis mantap membagi buku Konflik JP jadi tiga seri atau jilid.
Saran Cak Sol yang paling diingat penulis, saat akan dipindah dari Jakarta ke Surabaya 2007 silam. Saat itu penulis ragu. Gamang. Dan, berniat protes. Bahkan akan demo ke JP Surabaya.
Saat ketemu Cak Sol, almarhum menyarankan menerima saja pindah tugas ke Surabaya. "Nggak usah demo. Protes. Awakmu nggak ero (tahu) peta (redaksi) Surabaya. Terimo en ae pindah sambil mempelajari peta Suroboyo, " saran Cak Sol.
"Nek sik gamang. Engko nang Suroboyo takono Cak Amu. Engko lak pendapat e podo, " tambahnya.
Setelah ketemu Cak Amu, pendapat Cak Sol intinya sama dengan Cak Amu.
Akhirnya, penulis memboyong keluarga dari Jakarta ke Surabaya.
Hikmah terbesar pindah Surabaya, penulis diberi kesempatan menunggui, merawat mak, ibu penulis selama dua tahun sebelum menghadap Illahi karena digerogoti kanker payudara.
Penulis juga bisa bangun rumah hasil utang sana sini. Bahkan menjadi kuli. Benar benar menjadi kuli membantu tukang. Mengaduk semen pasir, ikut ngecor, ngecat agar rumah cepat kelar sekalian ngirit biaya tukang.
Wah.. senang dan bangganya punya rumah sendiri setelah mengontrak delapan tahun di Jakarta
Maturnuwun Ya Allah. Terimakasih Cak Sol yang menyarankan menerima pindah ke Surabaya.
Ternyata banyak hikmahnya bagi penulis pindah ke Surabaya. Selain dekat keluarga, tiap tahun tak perlu bolak balik Jakarta - Surabaya yang menguras tabungan sebagai karyawan rendahan. Sekali lagi maturnuwun Cak Sol. Gusti Allah sing bales kebaikan sampeyan.
Cak Sol juga ramah apalagi kepada para senior. Kalau yang lain panggil Slamet Oerip Prihadi cukup dengan Suhu. Cak Sol beda. Tetap panggil Pak Slamet sebagai bentuk hormatnya terhadap Suhu.
Karena itu banyak senior maupun junior JP yang respek kepada Cak Sol yang bergabung JP mulai 1995–2005 itu.
Mansyur Effendi senior JP dalam postingan di group WA Cowas menyebut: "Cak Sol orang baik. Nggak neko neko. InsyaAllah husnul khotimah.“
Imam Kusnin senior JP yang juga dikenal komandan Banser menambahkan, “Cak Sol orang yang sederhana. Ramah pada siapapun. Cak Sol juga religius. Saya sering shalat berjamaah dengan Cak Sol di mushola belakang Karah Agung maupun mushola lantai 4 Graha Pena. Makanya saya bersaksi Cak Sol orang baik. InsyaAllah husnul-khatimah. “
Benar kata Cak Kusnin, Cak Sol memang bersahaja. Sederhana dalam apa pun. Ya, penampilan, ya tunggangannya. Meski di rumah ada mobil, tapi penulis lihat tak sekali pun Cak Sol pernah bawa mobil ke kantor. Cak Sol lebih suka naik sepeda motor lawas ke mana mana.
Selama kerja di Jakarta, kalau balik ke Surabaya Cak Sol lebih suka naik kereta api sambil membaca buku selama perjalanan. Baru naik pesawat kalau waktunya mepet. Atau ada keperluan mendesak. Selebihnya suka naik kereta api.
Cak Sol juga dikenal merakyat selama bergabung JP. Bergaul dengan siapa saja. Tidak pilih pilih.
“Aku sama Gozali silahturahmi ke rumah Cak Sol saat Lebaran 2023. Disuguhi minum kopi masing masing satu muk besar. Cek e nggak cepet moleh (agar nggak cepat pulang),“ kata Soerijadi, mantan karyawan divisi iklan JP.
“Sampai klempoken, “ tambah Gozali.
BERSAHABAT SELAMA 28 TAHUN
Mengenal Cak Sol sejak 1996, berarti kami berdua sudah berkawan selama 28 tahun. Selama itu kami berdua akur akur saja. Bahkan keluarga kami saling mengenal. Istri saya dan istri Cak Sol beberapa kali ngobrol. Bahkan saya mengikuti perkembangan putri putri Cak Sol mulai kecil hingga beranjak dewasa. Begitu pula sebaliknya, Cak Sol juga tahu anak anak penulis.
Akhirnya Cak Sol menghadap Illahi duluan pada Ahad, 2 Juni 2024. Insya Allah husnul khatimah.
Kami, rekan, sahabat sampeyan juga akan menyusul. Menunggu giliran. Karena kematian itu pasti. Moga kami nanti ditemukan kembali dengan sampeyan oleh pemilik bumi dan langit di jannah-NYA. Aamiin… (*).