COWASJP.COM – Kasihan tuh anaknya lagi tantrum (uring-uringan), lebih baik segera digendong dan ditanya maunya apa. Dilihat banyak orang tuh, gak risih ya anaknya nangis terus.
Justru di fase tersebut mereka sedang belajar meluapkan dan mengatur emosi. Baik orang tua dan anak sama-sama melalui proses belajar memahami satu sama lain.
Sama halnya dengan ucapan: "Pulang sajalah, balik saja ke Indonesia. Merantau itu stres dan capek lho. Emang gak cinta sama tanah air?"
Pasti bikin emosi setiap hari mengurus toddler (anak usia 1 sampai 3 tahun) yang sering tantrum sendirian lho. Tapi apakah benar merantau itu menderita?
BACA JUGA: Ketika Ibu dan Dua Anak Kecilnya Ditinggal Trip Bisnis Suaminya ke Mancanegara
Kepindahan ke Portugal artinya kami bersedia menjadi warga lokal (di Portugal). Yes, warga lokal yang tinggal dalam waktu lama. Bukan hanya 1 atau 2 tahun. Papi Fariz (suami penulis) menjadi karyawan tetap Philip Morris International (PMI) Portugal. Bukan lagi karyawan Indonesia yang ditugaskan di Portugal.
Perasaan senang dan antusias untuk explore negara baru sedang membara, namun jangan lupa fase stres dan tantrum akan hadir dalam proses adaptasi.
Merantau di Eropa membuat kami banyak belajar tentang kehidupan. Kerjasama sepasang suami istri yang tidak hanya tinggal bersama melainkan hidup bersama-sama.
Mulai memberikan tanggung jawab kepada anak-anak karena kelak mereka akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Hidup simple, sederhana, dan berkecukupan. Tidak mempedulikan kehidupan orang lain apalagi sampai timbul iri. Tidak mempedulikan omongan orang lain terhadap kita.
BACA JUGA: KBRI Gelar Pasar Kuliner Indonesia 2024 di Lisabon
Tidak selalu say yes kepada anak saat mereka meminta sesuatu, karena kami mulai mengajari makna budgeting pengeluaran.
Hidup kami di Indonesia dahulu kala cenderung terlalu foya-foya. Hahahaha. Gimana tidak foya-foya, gaji bulanan dihabiskan untuk beli bensin dan bayar tol, karena jarak kantor dan rumah yang jauh (Surabaya - Malang).
Belum lagi setiap weekend selalu makan di mall dan check out toko oren yang setiap hari datang “pakeeeeeeeet”.
Menikmati momen datang ke sekolah Zirco di perayaan Hari Ibu. (FOTO: Fariz Hidayat)
Sepertinya hidup di Eropa kok jadi susah dan ngirit gitu yaaa? Apa betah selama 3 tahun merantau nih?
Alhamdulillah selama hidup 3 tahun merantau di Eropa kami merasakan pikiran yang tenang dan damai. Kami selalu menciptakan energi dan pikiran positif supaya hari-hari dilewati dengan begitu banyak cinta. Daripada selalu memikirkan kapan bisa pulang, kapan bisa makan di resto favorit di Indonesia, kapan bisa bertemu keluarga.
Bahkan ada pula sebagian wanita karir yang begitu resign mungkin dilanda stres dan uring-uringan. Dari tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah, sekarang harus memulai dari awal.
BACA JUGA: UMR Rp 14 Juta Tidak Cukup untuk Bayar Sewa 1 Kamar Apartemen di Pusat Kota Lisbon
Saya juga terpaksa resign sebagai dosen di perguruan tinggi di Gresik. Tapi, tidak perlu stres. Kebalikannya, justru saat merantau ini saya begitu nyaman dan menikmati sekali. Bukan berarti tidak suka dengan pekerjaan yang dulu. Saya merupakan wanita workaholic lho.
Pernah ada di posisi lebih mementingkan pekerjaan daripada mendatangi event anak di sekolahannya. Bahkan Zirco berkata: “Mami sudah gak pernah marah-marah lagi sekarang”. Hahaha. Polosnya anak yang punya Ibu dengan kesabaran setipis tisu. Maklum bukan turunan Nikita Willy nih.
Rutinitas mengantar jemput anak juga sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Bahkan sudah ditambah menjemput suami di kantor juga. Dari yang awalnya takut menyetir karena pakai setir kiri, sekarang sudah mulai terbiasa. Bahkan sudah bisa memparkir paralel juga di pinggir jalan dengan area parkir yang terbatas.
BACA JUGA: Tidak Ada THR, tapi Pekerja Terima 14 Kali Gaji per Tahun
Habis ini masih ada PR untuk mengambil kursus mengemudi yang nantinya bisa dapat SIM Portugal.
Hati tetap Indonesia, meskipun jadi warga lokal Portugal. (FOTO: Dok. Okky Putri Prastuti)
Hidup di Portugal tidak lagi mendapat support penuh dari kantor PMI. Sudah selayaknya warga lokal yang harus pusing tujuh keliling untuk bisa hidup di Eropa. Mulai dari cari apartemen yang nyaman, sekolah yang bisa dekat rumah, bayar listrik, air, gas, menyetir, beli bensin, cari parkir, bayar parkir, mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan bayar pajak yang besar.
Apartemen dan sekolah anak tidak gratis lagi. Tidak ada cleaning service mingguan. Yang mengikuti cerita saya hidup di Portugal pasti tahu bagaimana jungkir baliknya kami mencari apartemen hingga visit 12 tempat.
BACA JUGA: Kedubes Indonesia Lestarikan Tradisi Halal Bihalal dan Sungkeman
Social life juga berpengaruh untuk menciptakan hari-hari yang berkesan. Bisa dibilang saat di Indonesia saya hanya punya kolega di kantor, kenalan sesama orangtua di sekolah anak, dan classmate saat menempuh pendidikan.
Sehari-hari kesibukan saya pasti berangkat ke kantor, pulang malam, weekend ke mall. Ditambah pandemi maka bisa dipastikan 24 jam di rumah.
DoubleZ juga mulai bisa diajak kerjasama untuk membantu bersih-bersih rumah. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Setelah tiba di Eropa, saya mulai berkenalan dan bertemu dengan teman-teman baru. Sesama Indonesia dan juga bule.
Wanita perlu mengeluarkan 20.000 kata setiap harinya supaya tidak memendam stres. Selain mengobrol dengan suami dan anak-anak, saya mulai rutin bertemu dengan teman-teman terdekat. Saling berbagi pengalaman bagaimana cara survive hidup di perantauan.
BACA JUGA: Asyiknya Bukber Bersama Teman dari Pakistan, China dan Amerika
Kadang breakfast bersama di cafe, playdate dengan teman indonesia yang umur anak sepantaran, makan bersama di rumah salah satu teman, pergi piknik di taman, dkk.
Salah satu yang buat betah tinggal merantau adalah kualitas kehidupan yang dirasakan. Seperti apakah itu life quality di Eropa? Simak flashback cerita Mami DoubleZ edisi yang sudah 3 tahun hidup merantau. (Bersambung)