Resensi Buku

Listrik Untuk Kebulatan Tekad

Foto: Istimewa

COWASJP.COM –  

Judul: Electrifying Indonesia: Technology and Social Justice in National Development

Penulis: Anto Mohsin

Penerbit: University of Wisconsin Press

Cetakan: Pertama, 2023

Tebal: 270 hal

KENDATI belum dapat melistriki Indonesia seratus persen, sejatinya listrik memiliki sejarah panjang di Indonesia. Pada tahun 1889 sebuah trem listrik di Jawa telah terpasang, dan pada tahun 1909 panjang jalur trem tersebut mencapai 14 kilometer. 

Di Hindia Belanda tahun 1938, ada  5% penduduk  menggunakan listrik. Dan tercatat penduduk pribumi pengguna listrik saat itu sebesar 54.000 orang dengan biaya sebesar 25 sen seminggu untuk lampu sebesar sepuluh watt.

Di Jawa saat itu juga sudah diterbitkan majalah berbahasa Belanda "Alles Elektrisch in Huis en Bedrijf" (Melistriki Rumah dan Bisnis). Majalah ini terjual cukup besar pada masa itu yakni 30.000 eksemplar per bulan. Majalah ini sangat diminati oleh para perempuan Belanda di Jawa. 

Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda sekaligus memutus hubungan diplomatik. Sukarno kemudian mengajak rakyat Indonesia untuk bertansformasi dari negara agraris menjadi negara yag "berwawasan listrik" yakni negara industri.

Guna mencapai tujuan tersebut pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan teknis  dari Administrasi Kerjasama Internasional Amerika atau melalui International Cooperation Administration ICA dan pemerintah Cekoslowakia. 

Di kemudian hari ICA ini berubah menjadi USAID. Laporan awal menunjukkan ICA akan menyediakan generator diesel di empat puluh satu kota dan pemerintah Cekoslowakia di empat puluh delapan kota.

Sayangnya buku atau tulisan mengenai sejarah kelistrikan dan dampak ketenagalistrikan terhadap transformasi masyarakat sangat jarang kita ditemui. Demikian juga buku atau tulisan dampak teknologi terhadap perkembangan negara kita.

BACA JUGA: Di Hindia Belanda tahun 1938, ada  5% penduduk  menggunakan listrik.

Guna mengatasi kesenjangan itu maka buku berjudul "Electrifying Indonesia : Technology and Social Justcie in National Development" yang ditulis oleh Anto Mohsin, pengajar pada Universitas Northwestern di Qatar menjadi penting.  Khususnya bagi mereka yang mempelajari sosiologi teknologi atau politik. Buku yang memfokuskan pada pembangunan ketenagalistrikan pada masa Orde Baru ini, terdiri dari enam Bab dengan satu bab Pendahuluan.

Argumentasi dasar dari buku ini yakni, pemerintahan Soeharto menganggap bahwa listrik adalah barang publik dan negara menyediakannya sebagai layanan sosial sekaligus imbalan atas dukungan dan persetujuan politik atas visi pemerintah untuk masyarakat. Orde Baru menjadikan listrik menjadi agenda nasional dengan melaksanakan program Listrik Masuk Desa, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mendapatkan imbalan atas suara mereka dalam Pemilu. 

Guna mencapai tujuan tersebut pemerintahan Orde Baru menjadikan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai organisasi teknis dan sosial. PLN sebagai satu-satunya perusahaan jasa ketenagalistrikan selain menyalurkan listrik juga melakukan layanan sosial lainnya seperti sumbangan, beasiswa dan pinjaman kepada masyarakat.

Lebih dari itu, Orde Baru membuat PLN juga berperan sebagai pendorong ideologi Pancasila. Pegawai PLN diberi mandat untuk mengikuti kursus indoktrinasi dan dalam banyak kesempatan menggunakan Pancasila untuk membicarakan kebijakan dan proyek elektrifikasi.

Dengan cara ini, PLN turut menyebarkan ideologi negara kepada masyarakat, yang diberi tahu bahwa listrik dan program elektrifikasi nasional akan membantu mencapai cita-cita keadilan sosial Pancasila. 

Karenanya buat Orde Baru melistriki Indonesia tidak hanya untuk memberikan penerangan atau energi, melainkan juga sebagai imbalan atas dukungan elektoral dan politik yang kemudian membangun sebuah patronase politik.

Menurut Anto Mohsi sang penulis, perkembangan teknologi dan program elektrifikasi bukanlah sesuatu yang sifatnya apolitis.  

Politik terkait dengan teknosains yang berarti tidak hanya menyadari dan menyelidiki “teknologi sebagai situs dan objek politik” namun juga memahami bahwa masyarakat dan teknologi saling membentuk dan karenanya sains dan tatanan sosial diproduksi bersama.

Listrik menjadi teknologi energi baru bagi masyarakat dan digunakan untuk memenuhi tujuan ekonomi politik rezim Soeharto yang kemudian menggunakan ketersediaan listrik ini sesuai tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Ketersediaan listirk menjadi performance legitimacy, di mana Orde Baru juga mempercayai bahwa ketersediaan listrik akan mendorong Indonesia menuju industrialisasi dan modernisasi.

Penulis menggunakan dua  pendekatan dalam melihat elektrifikasi yang dilakukan oleh Orde Baru. Pertama, melalui pendekatan Sosiotechnical Sytem yang dikembangkan oleh sejarawan Thomas P Hughes dan Patrimonial Technopolitics yang dirangkum dari beberapa pakar politik yag bertujuan untuk mengkaji keterkaitan politik dan teknologi dalam sebuah rezim patrimonial.

Pendekatan Sosiotechnical System, digunakan  untuk memahami perkembangan sistem teknologi besar, dimana perlu adanya pendekatan yang lebih holistik daripada meneliti komponen infrastruktur yang sifatnya lebih teknis. Hughes mengatakan bahwa organisasi, kondisi ekonomi, tatanan politik, sumberdaya yang tersedia dan orang-orang penting pengambil keputusan memainkan peran penting dalam membangun infrastruktur tersebut.

Buku ini menjelaskan meskipun pemerintahan Orde Baru telah melakukan elektrifikasi dipedesaan sejak awal tahun 1970-an, namun baru pada saat dimulainya Rencana Pembangunan Lima Tahun ketiga (REPELITA) pada bulan April 1979, elektrifikasi pedesaan diprioritaskan sebagai program dan upaya utama adalah perbaikan desa. Pemerintah Orde Baru mengaitkan elektrifikasi pedesaan ini dengan politik elektoral dan mengirimkan menteri-menteri kabinetnya untuk meresmikan program kelistrikan di ribuan desa.

Strategi ini membuahkan hasil dengan kemenangan Golkar pada pemilu di tahun 1982. Praktik seperti ini kemudian juga diulangi pada pemilu tahun 1987 dengan hasil yang membahagiakan Partai Golkar. 

Saat itu dalam suasana  menjelang Pemilu, di mana-mana banjir kebulatan tekad guna mendukung keberlangsungan pembangunan di bawah Orde Baru. Dengan Golkar sebagai partai penyokong utama, dan tentunya ABRI dengan sepatu lars dan pentungannya, serta birokrasi dengan mesin pemerintahan dengan kemampuannya mengubah penghitungan suara pada bagian yang lain.

Bagaimanakah pemerintahan Orde Baru dapat memenangkan "heart and mind" rakyat untuk memenangkan Golkar? 

Guna mengamankan suara rakyat dalam pemilu "tidak pindah ke lain hati" maka pemerintah melaksanakan "penyetruman" desa-desa dengan listrik yang menggunakan genset dengan bahan bakar diesel. Ini cara yang paling cepat dan efektif namun berbiaya sangat mahal. 

Penggunaan diesel ini sehat secara politik namun tidak sehat secara finansial. Pemerintah Indonesia waktu itu sepertinya tidak terlalu peduli dengan harga diesel mengingat Indonesia masih surplus minyak.

Penggunaan diesel sebagai bahan bakar di kemudian hari sangat membebani keuangan PLN dan itu berlangsung hingga hari ini. PLN mengoperasikan lebih dari 5.000 PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel), yang membuatnya sebagai konsumen solar terbesar di Indonesia.

Pemerintah dan PLN perlu lebih inovatif dalam mengoperasikan pembangkit di wilayah-wilayah yang secara ekonomis tidak dapat dijangkau oleh transmisi skala besar, dan karenanya perlu dilakukan rekontekstualisasi Program Pembangkit Skala Kecil Tersebar yang dicanangkan sejak tahun 1999. 

Pengutamaan sumberdaya lokal yang tersedia dan dengan menggunakan teknologi yang berkembang saat ini, memungkinkan bahwa PLTD dapat dikonversi dengan beragam pembangkit lainnya. Seperti bio-CNG, biogas, biomassa (biomass gasification), low-head hydro power, atau juga penggunaan mini-LNG untuk daerah yang terpencil. Ini tentunya tantangan baru agar tidak tergantung dengan pembangkit yang berasal dari minyak dan ini tidak terlalu sulit sebetulnya secara teknologi. (***)

Pewarta : -
Editor : Erwan Widyarto
Sumber :

Komentar Anda