COWASJP.COM – Mereka melakukan apa saja untuk memperoleh atau melanggengkan kekuasaan. Etika bahkan moral tidak penting. Bahkan tak masalah dilanggar demi mencapai tujuan.
Seorang pemimpin Machiavellian sangat manipulatif. Mampu tampil begitu humanis, menutupi segala tipu muslihat dan kebohongan. Kekuasaan digunakan bukan untuk membantu rakyat. Namun rakyat justru digunakan sebagai "alat" untuk mencapai tujuan dan ambisinya. Bagi Machiavellian, tujuan menghalalkan segala cara.
Pragmatisme Machiavellian menggerogoti kehidupan berbangsa. Prinsip etik dan moral politik yang dipisahkan dari praktik berpolitik telah melahirkan cacat demokrasi. Politik bukan lagi menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Namun justru menuntut pelaku politik turut tenggelam dalam arus yang kotor dan manipulatif.
Steven Coleman, Professor of Political Communication, University of Leeds menyatakan dalam ulasannya pada The Conversation, semua negara demokrasi perlu mewaspadai bangkitnya gaya kepemimpinan Machiavelli. Coleman sendiri menyoroti mundurnya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, pada 2022 lalu.
Johnson yang nyentrik itu, mundur dua hari setelah 53 menteri dan eksekutif Britania Raya mengundurkan diri karena menilai kepemimpinan Johnson telah gagal. PM Inggris yang berlatar belakang sebagai jurnalis The Times itu dinilai mengikuti gaya kepemimpinan ala Machiavelli.
Sosok Johnson populer, menarik, optimis, dan agak lucu. Rambut pirangnya yang selalu tampak berantakan seperti tak kenal sisir, juga kepribadiannya yang kikuk, membuatnya gampang dikenali, bahkan oleh mereka yang tak tertarik dunia politik.
Dengan karakter inilah, gaya komunikasi politik Johnson memikat banyak pemilih dan mendulang suara.
Tapi gelombang yang ingin melengserkannya muncul karena Johnson banyak melakukan manuver-manuver yang tidak pantas, menabrak etika, logika, dan moralitas.
Saat Johnson melarang rakyatnya berkegiatan di masa pandemic covid 19, Johnson malah mengadakan pesta-pesta di kantor dan kediamannya.
Bahkan buntutnya sampai pada kasus pelecehan seksual yang melibatkan circle terdekatnya.
Berbagai pelanggaran etika dan moral yang dilakukannya membuat parlemen Inggris menyatakan kepemimpinan Johnson telah gagal dan mengajukan mosi tidak percaya. Puncaknya adalah mundurnya para menteri.
DICINTAI ATAU DITAKUTI
Adalah Niccolo Marchiavelli, seorang filsuf Italia era renaisans yang mengajarkan gaya kepemimpinan ala kekuasaan. Dalam magnum opus-nya, Il Principe atau The Prince yang ditulis dua abad yang lalu, Machiavelli menulis banyak hal tentang bagaimana seorang pemimpin (Sang Pangeran) harus berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya.
Machiavelli menulis The Prince sebagai buku pegangan bagi para penguasa. Dan dia secara eksplisit menyatakan dalam seluruh karyanya bahwa dia tidak tertarik berbicara tentang republik ideal atau utopia imajiner, seperti yang telah dilakukan oleh banyak pendahulunya. Dia menulis politik realis.
Machiavelli mengajarkan praktik politik yang oportunis, tidak mengindahkan moralitas, agama, dan hanya berfokus pada bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
The Prince lantas menjadi semacam “kitab suci” politik realis (realpolitic).
Dia lah yang pertama kali memisahkan antara etika dan moral dari politik. Juga memisahkan agama dari politik. Dan menyetujui konsep negara sekuler.
Pemikirannya pun menjadi antitesis bagi “politik ideal” yang tidak memisahkan etika dan politik ala Plato atau Aristoteles.
Pada praktik pemerintahan Machiavellian, pemimpin punya kecenderungan untuk berbohong, memanipulasi, dan mengeksploitasi ketakutan publik. Serta menghalalkan segala cara agar masyarakat mengikuti aturan untuk mewujudkan apa yang mereka anggap sebagai “kebaikan bersama”.
Dalam buku itu pula, Machiavelli menuturkan, seorang pemimpin lebih baik ditakuti daripada dicintai jika ingin mempertahankan kekuasaannya.
Cinta, menurut Machiavelli, bisa berubah dalam sekejap. Namun rasa takut akan menetap. Dan ini diperlukan dalam kepemimpinan yang baik dan kuat, dan mencegah pemberontakan.
Menghalalkan segala cara ini termasuk pula memanfaatkan ekologi media dan praktek jurnalistik yang buruk. Yang sering kali memberikan ruang yang lebar untuk tokoh-tokoh yang lantang namun menyesatkan.
Kita mengenal praktek seperti ini dalam maraknya komunikasi politik menggunakan buzzer dan influencer. Yang lantang menyampaikan pesan si pembayar. Bukan menyampaikan kebenaran.
Karakter Machiavelli inilah yang kemudian menghasilkan Machiavellisme dalam ilmu psikologi kepribadian. Karakter Machiavelli adalah salah satu dari tiga jenis karakter dark triad, tiga karakter gelap yang harus dihindari. Machiavellisme, narsistik, dan psikopati.
Namun berbeda dengan narsistik yang haus validasi, Machiavellian justru seorang manipulator ulung. Untuk itu, Machiavellian tidak segan-segan untuk memanipulasi orang lain, berbohong, bertindak tidak berperasaan, dan mengabaikan etika dan moralitas.
Dan sebagai seorang manipulator ulung, seorang pemimpin berkarakter Machiavellian akan tampil humanis, menjadi sosok yang baik, dan menarik simpati.
Namun, mereka adalah pembohong yang mahir. Dan untuk mencapai tujuan, mereka tidak segan mengorbankan orang lain. Machiavellian mencapai tujuannya dengan manipulasi dan strategi. Mereka cerdas, intens, dan percaya diri.
Karena itulah, dari tiga kepribadian gelap, Machiavellisme adalah yang paling berbahaya.
Bagaimana menghadapi seorang Machiavellian? Beri batasan tegas. Mengikuti semua keinginan seorang Machiavellian hanya akan memperburuk karakter amoral dan manipulasinya. Meski berpenampilan humanis, seorang Machiavelllian cenderung tidak berperasaan. Jangan percaya semua manipulasinya. Tegaskan jikalau dia buruk, maka semua orang akan melihatnya buruk pula.
Pemimpin yang menunjukkan sifat Machiavellian tinggi sering kali memiliki kepekaan yang tajam terhadap situasi dan mahir membaca serta memanipulasi dinamika sosial. Bagi Machiavellian, keaslian—atau setidaknya keterbukaan— sangat penting bagi kepemimpinan yang baik.
Bagaimanapun, setiap pemimpin “yang berusaha menipu” akan selalu menemukan seseorang yang akan “membiarkan dirinya tertipu.”
Selain Boris Johnson, gaya kepemimpinan Adolf Hitler dan Steve Jobs (dalam kepemimpinan korporat) dinilai banyak mempraktekkan gaya Machiavellisme.
Bagaimana di negara kita? (*)