COWASJP.COM – YOGYA – Jangan pernah bosan ke Yogya. Sempatkan untuk liburan atau healing dengan menikmati suasana maupun aktivitas budaya Yogya. Dan, jika ke Yogya di antara tanggal 17-30 September 2024, mampirlah ke Museum Monumen Jogja Kembali (Monjali).
Selama tanggal tersebut, selain bisa menikmati koleksi museum yang berisi perjuangan mempertahankan kemerdekaan, bisa pula disimak pameran lukisan. Pameran ini memiliki banyak hal menarik. Di antaranya, inilah pameran yang "bertabur bintang".
Ya, pameran bertema Oldies ini bertabur bintang. Orang-orang dengan "bintang" di bidangnya. Yang pertama, sosok yang membuka pameran lukisan dengan 55 perupa ini adalah seorang bintang dua kepolisian bergelar profesor: Prof Dr Irjen Pol Chryshnanda Dwilaksana. Chryshnanda adalah jenderal yang seniman.
Yang kedua, di antara para peserta pun, ada "bintang" di bidangnya. Yakni para pendidik yang bergelar profesor. Ada Prof Dr Trie Hartiti Retnowati, dan Prof Dr I Wayan Suardana. Keduanya dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dan ada pula Prof. Dr Ahmad Syaify dari Fakultas Kedokteran Gigi UGM.
Tema Oldies sebenarnya bisa dimaknai dalam dua sisi. Pertama, dimaksudkan merujuk pada nostalgia terhadap masa lalu, khususnya era 50-an hingga 70-an. Kedua, bisa pula merujuk pada para perupa peserta yang usianya sudah old. Berumur.
Rupanya pameran bertema Oldies kali ini lebih memilih untuk yang kedua. Para peserta merupakan kaum old. Bisa disebut para peserta pameran adalah perupa manula. Manusia usia lanjut. Tapi, tentu saja, manula yang produktif. Terus berkarya tanpa mengenal usia.
Mereka pun ingin menginspirasi generasi muda. Menciptakan dialog antargenerasi. Membuka ruang bagi berbagai generasi untuk berbagi pengalaman dan persepsi mengenai karya seni rupa. Para perupa ingin menghidupkan kembali semangat kreativitas: Merangsang para seniman untuk bereksplorasi dan menghasilkan karya-karya seni.
Kurator Pameran Dr Hadjar Pamadhi mengungkap pameran karya seni Oldies ini seperti lagu-lagu yang terhimpun dalam Golden Oldies Indonesia tahun 1950-1960. Chrisye, Nike Ardila, Rhoma Irama, Achmad Albar, Benyamin dan yang lain-lain. Lagu-lagu terasa merindukan dunia ‘memahami kita’, umpatan manis cinta, tentang asmara, bahkan tentang sekolah diharap paham tentang kita.
"Itulah dunia oldies lagu, maka serasa lagu Oldies Seni Rupa; karya-karya yang masuk sebagai imajinasi perupa adalah dunia realis," ungkap Hadjar Pamadhi yang selama ini dikenal sebagai pelukis Rajah.
Ditambahkannya, para perupa Oldies ini menerjemahkan dunia realis menjadi realisme semu, realisme sosial, bahkan surealisme. Para perupa ini merepresentasikan menjadi dua kategori: seni representasional dan nonrepresentasional.
Juragan Erwan dalam tulisan pengantar pameran menuliskan fantasi dan imajinasi para perupa dalam berkarya pun banyak yang mengarah pada upaya reflektif masa lalu, dan mengungkap isu-isu sosial yang relevan dengan konteks masa kini. Ada pula yang mengangkat lawasan, sesuatu yang kuno, yang old.
Upaya reflektif masa lalu diangkat oleh Christina Anggriyani (Siapakah Aku Ini), Dwi Retno Sri Ambarwati (Wanita Penjaga Kehidupan), Andaru Priyoko (Narima ing Pandum) dan Erwan Widyarto (Menjalani Takdir),
Sedangkan tema lawasan terlihat pada Bank Indonesia Jogja karya Agus Winarto. Atau I Will Survive karya Agung Suhastono yang memvisualkan sepeda onta. Podang Suroto (Ngasem Tahun 1998), Pratiwi Endang Lestari (Desaku yang Kucinta) dan CH Sapto Wibowo dengan Radio Kuno.
Jika oldies adalah masa lalu, lawan dari kontemporer atau kekinian, maka banyak perupa yang mengangkat soal masa lalu seperti tarian, tokoh wayang maupun kehidupan sosial jual beli pasar tradisional.
Tengok saja karya Moego Anugri (Dewi Gandari), Barlin Srikaton (Arjuna Wiwaha), Faisal Budiharso (Great Story of Roro Mendut), Benny Dimsiki (Panen Brambang), Budiati Tino Sidin (Pasar Kobis), dan Marsim dengan Pencuri Hati yang mengangkat cerita Jaka Tarub.
Dengan eksplorasi yang kreatif dan beragam dari para seniman, kita pun dapat menyaksikan karya-karya seni yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga mengandung makna yang mendalam. Dan tetap memiliki konteks kekinian. (*)