COWASJP.COM – Banyak kisah menarik dari Yudhy yang telah operasi 11 kali itu. Misalnya saat operasi pertama di Malaysia, dia dinyatakan kekurangan gizi oleh dokter. Karena itu tak berani diambil tindakan medis.
Tapi, di balik itu, dokter juga heran. Kalau kekurangan gizi, identik miskin. Namun, Yudhy bisa berobat di luar negeri. Aneh.
Tadi malam Yudhy telepon ke saya. Agar lebih berhati-hati paska operasi. Harus jaga kebersihan. Sebab, yang dioperasi tempat yang dilalui kotoran.
“Itu yang berat. Cara merawatnya harus betul-betul bersih,” sarannya.
BACA JUGA: Marlas: Pak Nas, Ayo Kita Kampanyekan soal Fitsula Ani, agar Orang Lain Tidak Menderita
Di rumah saya dirawat isteri tercinta. Lulusan Akademi Bank, namun mahir jadi perawat dadakan.
Semula dia takut melihat luka operasi itu. Tapi terpaksa harus melakukannya demi suami tercinta.
“Pertama jangankan memegang. Melihat saja sudah ngeri,” kata isteriku.
Ini semua tak lepas dari kesabaran Dr Bambang yang mengajarkannya.
Karena untuk merawat penyakit yang saya alami, memang rumit. Ada 10 macam peralatan dan obat yang harus ditempelkan pada luka.
Diawali penyemprotan dengan cairan infus. Campur cairan killbac untuk membunuh kuman pada permukaan luka.
Baru kemudian dibersihkan dengan bactigras. Kasa steril khusus pula.
Disemprot ulang sampai bersih. Baru dioleskan dengan salap Hyalo4. Yang mahal itu. Yang diindikasikan untuk penanganan iritasi dan lesi kulit. Sebab, di kulit luar anus saya sudah dibelah. Untuk membersihkan lubang kecil yang membuat sakit itu.
BACA JUGA: Yudhy Harus Lima Kali Operasi dalam Setahun, tapi Tak Sembuh Juga
Harapannya, luka itu akan tertutup sendiri dan jadi daging seperti sedia kala.
Tadi malam saya terima telepon dari Pak David yang sedang berada di Australia. Dia memberikan motivasi kepada saya. Sembari bercerita pengalaman menangani Joshua, 27, anaknya yang bekerja di negeri kanguru itu.
Joshua tiga kali operasi. Salah satunya di Australia, tapi juga tidak tuntas. Dan terakhir operasi di Dr Bambang.
Kata David, paska operasi, dialah yang merawat putranya tersebut.
Yang paling repot, ceritanya, setelah selesai ke belakang. Sebab, bekasnya hanya bisa disemprot dengan air. Karena lukanya tidak bisa langsung bersih.
“Selama sebulan setengah saya rawat sendiri Joshua,” cerita David, membagi pengalaman kepada saya.
Itu pula yang dilakukan isteri saya. Setiap hari di rumah. Dia adalah perawatku yang juga isteriku tercinta.
Kenapa tidak panggil perawat dari luar aja Jawabannya: mahal. Sekali berkunjung Rp 405.000. Padahal sehari tiga kali merawatnya. Kali dua bulan, lumayan juga.
“Mahal. Isterimu saja yang saya ajari,” kata dokter Bambang, dokter yang dikenal ramah dan baik hati ini.
Setiap kontrol di kliniknya Jalan Dr Soetomo 78 Surabaya, Dr Bambang suruh praktikkan isteriku. Akhirnya isteriku mahir juga. Berani juga. (Bersambung)