Perkembangan AI Butuh Energi Aduhai

Foto: Istimewa

COWASJP.COMPerkembangan yang cepat dari dunia digital membawa dampak baru, yakni pentingnya ketersediaan pasokan listrik yang besar dan stabil. Internet berkecepatan tinggi, pusat data (data center), kecerdasan artifisial (artificial intelligence) atau industri teknologi (tech industry) yang sangat berkembang akhir-akhir adalah industri baru yang haus akan asupan energi. 

***

INDUSTRI ini, khususnya pusat data, memerlukan pasokan energi yang besar, tidak boleh berhenti dan harus disuplai terus menerus. Dan karenanya kehandalan pasokan menjadi isu utama. Tanpa adanya pasokan energi yang handal maka dipastikan industri pusat data yang menjadi tulang punggung dunia digital akan menolak proposal dari siapapun yang menghendaki pusat datanya ditaruh di sana. Pusat data adalah “energy hungry” yang kebutuhanya meningkat terus secara eksponensial di seluruh Dunia.

Goldman Sachs Research memperkirakan bahwa permintaan energi untuk pusat data akan tumbuh 160% pada tahun 2030. Sementara itu IEA (Internationa Energy Agency) memperkirakan konsumsi listrik dari pusat data, kecerdasan buatan (AI), dan sektor mata uang kripto akan mengonsumsi listrik lebih dari 1.000 terawatt-jam (TWh) pada tahun 2026.

Negara-negara maju yang laju pertumbuhan listriknya beberapa dekade lalu relatif stabil saat ini harus menyiapkan diri untuk memberi asupan energi pada pusat data meraka, termasuk Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat sebagai pusat teknologi informasi dunia pertumbuhan konsumsi pusat data akan mencapai 9% dari konsumsi listrik di AS pada tahun 2030, naik dua kali lipat dari konsumsi saat ini. 

Di pusat data, ruangan yang luas berisi server komputer harus tetap dingin untuk mencegah perangkat keras berhenti bekerja. Diperkirakan 40 persen dari permintaan listrik mereka adalah untuk pendingin udara. Menurut Departemen Energi Amerika, pusat data mengonsumsi daya 10 hingga 50 kali lebih banyak per unit ruang lantai daripada gedung perkantoran komersial.

Tumpukan rak-rak server yang menggerakkan internet modern, telah ada selama beberapa dekade. Namun, jumlah listrik yang mereka butuhkan sekarang melonjak karena maraknya penggunaan kecerdasan artifisial (AI). Penggunaan komputasi yang semakin rumit, cepat dan banyak ini kemudian membebani sistem ketenagalistrikan. Sebagai contoh, pencarian dengan menggunakan menggunakan ChatGPT menghabiskan hampir 10 kali jumlah listrik dibandingkan pencarian melalui mesin pencari Google.

Pada awalnya Tech Industry ini memilih untuk menggunakan energi terbarukan khususnya PLTS untuk mengisi pasokan listrik pada industri mereka. PLTS dianggap rendah emisi dan penting bagi pengurangan jejak karbon. Namun ketersediaan daya yang konsisten dan stabil sulit dipenuhi oleh pembangkit terbarukan khsusunya PLTS. Energi terbarukan dianggap gagal menutup kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan, dan karenanya energi terbarukan dianggap bukan kawan seiring dalam hal pasokan ke industri pusat data ini.

Sektor industri ini membutuhkan alternatif energi yang memiliki jejak karbon yang rendah yang mampu memberikan pasokan yang handal untuk industri mereka, dan kemudian nuklir (PLTN) dianggap dapat mengisi kesenjangan tersebut.

Saat ini Tech Industry seperti Google, Amazon, Microsoft dan juga Nvidia sudah menyatakan nuklir sebagai pilihan. 

“Nuklir adalah sumber energi aman dan bebas karbon yang dapat membantu menggerakkan operasi kami dan memenuhi permintaan pelanggan yang terus meningkat, sekaligus membantu kami mencapai komitmen Climate Pledge untuk menjadi net-zero carbon di seluruh operasi kami pada tahun 2040,” kata Matt. Garman, CEO Layanan Web Amazon (AWS). 

Amazon baru saja menandatangani perjanjian dengan penyedia energi, Energy Northwest untuk mengembangkan pembangkit nuklir reaktor modular kecil (SMR) dengan kapasitas 320 MW untuk tahap pertama dan akan dikembangkan hingga 960 MW.

Pasca kerjasama Amazon dengan Energy Northwest publik melihat ada sentiment positif dan membuat harga saham beberapa pengembang SMR yang tercatat di bursa saham Amerika seperti Oklo Inc, NuScale, X-energy, Kairos Power dan BWX RTechnologies  mengalami lonjakan saham. Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir baru memerlukan biaya yang mahal, namun publik melihat bahwa perusahaan-perusahaan teknologi besar bersedia membayar mahal untuk pasokan listrik yang ramah lingkungan.

Keinginan menggunakan PLTN ini beriringan dengan “musim semi” kebangkitan pembangkit nuklir Amerika dengan maraknya pertumbuhan industri nuklir reaktor modular kecil (small modular reactor/SMR ). SMR ini dianggap angin segar industri nuklir Amerika, mengingat kepercayaan yang mendalam di Amerika bahwa untuk mencapai skala ekonomis PLTN harus memiliki daya yang besar dengan memaksimalkan skala vertikal dan menjaga biaya per kWh ke konsumen tetap rendah. “Go big or go home”, demikian industri nuklir konvensional beranggapan dan mengapa PLTN skala kecil tidak menarik untuk dikembangkan. 

Kini dengan perkembangan teknologi nuklir yang pesat, pembangkit nuklir konvensional mendapat tantangan baru melalui SMR yang dianggap lebih fleksibel dengan ciri secara kapasitas lebih kecil yakni pada skala di bawah 300 MW dan sistem dan komponen dirakit di pabrik dan diangkut sebagai satu unit ke lokasi pemasangan (modular). 

Baik PLTN atau konvensional atau skala kecil pada dasarnya adalah pembangkit listrik tenaga uap dengan sumber panas fisi nuklir dimana peralatan keselamatan dan kontrol terkait untuk mengoperasikan dan menjaga sumber panas dan paparan radiasi tersebut tetap aman. Pemerintah Amerika membuat aturan yang sangat ketat dengan menerapkan prinsip ALARA (as low as reasonably achievable) dimana paparan radiasi nuklir harus dalam dosis terendah.

Di kemudian hari prinsip ALARA ini dianggap momok bagi pengembangan nuklir di Amerika karena dianggap sangat ketat dan mempersulit perkembangan PLTN di sana termasuk SMR. Dan ini adalah salah satu tantangan bagi penyediaan listrik dengan SMR.

Persoalan lain untuk penggunaan SMR untuk Tech Industry datang dari penyedia transmisi. 

Di Santa Clara, California, salah satu kota asal industri teknologi, Silicon Valley Power (SVP), telah berhenti menerima permintaan layanan listrik tambahan untuk pusat data. SVP mengatakan pihaknya menghadapi kendala transmisi dan pembangkit listrik yang tidak dapat diatasi hingga awal tahun 2030-an. 

Beberapa wilayah lain seperti Virginia, penyedia listrik di sana, Dominion Energy, mengatakan akan menggilir (rationing) listrik ke beberapa pusat data hingga jalur transmisi baru dapat diselesaikan. Persoalan penambahan daya juga menjadi persoalan pelik di Ohio yang akan kehabisan kapasitas transmisi pada tahun 2028.

Lebih dari itu keinginan para Tech Company untuk menggunakan listrik dari pembangkit nuklir akan sulit diwujudkan on schedule seperti apa yang mereka gembar-gemborkan mengingat Amerika kekurangan tenaga kerja terampil di bidang nuklir. 

Ini seperti paradoks, mengingat Amerika adalah negara maju dengan kualitas sumber daya manusia yang unggul. Kekurangn tenaga terampil adalah “upah” bagi Amerika karena telah lama meninggalkan nuklir (PLTN) dan menjadikannya musuh bersama dalam jangka waktu yang cukup lama. (*)

Pewarta : -
Editor : Erwan Widyarto
Sumber :

Komentar Anda