Kenaikan PPN Menjadi 12%: Langkah Fiskal yang Bijak atau Memperberat Beban Rakyat?

DESAIN GRAFIS: ayogarut.com

COWASJP.COM – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang berlaku sejak 1 Januari 2025 menimbulkan perdebatan dan kegaduhan di masyarakat luas. 

Pemerintah menyebut langkah ini sebagai strategi untuk memperkuat penerimaan negara dan mendukung pembangunan. Namun, masyarakat dan pelaku usaha menilai kebijakan ini berpotensi membebani ekonomi rumah tangga dan dunia usaha, terutama saat kondisi pemulihan pascapandemi belum sepenuhnya stabil.

Kebijakan ini tentu memiliki alasan logis dari sisi fiskal. Tetapi apakah kenaikan PPN benar-benar solusi terbaik? 

Artikel ini coba menganalisis kenaikan PPN dari sudut pandang masyarakat, dunia usaha, serta peran pemerintah dalam mengelola dampaknya.

BACA JUGA: Kedokteran Hewan di Indonesia: Menjawab Tantangan dan Memanfaatkan Peluang

Pemerintah menganggap kenaikan PPN sebagai bagian dari upaya memperkuat kas negara. Dengan pendapatan negara yang lebih besar, pemerintah berharap dapat mendanai proyek-proyek strategis, seperti pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan kesehatan, dan pendidikan.

Secara teoritis, menaikkan PPN memberikan solusi cepat untuk memperluas basis penerimaan pajak. Pajak ini dikenakan pada barang dan jasa konsumsi, sehingga potensi pengumpulan pajak relatif besar. 

Dalam konteks ini, kebijakan menaikkan PPN tampak dijadikan langkah strategis untuk mengurangi defisit anggaran dan ketergantungan pada utang.

Namun, kita juga harus mempertanyakan efisiensi pemerintah dalam mengelola penerimaan pajak. Apakah dana yang diperoleh dari kenaikan PPN benar-benar digunakan secara efektif? 

Tapi ada hal lain sangat penting yang diabaikan pemerintah. Presiden yang baru bersama kabinet barunya seharusnya memberikan bukti terlebih dahulu kepada rakyatnya. Buktikan dulu bahwa pemerintah yang sekarang benar-benar serius memberantas korupsi. Berikan terlebih dulu sesuatu yang membanggakan rakyat!

Barulah kemudian pemerintah meminta kesediaan rakyat untuk dinaikkan pajak PPN-nye dari 11 persen menjadi 12 persen. 

Jangan belum-belum sudah minta pengorbanan rakyat yang sudah menderita ini. Kearifan ini yang dilanggar oleh pemerintah sekarang. 

Pemerintah wajib membuktikan prestasi dulu, barulah menaikkan PPN! Inilah makna kebijaksanaan. Jadilah pemerintah yang bijaksana. Jangan hanya hitung-hitung melulu. Hati nurani dan perasaan rakyat di atas segala-galanya. 

Hal penting lainnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi isu penting dalam menilai keberhasilan kebijakan ini.

DAYA BELI RAKYAT MAKIN LEMAH

Kalau kenaikan PPN dipaksakan sekarang juga, maka harga barang dan jasa di pasaran akan naik. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama bagi kelompok masyarakat golongan menengah ke bawah yang daya belinya sudah tertekan akibat inflasi dan dampak ekonomi pascapandemi.

Barang kebutuhan pokok memang dikecualikan dari kenaikan PPN, tetapi kenaikan harga produk lainnya tetap memberikan tekanan. Misalnya, biaya pendidikan swasta, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga lainnya akan menjadi lebih mahal. Dampak ini bisa meluas, bahkan menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Yang menderita tidak hanya konsumen, pelaku usaha juga harus menghadapi dampak kenaikan PPN. Biaya operasional yang meningkat, terutama untuk bahan baku dan jasa, akan membebani sektor usaha. 

Daya tahan pengusaha kecil dan menengah (UKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia akan menurun atau melemah. 

Akibatnya, UKM akan menaikkan harga jual produksinya. Namun, langkah ini memiliki risiko penurunan permintaan dari konsumen. Omzet atau pangsanya akan menurun. Pasar sangat sensitif terhadap perubahan harga. 

Akibatnya berikutnya, pelaku usaha dipaksa untuk mengurangi biaya produksi dan langkah efisiensi lainnya agar harga produksinya tidak perlu dinaikkan. Maka, mutu produksi terpaksa diturunkan. 

PEMERINTAH BERALASAN KENAIKAN PPN BISA MENINGKATKAN KEADILAN PAJAK?

Pemerintah menyebut bahwa kenaikan PPN dimaksudkan untuk menciptakan keadilan pajak. Argumennya, pajak ini dikenakan pada konsumsi, sehingga mereka yang mengonsumsi lebih banyak akan membayar lebih banyak pajak. 

Dengan demikian, beban pajak dapat didistribusikan lebih adil kepada seluruh lapisan masyarakat. 

Namun, konsep ini perlu dievaluasi secara realistis. Dalam praktiknya, masyarakat berpenghasilan rendah tetap cenderung menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi barang dan jasa yang dikenai PPN. Dengan demikian beban mereka semakin berat. Sementara pemerintah sendiri belum memberikan sesuatu yang membahagiakan mereka. Adilkah ini? Rakyat diminta bersabar terus menerus, sebaliknya pemerintah boleh  gegabah. Cari gampangnya. 

Sementara itu, pajak penghasilan bagi perusahaan besar sering kali menjadi area abu-abu. Pemerintah wajib memperketat pengawasan dan penegakan aturan perpajakan terhadap wajib pajak besar yang potensinya masih belum optimal. Kalau pemerintah berani melakukannya, maka pendapatan negara akan jauh lebih besar dari sekadar menaikkan PPN 1 persen (dari 11 persen ke 12 persen). 

Menaikkan PPN jadi 12 persen diperhitungkan hanya akan menambah pendapatan sekitar Rp 75 triliun. Menertibkan pajak perusahaan besar dan perusahaan milik konglomerat mungkin bisa menambah pendapatan negara ratusan bahkan ribuan triliun rupiah. 

LANGKAH MITIGASI HARUS DIPERKUAT

Kalau toh kenaikan PPN ini tidak bisa dihindari, pemerintah wajib bertanggung jawab untuk memitigasi dampaknya. Beberapa langkah yang harus diperkuat adalah

Bantuan langsung bagi Kelompok Rentan

Program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) harus ditingkatkan, baik dari segi nominal maupun cakupan penerima. Langkah ini penting untuk memastikan daya beli masyarakat tetap terjaga.

Daftar barang bebas PPN perlu diperluas untuk melindungi kebutuhan dasar masyarakat. Termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang lebih terjangkau.

Pemerintah juga perlu memberikan insentif khusus kepada UKM. Misalnya melalui pengurangan beban administrasi pajak atau akses pendanaan murah. Langkah ini akan membantu sektor usaha bertahan di tengah kenaikan pajak.

Publik membutuhkan bukti bahwa dana tambahan dari PPN benar-benar digunakan untuk tujuan produktif. Transparansi dan laporan berkala mengenai alokasi dana menjadi mutlak untuk menjaga kepercayaan masyarakat.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda