KH Hasyim Abbas Wafat, NU Kehilangan Sosok yang Tegas dan Konsisten

KH Hasyim Abbas M. Hi. (FOTO: Dok. Imam Kusnin Ahmad)

COWASJP.COM – Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Tepat di Malam Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW, keluarga besar Nahdlatul Ulama dan MUI Jatim kehilangan seorang ahli fikih, ahli hadits, dan ulama rendah hati yang pernah menjadi penjaga gawang Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) dan MUI Jawa Timur, KH. Hasyim Abbas, M.HI.

Di tengah kondisi fisik dan kesehatan yang semakin menurun, Kiai Hasyim Abbas masih tercatat sebagai Mustasyar PWNU Jawa Timur Masa Khidmat 2018-2023.

“Kiai Hasyim Abbas adalah sosok yang sangat tegas dan konsisten di mata saya. Waktu mengajar mata kuliah Ulumul Hadits di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya (saat ini menjadi UIN Sunan Ampel), beliau terkenal sangat disiplin dan menghargai waktu,” ujar Wasekjen PBNU H Nur Hidayat dalam keterangannya, Ahad (26/1/2025) malam.

Kiai Hasyim Abbas selalu masuk ke dalam kelas sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, dan keluar dari kelas juga sesuai dengan jadwal. Jika hendak absen dari perkuliahan, ia selalu memberitahukan sepekan sebelumnya. Tapi, hal itu pun sangat jarang dilakukan.

“Salah satu hal yang paling diingat oleh para mahasiswa yang pernah diajar oleh Pak Hasyim –begitu para mahasiswa memanggil sosok alim nan sederhana ini–, beliau selalu mengecek kehadiran mahasiswanya dengan cara meminta para mahasiswa untuk menaruh kartu tanda mahasiswa (KTM) di meja tempat beliau mengajar,” kata mantan Ketua PW IPNU Jatim itu.

Ketika ada mahasiswa yang terlambat masuk kelas lebih dari 5 menit, biasanya ia akan segera memisahkan KTM mahasiswa tersebut dari KTM yang lain. Itu menjadi pertanda bahwa mahasiswa tersebut tidak dihitung hadir dalam perkuliahannya. Meski demikian, sang mahasiswa tetap diperkenankan untuk duduk di dalam kelas dan menyimak materi kuliah Pak Hasyim sampai selesai jam kuliah.

“Saya sendiri pernah mengalami kejadian yang kurang mengenakkan tersebut, karena beberapa kali telat masuk kelas beliau. Karena persentase kehadiran saya kurang dari 75 persen, saya dilarang ikut ujian akhir semester mata kuliah Ulumul Hadits yang beliau tangani. Padahal, saat itu saya menjadi koordinator kelas dan berusaha “merayu” dengan cara membantu beliau membagikan lembar jawaban dan kemudian soal yang akan diujikan pada hari itu. Tapi pada saat saya baru duduk di kursi, beliau memanggil nama saya dan kemudian menyatakan dengan tegas,” katanya.

“Nur Hidayat”, panggilnya kepada dirinya.

Spontan Dayat jawab, “Iya, Ustadz.”

“Absennya kurang satu…”, tukas Kiai Hasyim Abbas.

Tanpa berani membantah, Dayat hanya menjawab “Inggih, Ustadz” sambil keluar dari kelas.

Pengalaman lain yang sangat membekas di benak Dayat sampai hari ini, terkait sikap Kiai Hasyim Abbas yang “sangat cuek” kepada dirinya saat bertemu di Kantor PWNU Jawa Timur. Pada saat mengikuti mata kuliah, Dayat dan Kiai Hasyim sebenarnya sering bertemu di kantor PWNU Jawa Timur yang saat itu berlokasi di Jalan Raya Darmo 96, Surabaya. Kebetulan saat itu Dayat mendapatkan amanah sebagai staf Sekretariat alias fulltimer PW IPNU Jawa Timur.

Setiap kali bertemu di Gedung PWNU Jawa Timur, Dayat merasa ada sesuatu yang membuat Kiai Hasyim Abbas tidak nyaman. Setiap kali berpapasan, Kiai Hasyim Abbas bersikap seakan-akan tidak pernah mengenal Dayat. Bahkan, suatu hari, ketika Dayat akan berangkat ke kampus karena ada kuliah siang, secara kebetulan Kiai Hasyim juga akan kembali ke kampus.

“Melihat saya bergegas menyeberang jalan untuk mencegat bus ke arah IAIN Sunan Ampel, beliau kemudian lebih memilih mengalah dan berdiri di depan pagar Gedung PWNU. Setelah saya naik bus ke arah IAIN Sunan Ampel, barulah beliau menyeberang jalan untuk tujuan yang sama,” ungkapnya.

Kejadian itu cukup lama menghantui pikirannya dan membuatnya bertanya-tanya: adakah sesuatu yang salah dari sikap saya selama berinteraksi dengan Kiai Hasyim Abbas, baik di kampus maupun di lingkungan Nahdlatul Ulama Jawa Timur?

“Dan, semua pertanyaan yang menghantui benak saya itu baru terjawab ketika saya telah lulus dari IAIN Sunan Ampel. Ceritanya, suatu hari saya datang ke kampus dan duduk santai di halaman Fakultas Ushuluddin bersama beberapa kolega. Dari kejauhan, saya melihat Kiai Hasyim Abbas berjalan kaki memasuki Kompleks Fakultas Ushuluddin. Sebagai santri dan mahasiswa beliau, saya spontan berdiri untuk menunjukkan rasa hormat. Di luar dugaan saya, beliau ternyata menyapa lebih dulu dengan sangat ramah dan dawuh, “Iki lapo ae, wis lulus kok isih sobo kampus (Ini ngapain saja, sudah lulus kok masih main ke kampus),” katanya.

Saat itulah Dayat langsung paham makna di balik “sikap cuek” nya selama ini. “Saya meyakini, beliau selama ini ingin mengirim pesan: Kamu boleh bareng bersama saya khidmah di Nahdlatul Ulama, tapi urusan tanggung jawab keilmuan dan kuliah, semuanya ada aturan dan ketentuannya sendiri. Kamu tidak boleh mengandalkan kedekatan personal dengan saya di PWNU Jawa Timur sebagai pintu masuk untuk memengaruhi penilaian akademik saya terhadap kamu,” ucapnya.

Keyakinan itu semakin kuat karena sejak lulus, Kiai Hasyim Abbas yang terakhir menjadi dosen Unhasy itu sangat terbuka ketika berdiskusi atau sekadar ngobrol ringan dengan dirinya. “Beberapa kali KH Miftahul Akhyar (Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur saat itu) menugaskan saya mendampingi Kiai Hasyim untuk menghadiri acara di Jakarta. Berbeda dengan sikap beliau saat saya masih kuliah, sikap beliau ketika saya sudah lulus dari IAIN justru sangat ramah,” katanya.

Hal itu semakin terasa ketika kemudian Dayat ditakdirkan menjadi tetangga Kiai Hasyim Abbas di Dusun Seblak, yang hanya berjarak sekitar 300 meter di belakang Pesantren Tebuireng. Sejak pertengahan 2024, Dayat tinggal di rumah wakaf warisan Mbah Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim, yang berada di sebelah gang dari kediaman Kiai Hasyim Abbas.

“Ada satu kejadian lucu ketika saya dan Kiai Hasyim ditugasi menghadiri acara di Hotel Sultan, Jakarta, sekitar akhir 2009. Kami ditempatkan dalam satu kamar. Tapi, Kiai Hasyim ternyata tidak berkenan tidur di kasur hotel. Aku gak biasa turu kasur, Pak Dayat. Sampean wae sing nang kasur (Saya tidak biasa tidur kasur. Sampean saja yang tidur di kasur),” kata Dayat.

KH Hasyim Abbas memilih mengambil bed cover sebagai alas tidur dan dengan santai tidur di karpet di bawah bed yang tersedia. Beberapa kali, Kiai Hasyim Abbas mempersilahkannya untuk tidak perlu sungkan tidur di atas kasur. “Sebagai seorang santri, tentu saya merasa tidak patut tidur di atas kasur, sementara guru saya tidur di lantai kamar,” katanya.

Akhirnya, karena tidak ada alas lain yang bisa dipakai untuk tidur di atas lantai kamar alias karpet hotel, Dayat kemudian mengambil piyama yang ada di kamar mandi hotel sebagai alas tidur. Jadilah malam itu keduanya tidur di hotel Bintang 5, tapi sama-sama meringkuk di atas karpet hotel layaknya duaorang santri di pesantren. Bukan di atas kasur empuk yang di kamar Hotel Sultan. (*)

Pewarta : Imam Kusnin Ahmad
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda