COWASJP.COM – Ada kenangan indah buat saya di setiap lebaran. Suatu hari di tahun 2013, saat lebaran, saya menerima telepon dari Imam. Warga Dusun Maduren, Besuki, Situbondo, Jawa Timur.
Pedukuhan ini merupakan relokasi dari warga korban banjir yang melanda Situbondo pada Desember 2012. Waktu itu, saya dan tim relawan Jawa Pos selama setahun membantu warga yang menjadi korban musibah banjir bandang itu.
Termasuk membangun mushalah untuk warga Maduren yang lokasinya sekitar 700 meter dari alon-alon Besuki.
Mushalah itu saya beri nama Mushala Al Qalam. Maksud saya, kalau Surabaya ada gedung Graha Pena, maka di Besuki ada Musholah Al Qalam. Artinya, sama- sama pena. Mushalah Al Qalam menggunakan bahasa Arab. Sebagai kenangan Jawa Pos.
Tapi, bukan itu yang ingin saya ceritakan. Pada suatu malam saya menerima telepon dari Pak Imam, warga Maduren. "Pak Nas, warga di depan rumah saya melahirkan," ujarnya.
Lantas dia cerita. Karena sakit perut yang luar biasa, dia mengantarkan ibu itu ke Puskesmas Besuki. Sekitar 1 kilo meter dari rumahnya. Menumpang mobil pick up.
Puskesmas merekomendsikan untuk dibawa ke RS Umum Situbondo karena harus operasi. Ibu hamil yang mau melahirkan itu pun diangkut dengan mobil pick up pula.
Sial. Sesampai di RSU Situbondo, dokter kandungan libur lebaran. Ibu itu pun dilarikan ke RS Bhayangkara, Bondowoso. Untuk menyelamatkan nyawa sang Ibu dan bayi.
Alhamdulillah. Bayi dan ibunya berhasil diselamatkan melalui operasi caesar di rumah sakit milik Polri itu. Semuanya berjalan lancar.
Saat itulah Imam telepon lagi. "Pak Nas, pasien tidak boleh pulang. Masih disandera."
"Kenapa disandera ?" tanya saya.
"Karena tidak bisa bayar," kata Pak Imam diujung telepon. "Seandainya harus menjual kursi tamu dan TV di rumahnya pun tidak bisa menutupi biaya rumah sakit," keluh Pak Imam.
Rumahnya memang sederhana. Maklum dibangun pemerintah untuk relokasi. Kursi tamunya pun sederhana. Sudah reot. Juga ada TV hitam putih lawas.
Hingga tak heran kalau tak laku dijual. Kalaupun laku, nilainya sangat sedikit.
Saya suruh sampaikan ke rumah sakit kalau yang akan melunasi Jawa Pos.
Imam pun, mengikuti saran saya. Dia menghadap petugas RS Bhayangkara. Namun, tetap ditolak. Bahkan tidak percaya.
Lantas dia menyuruh saya untuk bicara langsung dengan petugas RS Bhayangkara.
"Halo .... ini Nasaruddin, Jawa Pos," kata saya mermperkenalkan diri.
"Iya Pak. Ada apa Pak?" tanya petugas.
Saya jelaskan kalau ibu yang baru melahirkan itu tanggungan Jawa Pos. Disuruh pulang saja. Besok saya ke sana untuk melunasi.
Namun, petugas itu tetap ngotot, tidak boleh pulang. Meski saya ancam untuk ditulis di Jawa Pos.
Naluri wartawanku muncul. Keesokan harinya saya ke Bondowoso. Dari Besuki lewat Arak-arak. Dari rumah sudah membawa kamera. Lengkap dengan handycam, untuk shooting buat JTV.
Tak perlu tunggu lama, sampai di Bondowaso langsung ke rumah sakit. Setelah berdebat sebentar, karena disandera, bagus untuk diberitakan. Masak sudah dijamin Jawa Pos nggak percaya juga?
Rumah sakit pun saya bayar. Lupa nilainya. Yang jelas tak begitu mahal, tidak sampai Rp 5 juta karena menggunakan surat keterangan tidak mampu.
Bayi, dan kedua orang tuanya saya antar pulang ke rumahnya di Maduren.
Dalam perjalanan saya tanya. "Nama bayinya siapa?."
Spontan ibunya bilang. "Tolong yang beri nama Bapak saja."
Saya hanya tersenyum. Sambil bepikir. Diberi nama siapa ya?
Lantas saya usul. "Gimana kalau diberi nama Nasaruddin. Biar selalu ingat saya.
"Tidak apa-apa Pak. Malah kami senang. Biar ingat Pak Nas," sahutnya.
Maka jadilah namanya mengopi nama saya. Hingga sekarang.(*)