Kemo ke 4 Dilayani Perawat Cantik dan Cerdas

Infus dilakukan di tangan kiri saya karena tangan kanan saya sudah hitam karena terbakar akibat infus obat kanker. (FOTO: Dok. Nasaruddin Ismail)

COWASJP.COM – Suara sirine ambulans yang meraung-raung tak pernah henti. Siang dan malam. Yang kadang - kadang membuat tidur tak nyenyak.

Tapi, itulah ciri khas di rumah sakit. Yang melayani pasien se Jawa Timur itu. 

Ada pasien kiriman dari rumah sakit lain. Ada pula yang dijemput di tempat tinggalnya. Pun yang kecelakaan di jalan.

Itu semua menambah ramainya suara sirine di rumah sakit dr Soetomo Surabaya.

BACA JUGA: Kemo Ronde Ketiga​

Belum lagi dengan suara knalpot brong yang memecahkan anak telinga.

Nampaknya jalan di depan rumah  sakit yang lurus dan mulus itu sering dimanfaatkan anak- anak muda untuk balapan liar.

Sabtu siang itu dua perawat cantik, ramah dan cerdas masuk ke ruanganku. Di lantai lima Graha Amerta, RS Dr Soetomo, Surabaya.

Suasana di lantai 5 nampak lengang. Pasien yang kemo agak berkurang. Hanya 7 pasien, termasuk saya. Beda dengan hari - hari sebelumnya yang mencapai belasan orang.

Yang boleh dirawat di Graha Amertha hanya pemegang kartu BPJS kelas satu. Yang bayar paling mahal. Kelas kamarnya dinaikkan jadi VIP. 

BACA JUGA: KO di Ronde Kedua​

Satu kamar hanya seorang. 

Umum juga bisa, tapi jangan kaget, tidak semuanya ditanggung oleh BPJS.

Ketika pulang, kamar harus dibayar tambahannya. Rp 950.000 per hari. "Kalau tidak salah, sehari Rp 950 ribu," kata perawat. Lumayan mahalnya.

Dua perawat bertubuh semampai itu sedang dinas pagi.yang merawat saya pada kemo ke 4 sekarang ini. 

"Pembuluh darah Bapak hitam, terbakar ya," sapanya ramah melihat punggung tangan saya yang hitam. Hampir sampai siku. 

Dua perawat cerdas itu hendak memasang jarum infus di tangan kiri saya. Tangan kanan yang sudah hitam itu tidak bisa digunakan lagi untuk infus. Pembuluh darahnya sudah mati.

Karena sudah masuk waktu sholat ashar, saya pun minta izin. Agar infus dipasang setelah sholat ashar saja.

"Monggo. Bapak sholat dulu," ucapnya lembut.

"Kalau begitu, kami pasang dulu infus pada pasien di ruang sebelah," lanjutnya dengan ramah.

Usai sholat, saya bel. Mereka berdua pun datang. "Sudah shalat Pak ya," ucapnya lirih. 

"Sudah," jawab saya.

Lantas dengan hati-hati memasang jarum di pembuluh darah tangan kiri saya. Yang masih ada bekas infus kemo sebelumnya.

 "Sakit ya," ucapnya lembut, sambil memandang wajah saya yang menahan sakit.

"Yang penting sembuh," jawab saya, dengan gurau, sembari menahan sakit.

"Setuju," sahutnya singkat.

Lantas mereka menasehati agar pembuluh darah tidak terbakar akibat kemo.

Menurut mereka, agar pembuluh darah bisa kembali normal, harus dikompres dengan air dingin.

Dia juga menyarankan, setelah infus obat kanker, supaya pembilasan dengan infus khusus pembilasan. Agak lama, paling tidak ya sekitar lima belas menit sampai setengah jam. Agar obat tidak tertahan di pembuluh darah. "Digelontor dulu," ucapnya.

"Sampaikan pada perawat agar dibilah setelah infus kanker dimasukkan," sarannya lagi.

Itulah sebabnya saya sebut mereka cerdas karena sebelumnya nasehat seperti itu tak pernah disampaikan.

Hal itu saya sampaikan pada perawat yang dinas malam. Tadi malam. 

Sambil ngobrol, perawat memasang obat kemo. Yang lama infusnya 22 jam. 

Ada dua botol obat kemo. Masing - masing 22 jam lama infusnya. Hingga saya baru bisa pulang, Senin malam. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda