Antara Beribadah dan Bersosialita

Kini tidak sedikit jamaah haji yang lebih sibuk mengabadikan momen ibadah melalui kamera HP. (FOTO: Drs Rusdi, MSi)

COWASJP.COM – Ibadah Haji adalah momen spiritual yang paling dinanti oleh umat Islam di seluruh dunia. Perjalanan suci menuju Baitullah ini bukan sekadar ritual fisik, tetapi lebih dari itu—sebuah momentum penyucian jiwa, penghambaan total kepada Allah SWT, serta sarana untuk menyelami makna hidup sebagai hamba-Nya. 

Namun, seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi, terjadi pergeseran paradigma dalam pelaksanaan ibadah, terutama pada aspek perilaku sosial jamaah saat menunaikan ibadah Haji.

Dulu, jamaah lebih sibuk menundukkan hati, menangis dalam doa, dan merenungi kesalahan diri di depan Ka’bah atau di Raudhah. Kini, tidak sedikit yang lebih sibuk mengabadikan momen ibadah melalui kamera. 

BACA JUGA: Pelaksanaan Haji 2025 : Evaluasi dan Rekomendasi Perbaikan​

Pemandangan jamaah yang sibuk swafoto, video call dari area Masjidil Haram, atau membuat siaran langsung saat sedang berdoa menjadi hal yang lumrah. Tidak fokus lagi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Apakah ibadah yang dilakukan masih murni karena Allah? Ataukah sudah tercampur dengan keinginan untuk bersosialita demi pencitraan diri?

Mau Beribadah atau Bersosialita?

1.Ibadah Adalah Tindakan Vertikal, Bukan Pertunjukan Sosial

Islam menekankan bahwa ibadah adalah hubungan eksklusif antara hamba dan Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibadah sejati dimulai dari hati. Jika hati telah terkontaminasi oleh keinginan untuk dipuji, dikagumi, atau disukai oleh sesama manusia, maka amal yang dilakukan tidak lagi memiliki nilai ibadah di sisi Allah.

Lebih jauh, Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an:

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Fenomena dokumentasi diri saat beribadah, jika tidak diiringi dengan niat yang lurus, berpotensi mereduksi nilai spiritual dari ibadah itu sendiri.

2.Bersosialita: Wajar, Tapi Harus Tahu Batas

Manusia adalah makhluk sosial. Interaksi, berbagi pengalaman, dan berkomunikasi adalah bagian dari fitrah kita. Di era digital, membagikan momen ke media sosial bukan lagi hal luar biasa. Bahkan, tidak jarang jamaah Haji merasa perlu berbagi momen spiritual mereka agar bisa “menginspirasi” orang lain.

cowas1.jpgFOTO: Drs Rusdi, MSi

Namun di sinilah letak permasalahannya. Ketika kegiatan sosial ini dilakukan di tengah-tengah ibadah yang seharusnya sakral dan khusyuk, maka muncul potensi:
• Terganggunya kekhusyukan pribadi
• Terhambatnya perenungan spiritual
• Bahkan, bisa memicu riya’ (pamer ibadah), yang termasuk syirik kecil dan sangat dibenci oleh Allah

Rasulullah SAW bersabda:

“Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, ‘Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?’ 
Beliau menjawab, ‘Riya’.’” (HR. Ahmad)

3.Gangguan Terhadap Kehidmatan Jamaah Lain

Aktivitas sosialita selama ibadah bukan hanya berdampak secara personal, tetapi juga sosial. Banyak jamaah lain yang merasa terganggu dengan suara notifikasi ponsel, kamera diarahkan ke wajah tanpa izin, bahkan kadang terinjak saat seseorang sibuk mencari angle terbaik untuk selfie. Kekhusyukan masjid berubah menjadi keramaian layaknya tempat wisata.

Padahal Rasulullah sangat menjunjung tinggi adab dalam beribadah dan menghormati sesama. Beliau bersabda:

“Jangan kalian mengangkat suara di dalam masjid melebihi suara orang yang sedang membaca Al-Qur’an.” (HR. Abu Dawud)

Menjaga adab, ketenangan, dan kekhusyukan adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Jika sosialita malah mencederai ini semua, maka bukan hanya diri sendiri yang dirugikan, tapi juga orang lain.

4.Peringatan Imam Al-Ghazali: Tiga Kelompok yang Celaka

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa ada tiga kelompok manusia yang nampaknya baik, tapi sebenarnya dalam bahaya besar:

a. Beribadah tanpa ilmu

Orang yang sekadar mengikuti ritual tanpa memahami makna dan syariatnya. Mereka melaksanakan rukun demi rukun Haji seperti rutinitas tanpa perenungan.

b. Berilmu tapi tidak mengamalkan

Mereka tahu bahwa niat itu penting, tahu bahwa ibadah harus khusyuk, tahu bahwa riya’ itu berbahaya—namun tetap melakukannya karena tuntutan ego atau media sosial.

c. Mengamalkan tapi tidak ikhlas

Ini adalah kondisi paling berbahaya: tampak dari luar sedang beribadah, tapi di dalam hatinya ingin dikenal sebagai “jamaah yang saleh”, “orang yang sudah haji”, atau “influencer religi”.

Ketiga kelompok ini tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kelelahan semata. Bahkan bisa saja amalnya ditolak karena tidak dilakukan dengan ikhlas.

5.Menemukan Keseimbangan: Spiritualitas yang Mendarat, Sosialita yang Bermartabat

Bukan berarti teknologi dan media sosial harus dihindari sepenuhnya. Bukan juga berarti berbagi kebahagiaan harus dianggap salah. Namun perlu ada titik keseimbangan:
• Dokumentasi seperlunya, bukan untuk pamer
• Berbagi pengalaman secara inspiratif, bukan manipulatif
• Mendahulukan kekhusyukan ibadah daripada eksistensi di dunia maya
• Menghormati jamaah lain dan menjaga ketenangan tempat suci

Sebagaimana diajarkan Rasulullah, “Sesungguhnya agama ini mudah, dan siapa yang mempersulit agama, maka ia akan dikalahkan olehnya.” (HR. Bukhari). 

Namun kemudahan tidak berarti membolehkan segalanya tanpa kendali.

Sebagai penutup, bahwa di antara hiruk-pikuk sosialita dan kerinduan akan spiritualitas, seorang Muslim harus pandai memilah dan menata niat. Tujuan utama dari ibadah Haji adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan memperkenalkan diri kepada dunia. Saat ibadah berubah menjadi tontonan, saat doa menjadi siaran langsung, saat Ka’bah menjadi latar konten, maka sudah waktunya kita merenung:

“Apakah kita benar-benar sedang beribadah, atau hanya bersosialita dalam balutan religiusitas?”

Semoga kita termasuk orang-orang yang menjaga keikhlasan, menghormati tempat suci, dan meraih kemabruran yang sejati—bukan hanya di mata manusia, tapi di hadapan Allah SWT.
Wallahu a’lam bishshawaf.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda