COWASJP.COM – Akhirnya saya menyaksikan sendiri: Klaim bahwa rokok elektrik "lebih sehat" daripada "rokok konvensional" ternyata tidak benar sama sekali.
**
RUANG perawatan di sebuah rumah sakit di Sunter itu, berisi empat tempat tidur. Tiga terisi. Satu kosong. Setiap bed dibatasi sekat dari kain yang bisa dibuka dan ditutup secara manual.
Saya tiba di ruangan itu ketika para pasien sedang tidur siang. Suasananya menjadi sunyi. Sesekali terdengar suara pasien yang batuk-batuk kecil.
Dari ruang pasien batuk itu, tiba-tiba terdengar suara berisik. Sepertinya dari sebuah alat. Saya tidak tahu alat apa itu, karena pandangan saya terhalang kain pembatas.
"Rrrr....rrrrr....rrrr....."
Suara itu terdengar berulang-ulang dengan tempo yang sama.
Sepuluh menit kemudian,, bunyi alat itu berhenti. Suasana kembali tenang. Seorang pemuda terlihat membuka kain pembatas kemudian menyapa saya. "Assalamualaikum," katanya dengan ramah.
Sebuah alat yang bunyinya berisik tergeletak di atas meja. "Alat apa itu?" tanya saya.
"Alat bantu pernapasan," jawab pemuda berusia 22 tahun yang bernama Fadil itu.
Dengan bantuan Grok, saya akhirnya tahu kalau alat tersebut bernama nebulizer. Alat ini digunakan untuk mengubah obat cair menjadi uap halus yang dapat dihirup langsung ke paru-paru, membantu meredakan peradangan, membuka saluran udara, dan mempermudah pernapasan, terutama untuk penderita bronkhitis.
"Anda sakit apa?" tanya saya.
Fadil di rumah sakit terkena bronkhitis akibat nge-vape 36 ml per hari. Wajah Fadil tak diperlihatkan. Fokus ke alat bantu pernapasan. (FOTO: Joko Intarto)
"Bronkhitis," jawab Fadil.
"Mengapa bisa terkena bronkhitis?" tanya saya.
"Saya kebanyakan nge-vape, alias merokok elektrik. Sehari sampai 36 ml cairan vape yang saya konsumsi," jawab Fadil.
"Kok tahu kalau jumlah tersebut kelebihan?" tanya saya.
"Karena saya pemilik toko rokok elektrik, jadi saya tahu," jawabnya.
Karena Fadil belum bisa banyak ngobrol. saya mencari informasi bagaimana dampak mengonsumsi Vape hingga hingga 36 ml per hari.
Menurut Grok, mengonsumsi Vape hingga 36 ml tergolong
overdosis nikotin. Konsumsi berlebihan ini cukup berbahaya karena dapat menyebabkan mual, jantung berdebar, kejang, hingga kematian dalam kasus ekstrem.
Selain itu, mengonsumsi cairan vape dalam volume besar dapat memperburuk peradangan saluran udara, terutama pada pasien bronkhitis.
Cairan vape mengandung bahan kimia seperti propilen glikol dan flavoring. Dalam jumlah besar, senyawa tersebut dapat merusak paru-paru: menimbulkan iritasi. Itulah yang disebut bronkhitis.
Mengapa vape bisa memicu bronkhitis?: Vape mengandung bahan kimia seperti propilen glikol, nikotin, dan flavoring yang dapat mengiritasi saluran udara, menyebabkan peradangan kronis, dan merusak sel-sel paru-paru, sehingga meningkatkan risiko bronkhitis.
Bronkhitis dapat menyebabkan kesulitan bernapas, infeksi berulang, kerusakan permanen pada saluran udara, dan jika kronis, meningkatkan risiko penyakit paru-paru lainnya seperti PPOK atau gagal napas.
"Apakah Anda akan berhenti nge-vape setelah kejadian ini?" tanya saya.
"Sepertinya belum bisa," jawab Fadil.
"Sudah berapa hari Anda dirawat?" tanya saya.
"Lima hari," jawabnya.
"Apakah selama dirawat Anda masih nge-vape?" tanya saya.
"Nggak dong. Saya berhenti total," jawabnya.
"Kalau bisa berhenti lima hari, berarti bisa berhenti 500 hari, 5.000 hari, 50 tahun," kata saya.
"Saya punya tiga usaha. Dari tiga, toko vape ini yang paling menghasilkan," jawabnya.
"Punya uang tapi sakit-sakitan, apa enaknya? Uang Anda yang banyak itu hanya bermanfaat untuk membayar biaya rumah sakit. Tidak bisa Anda nikmati," jelas saya.
Fadil adalah potret saya pada masa lalu. Seusia dia, otak saya pun sama errornya.(*)
Catatan:
Wajah Fadil sengaja saya sembunyikan. Fokus saja ke alat bantu pernapasan