COWASJP.COM – Di sini, di Kopi Oey kami bertemu
Di Kopi Oey Melawai
Di samping Fave Hotel
Setiap tahun, sejak 2014
Sabtu (12/7) sore ini persamuhan ke-11.
Mengapa Fave Hotel harus kusebut? Karena ini pilihan Irawan Nugroho, tuan rumah dari setiap pertemuan. Dia sahabat kami yang sejak 1994 tinggal di Washington, AS, setelah resmi menjadi koresponden 'Jawa Pos' untuk Amrik.
Pada setiap kali persamuhan di Jakarta 'Iw'--inisial/kode Irawan Nugroho di JP -- selalu memilih menjamu di Kopi Oey dan menginap di Fave Hotel.
"Sejak masih di JP, check-in di sini terus," dia ngakak.
Silakan saja dikira-kira, apa maksudnya.
Tahun ini, Iw tiba di Jakarta 22 Juni. Sebelum mengundang kami dia lebih dulu keliling ke beberapa kota. Dia berencana kembali ke Washington 30 Juli mendatang, setelah memperpanjang visanya 15 Juli nanti.
BACA JUGA: Dahlan Iskan, Manifesto Kopi Oey
Saya dan Iw masuk JP hampir berbarengan, di 1989, yang saat itu perwakilan Jakartanya saat itu sudah di Prapanca 40, Jaksel. Saya 'direkrut' dari Harian Pelita di Sudirman 100 sekitar Mei-Juni. Iw masuk beberapa bulan kemudian.
"Aku melamar ke JP tahun 1989 itu, setahun setelah lulus dari UNS. Ada lima orang yang lolos. Kami diberangkatkan ke Jakarta. Dari lima orang itu, hanya saya dan Moch.Ircham yang bertahan, tiga lainnya ke luar," cerita Iw, kelahiran 1 Februari 1964, empat tahun lebih muda dari saya.
Belakangan Ircham, yang bergabung di desk ekonomi, resign juga dan menerima tawaran Humpuss. Dia memang dekat dengan Hutomo 'Tommy' Mandala Putra, Pangeran Cendana.
Tetapi takdir berbicara lain. Ircham sudah lebih dulu berpulang. Sekitar tiga tahun silam.
Penulis dan "tuan rumah reuni" Irawan Nugroho (kiri) yang masih bekerja di Amerika Serikat. (FOTO: Cowas JP Jabodetabek)
Takdir Iw lain lagi. Menjadi koresponden JP sejak 1994 di Washington, Iw dipanggil pulang ke Surabaya saat krisis ekonomi menghunjam Indonesia pada 1998.
"Saat itu krismon. Saya nervous juga. Waktu itu sudah punya dua anak, laki-laki usia enam tahun dan perempuan dua tahun. Saya harus bagaimana?"
Iw perlu dua tahun untuk melewati pergulatan batinnya ketika pada 2000 dia menulis surat resign ke JP.
"Jadi saya putuskan bertahan di Washington, sembari kerja serabutan saja," cerita Iw.
Setelah melampaui masa 'greencard'-nya selama 10 tahun, Iw resmi memperoleh status 'citizen' pada 2014.
Setiap tahun Iw selalu pulang ke Indonesia. Pada 2016, dia membeli tanah di Cisaat, Sukabumi, tak jauh dari Icuk Sugiarto Training Camp (ISTC). Dari hampir 1000 meter lahan yang dibelinya, didirikannya rumah, ada kolam ikan juga, dan ada saung untuk tempat perenungan.
Iw tak pernah lupa pada kawan-kawan lamanya. Termasuk saya dan teman-teman yang pernah bekerja sama dengannya di JP, beberapa dekade lampau. Walau masa kerja saya di JP sangat singkat, dari 1989 hingga 1991, namun saya selalu masuk dalam daftar 'old friend' yang diundangnya untuk persamuhan reuni di Kopi Oey ini.
Memang tak semua yang diinginkan Iw datang ke silaturahmi tahunan yang dijalinnya hampir dua dekade ini, dari WAG Konco Lawas (Cowas) Jabodetabek. Saya juga beberapa kali tak hadir. Tetapi ada peserta tetap, seperti Umar Fauzi (UF), Anggi Widowati (Die), dan Gofir Asnawi, dari non-redaksi JP Prapanca.
Kesemarakan suasana Sabtu sore ini kian terasa dengan kehadiran Patrick Waraney Sorongan, Kris Moerwanto (krs), Irwan IRS, Djono Wikanto Oesman
(DWO), serta Iwan Syams yang konon masih dikelilingi malaikat karena baru beberapa hari pulang berhaji, mbak Srie, Yulfarida Arini. Juga Puji Dwiarti Handayani, dulu biasa kami sapa Yani, dari keuangan JP Prapanca 40.
"Saya di bagian keuangan, pertama membantu mbak Endang," kata Yani, yang sudah bercucu satu, perempuan empat tahun.
Mbak Endang tak pernah bisa hadir dalam reuni kami. Demikian juga dengan Samsudin, yang menjadi kabiro Jakarta di akhir 1980-an hingga awal 1990-an.
"Saya kangen benar sama Samsudin," kata Iw.
Bang Sam mentor kami yang baik. Semoga Ncing Sam baik-baik saja, sehat terus, bahagia ngemong cucu-cucunya.
Semoga Ncing Sam membaca ini juga.
Kangen juga dengan teman-teman yang biasa menyempatkan diri hadir tetapi kali ini absen.
Roso Daras, ketua Cowas Jabodetabek, Tofan Mahdi, Zarmansyah, Ramadhan Pohan, berhalangan. Mereka sama-sama punya kegiatan yang tidak bisa ditinggal.
Di masa kami banyak bintang datang dan pergi di JP. Ada Refli Harun, Andi M Asrun, bahkan Idrus Marham menjadi penyumbang opini politik tetap dan kerap menyerahkan naskahnya langsung ke Prapanca 40.
Langit-langit kenangan kembali dilintaskan. Kebahagiaan sesaat di era jahiliyah.
Saya selalu merasa beruntung bisa berada di tengah kawan-kawan lawas ini. Pada momen-momen seperti inilah kami seperti selalu diingatkan untuk senantiasa bersyukur, karena masih bisa silaturahmi, ketawa-ketiwi. Mengenyam kebahagiaan di sisa kehidupan kami masing-masing.
Pada kesempatan seperti ini juga saya teringat pada almarhumah istri saya, Rr Yudansha Azrina. Saya menikahi Dechi, sapaan manisnya, pada 1989 semasa bergabung di JP Prapanca 40 ini. Teman-teman di JP Prapanca 40 banyak yang hadir di Rumah Ciputat.
Dechi kerap menunggu saya pulang dari Prapanca 40 dengan membawa Huga, anak pertama kami, semasa bayi.
"Kadang saya yang terima telepon mbak Dechi saat menghubungi kantor," cerita Yani.
Yani terharu karena saya masih bertahan untuk sendiri, sepeninggal almarhumah pada 19 Agustus 2021.
"Itu artinya mbak Dechi orang baik, sehingga mas Adi nggak bisa lupa," kata Yani.
Al Fatihah untuk almarhumah istriku.
Kita tinggal menjalani, menikmati dan mensyukuri saja.
Kami bersyukur bisa bergabung dan bersama-sama di JP, baik JP Jakarta, atau JP Surabaya, khususnya era JP Kembang Jepun, Karah Agung, atau era super-modern di Graha Pena.
Kami juga merasa beruntung pernah menjadi anak buah Dahlan Iskan. Saya memang termasuk yang jarang bertemu pak Dis, di mana kami biasa memanggilnya 'pak Bos' atau Bos saja.
Pak Bos yang tiba-tiba mempercayai saya untuk membedah 'Akcaya', hanya beberapa bulan setelah saya bergabung di JP Prapanca 40 pada 1989 itu.
Pada suatu kunjungannya ke Prapanca 40 pak Bos bertanya pada Ncing Samsudin.
"Din, aku ambil Akcaya di Pontianak. Siapa yg bisa diajak ke sana?"
"Adhi saja, Bos. Dia bisa!".
Saya berangkat setelah disetujui juga oleh mbak Nany Wijaya (NW), bos besar kami di Prapanca 40.
Saya gelagapan. Saya belum pernah membuat koran sendiri. Di atas pesawat ke Pontianak, sembari melihat Akcaya yang kala itu hanya buletin dari ibu kota Kalbar itu, saya merenung-renung. Apa yang harus saya lakukan? Dan Tuhan yang Maha Baik membantu saya.
Jadilah, hampir satu tahun saya di Pontianak, membuat dan membesarkan Akcaya bersama senior dari Surabaya, mas Surya Aka, dan mas Karti di bidang usaha.
Sekembali ke Prapanca 40 --betapa pun saya dipaksa tetap tinggal di sana-- rezeki saya meningkat jauh. Gaji saya yang semula Rp225.000/bulan, menjadi hampir Rp4 juta. Saya juga dapat bonus Rp3 juta --yang kemudian saya belikan mobil second.
Beberapa bulan lalu, menjelang Idul Fitri 1446 H, saya termasuk yang mendapat 'sodaqoh' Rp2 juta dari pak Bos. Jumlah dana sedekah berbeda-beda, antaranya terhitung masa kerja, jadi ada yg mendapat Rp3 juta, dan Rp1 juta juga. Semua teman eks Prapanca 40 yang ada Sabtu sore ini di Kopi Oey juga menerimanya.
Tak terhindarkan jika pada akhirnya persamuhan Kopi Oey 2025 ini berinteraksi pada dinamika yang tengah dijalani pak Bos, sebagaimana yang tengah jadi pembicaraan hangat masyarakat sekarang ini.
Itu setelah perbincangan terkait disrupsi media, kehancuran media-media arus utama di dunia, termasuk AS dan Indonesia.
Lebih dari itu, simpati dan empati kami pada pak Bos. Tetapi biarlah DWO yang menjabarkannya. Dia penulis features terbaik di JP. Kemampuannya tak tergerus oleh zaman.......(*)
--Kopi Oey, Melawai, Sabtu (12/7) 19.19--