Kota yang Tak Lagi Ramah Air

Pinggir jalan aspal pun dicor semen. Air yang mestinya meresap ke tanah akan lewat begitu saja dan meluncur ke selokan. (Foto: Erwan Widyarto)

COWASJP.COMCuaca ekstrem belum berakhir. Hujan deras yang belakangan ini mengguyur Kota Surabaya, terutama pada siang hingga malam hari, menyebabkan sejumlah ruas jalan hingga pemukiman warga terendam banjir.

***

KEPALA Bidang Drainase DSDABM Kota Surabaya, Windo Gusman Prasetyo menuturkan bahwa banjir yang terjadi di Kota Pahlawan tidak hanya terjadi karena curah hujan tinggi, tetapi juga ketidakmampuan saluran air.

"Saluran air tidak mampu menampung air (hujan) karena tersumbat bangunan liar, sampah, serta pemukiman yang tidak dilengkapi fasilitas sosial (fasos). Hal ini turut menjadi penyebab banjir, " tutur Windo, Minggu (16/3).

BACA JUGA: Tak hanya Menulis Kisah, AQUA Menjadikannya Nyata dalam Laku Hidupnya​

Tiga aliena di atas adalah kutipan berita di Jawa Pos beberapa waktu lalu. Itu gambaran umum wajah kota di Indonesia. Juga gambaran umum pandangan masyarakat –warga maupun pejabat—terhadap hujan dan respons terhadapnya. Pandangan yang harus dikritisi dan dikembalikan dalam konteks yang benar.

Jangan Sia-siakan Air Hujan

Coba lihat kota kita! Trotoar dicor beton. Halaman rumah dipaving. Taman bermain dilapisi keramik. Bahu jalan dilapisi aspal.

Semua permukaan menjadi kedap air. Air hujan kehilangan celah untuk menyusup ke dalam tanah. Di mana-mana, tanah ditutup rapat. Tak ada lagi rongga untuk meresap. Tak ada lagi ruang bagi air untuk diam dan disimpan.

BACA JUGA: Belajar Biopori dari Ahlinya​

Kota modern dibangun dengan prinsip efisiensi dan kecepatan, tapi lupa menyediakan ruang untuk air kembali ke tanah. Hujan turun, tapi tak ada yang menyambutnya. Ia dipaksa berlari menuju selokan, mempercepat limpasan permukaan yang membawa serta lumpur, sampah, dan pencemar. Sungai menjadi beban, drainase tersumbat, dan genangan pun meluas.

Dulu, halaman rumah masih menyisakan tanah terbuka. Air hujan bisa meresap perlahan. Kini, semuanya rapi tertutup keramik atau batu alam. Cantik, tapi membunuh fungsi tanah. Dulu, tanah kota masih bisa bernapas. Kampung-kampung masih punya halaman tanah, kebun belakang, atau pekarangan. Sekarang, tanah menghilang di balik lapisan keras—dan tanah yang tak bisa bernapas adalah tanah yang sakit.

BACA JUGA: Selamat Jalan Dubes Sudjadnan: Sang Peniup Nada Kehangatan Diplomasi​

Kita telah menjadikan kota-kota kita tidak ramah terhadap air. Bukan hanya menolak air hujan masuk, tapi juga mempercepatnya pergi—tanpa sempat diserap, disaring, dan disimpan. Akibatnya, bukan hanya air yang hilang, tetapi juga kesuburan tanah dan ketahanan air kita sendiri.

Untuk membuat kota kembali ramah terhadap air, kita perlu mengubah pendekatan: dari menolak air hujan menjadi menerima, dari mempercepat aliran menjadi memperlambat dan meresapkan. Di sinilah peran lubang resapan biopori menjadi relevan dan mendesak.

Tanah Kehilangan Fungsinya

Tanah bukan sekadar media tanam. Ia adalah sistem ekologis yang kompleks dan hidup. Salah satu fungsi paling penting dari tanah adalah sebagai penyaring alami air. Saat air hujan turun, tanah menyaringnya secara perlahan melalui lapisan-lapisan mineral dan organisme hidup di dalamnya. Proses ini bukan hanya menyerap, tetapi juga memurnikan.

Tanah bekerja seperti spons yang menyimpan air, sekaligus seperti saringan yang membersihkan air sebelum ia mencapai lapisan akuifer. Mikroorganisme di dalam tanah membantu menguraikan zat pencemar. Rongga-rongga alami tanah menjadi jalur resapan. Akar-akar pohon membantu memperkuat struktur dan mendukung daya tampung.

Namun ketika tanah ditutup oleh lapisan beton, keramik, atau aspal, ia kehilangan kemampuannya. Ia menjadi tanah mati—kering, keras, tak lagi berpori. Tanah yang kehilangan udara dan air menjadi habitat yang tak ramah bagi mikroorganisme. Tidak ada kehidupan di dalamnya, dan tidak ada fungsi penyaringan yang berjalan.

Krisis ini tidak terlihat seperti runtuhnya bangunan, tapi jauh lebih mengakar. Tanah yang kehilangan fungsinya tak bisa memelihara pohon, tak bisa menumbuhkan pangan, tak bisa menyimpan air. Padahal, di situlah ketahanan hidup kita bermula.

Jika kita ingin mengatasi krisis air secara berkelanjutan, kita tidak bisa mengandalkan teknologi buatan saja. Kita harus memulihkan kemampuan tanah, membuka kembali pori-porinya, dan membiarkan alam bekerja sesuai caranya. Lubang resapan biopori menjadi salah satu bentuk intervensi kecil yang memberi ruang bagi tanah untuk bernapas dan kembali bekerja.

Saatnya Memulihkan Tanah

Tanah bukan sekadar media tanam. Ia adalah rumah bagi miliaran mikroorganisme yang hidup di dalamnya: bakteri, fungi, protozoa, dan cacing tanah. Mereka bekerja tanpa henti, membantu mengurai bahan organik, menyuburkan akar tanaman, dan menjaga keseimbangan ekosistem bawah tanah. Tanah yang sehat adalah ekosistem mikro yang dinamis, tempat kehidupan berlangsung dalam skala yang tak terlihat mata.

Tanah juga berfungsi sebagai penyaring alami air. Saat air hujan jatuh ke bumi, ia disaring oleh butiran tanah, akar tanaman, dan aktivitas mikroba sebelum mencapai lapisan air tanah yang dalam. Proses ini menyaring polutan dan membantu menjaga kualitas air yang kita konsumsi. 

Namun, ketika permukaan tanah ditutup oleh beton, keramik, atau aspal, tanah kehilangan akses terhadap air dan udara. Mikroorganisme mati karena kekeringan dan kekurangan oksigen. Tidak ada yang mengurai bahan organik, tidak ada yang menyaring air, tidak ada kehidupan yang menjaga kesuburan.

Tanah adalah sistem kehidupan yang utuh. Selain sebagai rumah mikroorganisme dan penyaring air, tanah juga berfungsi sebagai penyeimbang suhu dan kelembaban lingkungan. Tanah yang sehat mampu menyerap panas matahari di siang hari dan melepaskannya perlahan di malam hari. 

Ia menjadi penyangga suhu yang menjaga kestabilan iklim mikro di sekitarnya. Permukaan tanah yang terbuka dan berpori membantu menjaga kelembaban udara di sekitarnya, menciptakan lingkungan yang lebih nyaman dan sejuk—terutama di wilayah perkotaan.

Sebaliknya, ketika tanah ditutup oleh beton atau aspal, permukaan menjadi keras dan menyerap panas berlebih. Suhu permukaan meningkat drastis, menciptakan efek pulau panas perkotaan (urban heat island). Tak hanya itu, tanah yang tertutup juga kehilangan kemampuannya menyimpan dan menguapkan air. Udara menjadi kering, kelembapan turun, dan ketahanan lingkungan pun melemah.

Inilah yang membuat kawasan hijau terasa lebih sejuk dibanding kawasan yang sepenuhnya tertutup infrastruktur buatan. Tanah yang terbuka, ditumbuhi tanaman, dan diberi ruang untuk bernapas akan bekerja sebagai pendingin alami bagi lingkungan.

Jika kita menginginkan kota dan desa yang lebih nyaman, lebih teduh, dan lebih tahan terhadap perubahan iklim, kita harus mulai menghargai tanah bukan hanya sebagai alas bangunan, tetapi sebagai makhluk hidup yang menjaga keseimbangan. Menghidupkan kembali tanah berarti menyeimbangkan kembali suhu dan kelembaban bumi tempat kita berpijak.

Tanah yang kehilangan fungsi biologisnya menjadi tanah mati: keras, miskin pori, dan tidak subur. Inilah awal dari bencana ekologis yang sering luput dari perhatian: degradasi tanah yang membuat kita semakin rentan terhadap banjir, gagal panen, dan krisis air.

Memulihkan tanah berarti memulihkan kehidupan. Kita perlu membiarkan tanah bernapas kembali, memberi ruang untuk air masuk, dan mengembalikan habitat mikroorganisme. Lubang resapan biopori adalah salah satu cara untuk membuka pintu kehidupan itu kembali.

) Erwan Widyarto, Pengurus ICMI DIY Bidang Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat.

Pewarta : -
Editor : Erwan Widyarto
Sumber :

Komentar Anda