PLTSa Jakarta: Solusi atau Ilusi?

Ilustrasi by Gemini

COWASJP.COM – “Sampah yang dibakar tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah rupa--menjadi asap, debu, dan klaim teknologi yang kadang lebih harum dari kenyataan.”

Jakarta, ibukota negara dengan jutaan penduduk dan aktivitas ekonomi tanpa henti, memproduksi lebih dari 7.000 ton sampah per hari. Sebagian besar sampah ini dikirim ke Tempat Pengolahan Sampah

Terpadu (TPST) Bantargebang, yang kini nyaris kehabisan daya tampung. Dalam kegentingan situasi ini,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendorong percepatan pembangunan Pembangkit Listrik TenagaSampah (PLTSa) sebagai solusi.

BACA JUGA: Kota yang Tak Lagi Ramah Air

Rencana ini diungkap Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung saat menghadiri acara Urban Climate Action Programme (UCAP) Climate Action Implementation (CAI) Regional Convening 2025 di Hotel Ayana Midplaza Jakarta, Rabu (23/7/2025). Pramono menyebutkan pengolahan sampah menjadi tenaga listrik itu sudah mendapatkan persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto. (Kompas.com 24/7/2025)

Pertanyaannya, benarkah PLTSa jawaban final atas persoalan kronis sampah kota Jakarta?

Secara konsep, PLTSa memang terdengar menjanjikan. Teknologi ini mengubah sampah menjadi energi melalui pembakaran termal. Dengan logika ini, dua masalah—penumpukan sampah dan kebutuhan energi—bisa diselesaikan sekaligus. Namun, di balik narasi solusi itu, terdapat sejumlah persoalan mendasar yang perlu dicermati secara kritis.

BACA JUGA: Tak hanya Menulis Kisah, AQUA Menjadikannya Nyata dalam Laku Hidupnya​

PLTSa Sunter, misalnya, digadang-gadang sebagai proyek percontohan, diperkirakan mampu mengolah sekitar 2.000 ton sampah per hari dan menghasilkan sekitar 35 megawatt listrik. Praktiknya, PLTSa Sunter yang sudah pernah berjalan, macet. Berhenti beroperasi. Anggota Ombudsman Hery Susanto mengatakan proyek PLTSa ITF Sunter sudah tidak dapat dilanjutkan dikarenakan terkendala biaya dan nilai investasi yang tinggi. (TEMPO, 29 Desember 2023)

Dalam laporan di laman Ombudsman go id juga disebutkan dari 12 PLTSa di Indonesia, hanya 2 PLTSa yang eksis dan menjadi prioritas. Ditulis, pemerintah memprioritaskan adanya 12 PLT sampah, dari 12 ini hanya 4 saja yang dijadikan prioritas, yaitu, Jakarta, Solo, Surabaya dan Bantar Gebang Bekasi.

Rupanya kisah pilu PLTSa itu tak masuk dalam impian Gubernur Pramono Anung a. Di dalam impiannya hanya ada yang indah-indah. Yakni , dengan PLTSa dua langkah tercapai. Pertama persoalan sampah teratasi, kedua kebutuhan energi didapatkan.

Melihat catatan perjalanan PLTSa yang ada di Ombudsman tersebut, sepertinya impian Pramono Anung akan menemui banyak persoalan pelik di lapangan. Berikut sejumlah hal yang harus diperhatikan yang akan menegaskan PLTSa itu solusi atau sekadar ilusi.

Pertama, apakah PLTSa benar-benar menyelesaikan persoalan sampah? Jawabannya: tidak sepenuhnya. PLTSa hanya bisa bekerja optimal jika sampah yang masuk sudah tersortir dan memiliki kadar air serta kandungan kalori yang sesuai. Artinya, sampah organik basah seperti sisa makanan atau limbah dapur yang mendominasi komposisi sampah rumah tangga di Jakarta tidak ideal untuk dibakar.

Tanpa pemilahan di sumber dan infrastruktur pendukung daur ulang, PLTSa justru menjadi dalih untuk terus memproduksi sampah tanpa kendali. Padahal salah satu amanah dalam UU Pengelolaan Sampah adalah pengurangan.

Kedua, dari segi lingkungan, PLTSa masih menyisakan kontroversi. Teknologi pembakaran, meskipun diklaim ramah lingkungan karena menggunakan penyaring emisi canggih, tetap menghasilkan karbondioksida, dioksin dan jejak polusi lainnya.

Bahkan beberapa studi menyebut bahwa emisi PLTSa bisa lebih tinggi dibanding pembangkit listrik tenaga gas. Selain itu, residu pembakaran berupa abu beracun (fly ash dan bottom ash) membutuhkan tempat penimbunan khusus yang aman.

Ketiga, dari aspek biaya dan efisiensi, PLTSa termasuk proyek yang mahal. Biaya pembangunan bisa mencapai triliunan rupiah, belum termasuk subsidi tarif listrik agar layak jual.

Negara-negara seperti Jerman dan Jepang memang sukses mengoperasikan PLTSa, tetapi keberhasilan itu tidak berdiri sendiri. Mereka memiliki sistem pemilahan sampah yang disiplin, budaya daur ulang yang kuat, dan partisipasi publik yang tinggi—hal yang masih menjadi tantangan besar di Jakarta.

Lantas, apakah PLTSa masuk kategori energi hijau? Di sinilah persoalan semantik muncul. PLTSa sering dimasukkan dalam kategori “energi terbarukan” atau “energi baru terbarukan” (EBT) dalam kebijakan nasional, tetapi banyak pihak mempertanyakan keabsahan klaim ini.

Sampah memang terus ada, tetapi membakarnya tidak serta-merta menjadikannya ramah lingkungan. Greenpeace dan berbagai kelompok lingkungan lainnya menolak memasukkan PLTSa sebagai energi hijau sejati, karena prosesnya tetap menghasilkan emisi karbon dan berisiko terhadap kesehatan warga sekitar.

Maka, jalan terbaik untuk mengatasi krisis sampah Jakarta tidak bisa hanya mengandalkan satu teknologi. PLTSa bisa menjadi bagian dari solusi, tetapi bukan solusi utama. Kuncinya tetap terletak pada hulu: pengurangan timbulan sampah, edukasi publik, pemilahan di sumber, penguatan ekonomi sirkular, serta insentif bagi daur ulang dan kompos.

Tanpa perubahan paradigma dari “membakar” menjadi “mengurangi”, kita hanya akan mengganti satu bentuk kerusakan dengan bentuk lain yang lebih canggih. Saatnya mengubah paradigm “kumpul, angkut, buang, bakar “ menjadi “kurangi, pilah, olah, jual. “

Pemerintah perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam "greenwashing teknologi"—membungkus proyek mahal dengan jargon ramah lingkungan padahal justru mengaburkan akar masalah. Sebab di tengah krisis ekologis dan perubahan iklim yang semakin nyata, kita tidak butuh solusi palsu yang sekadar menunda bom waktu.

Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk berbenah dari sumber, meski jalannya lebih panjang dan tak semenarik peresmian megaproyek. Karena memang itulah yang diamanatkan oleh Undang-UndangNo 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. *

)Erwan Widyarto, Sekretaris Paguyuban Bank Sampah DIY dan Pengurus ICMI Orwil DIY Bidang

Lingkungan.

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda