Korupsi Berjama'ah Mungkinkah Terulang?

Desain Grafis: Facebook.

COWASJP.COMPANTESAN pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tidak kunjung diselesaikan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). 

Persoalannya, jika pembahasan itu berlanjut dan RUU itu sampai disahkan, maka tidak mustahil para anggota dewan yang terhormat itu akan turut terkena getahnya. 

Paling tidak, begitulah jalan pikiran awam sebagian anggota masyarakat, mengomentari tidak berjalannya pembahasan RUU tersebut di DPR RI. 

Saking alotnya pengesahan RUU ini, bahkan sejak digagas pada 2008, pengesahannya tetap belum selesai walaupun sudah di tangan 3 presiden. 

Persoalan ini sekarang jadi kian menarik, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai aroma busuk korupsi yang melibatkan anggota DPR dari Komisi XI. Terutama terkait dugaan penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Seperti dilansir rmol.id, Kamis, 07 Agustus 2025, 22:12 WIB, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan dana program sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) kepada setiap anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

BACA JUGA: Ketegasan di Tengah Badai​

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, baru dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus itu. Tapi apakah tidak mungkin bahwa seluruh anggota Komisi XI yang turut menerima aliran dana yang tidak semestinya itu akan ikut terseret sebagai tersangka selanjutnya? 

Bila hal itu pada waktunya nanti jadi kenyataan, kita akan diingatkan kembali tentang istilah korupsi berjama’ah yang melibatkan para anggota dewan yang terhormat. 

Memalukan sekaligus menjijikkan. Para wakil rakyat justru tersangkut kasus memperkaya diri sendiri, ketika rakyat kesulitan menjalani hidup. Ketika daya beli rakyat ambruk ke level terendah dan harga barang dan jasa kian melambung tinggi. Ketika pemerintah menindas rakyat dengan aneka kebijakan yang menyengsarakan. Termasuk pemberlakuan aneka macam pajak yang memberatkan. 

Sejauh ini, tentu tidak banyak yang lupa dengan kasus korupsi berjama’ah para anggota dewan. Istilah yang baru pertama kali diperkenalkan dan mendapatkan pemberitaan luas masa itu. Sebut saja misalnya ketika Pengadilan Negeri (PN) Padang mengadili 37 anggota DPRD Kota Padang. Termasuk Ketua dan Wakil Ketua DPRD-nya. Yaitu mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi senilai 10,4 miliar rupiah secara bersama-sama. Seperti diberitakan DetikNews, Selasa (13/4/2004). 

BACA JUGA: Indonesia Cerah atau Gelap?​

Begitu pula pemberitaan yang tidak kalah viral, ketika 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang diadili karena diduga menerima uang suap dari Wali Kota Malang (nonaktif) Moch Anton. Uang suap senilai Rp 12,5 juta - Rp 50 juta per anggota dari walikota yang juga jadi tersangka dimaksudkan untuk memuluskan pengesahan APBD Perubahan Kota Malang Tahun 2015.

Bagaimanapun, kedua kasus korupsi di kota Padang dan Kota Malang itu telah viral dengan sebutan “Korupsi Berjama’ah”. Yang menunjukkan betapa para wakil rakyat sama sekali tidak mencerminkan diri mereka sebagai orang-orang yang mewakili aspirasi rakyat banyak. Mereka yang mengaku wakil rakyat justru tidak mengerti tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagai wakil rakyat. 

Mengapa Alot? 

Tentu publik patut mempertanyakan: Mengapa pembahasan dan penuntasan RUU Perampasan Aset itu begitu alotnya? Seperti dilaporkan Majalah Tempo edisi 9 Oktober 2021, Menteri Hukum Yasonna Laoly sempat menyerahkan draf RUU Perampasan Aset ke DPR pada 15 September 2021. Namun fraksi-fraksi keberatan.

Alasannya: Pertama karena penyerahan itu dinilai terlalu mendadak dan tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pimpinan partai politik. 

BACA JUGA: Kabur Aja Dulu! Betulkah?​

Kedua, karena aturan itu termasuk ‘barang panas’ yang bisa disalahgunakan untuk menghantam lawan politik. Walhasil usulan Menteri Yasonna agar RUU itu masuk Prolegnas prioritas pada 2021 ditolak DPR.

Meskipun sempat disebut-sebut dalam kampanye Prabowo Subianto ketika maju Pilpres 2024, namun kabar tentang RUU itu tidak pernah kedengaran lagi.  Dan sebagian publik menduga ada sebab-sebab lain yang membuat para anggota dewan menolak pembahasannya. Apalagi pengesahannya. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa seribu satu alasan penolakan itu bisa dicari. Tapi adanya kekuatiran para anggota dewan terhadap pemberlakuan RUU itu tidak mungkin ditutupi. Terbukti dengan terungkapnya dugaan kasus gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan para anggota dewan Komisi XI. Kasus yang sekarang sedang didalami KPK. Dan bukan mustahil pula mereka pun kuatir kerabat bahkan keluarga mereka akan menghadapi jeratan hukum serupa nantinya. 

Besarnya dana yang bisa dikeruk oleh para anggota dewan tentu saja bisa membuat mereka lupa diri. Menurut beberapa informasi yang tersebar di ruang publik, anggota Partai Gerindra Komisi XI Heri Gunawan adalah pemegang rekor tertinggi yang mendapatkan Dana CSR BI dan OJK itu. Yaitu sebesar Rp 28 Milyar. Sedangkan para anggota Komisi XI yang lain disebut-sebut menerima masing-masing Rp 25 milyar. 

Jumlah Yang Mencengangkan

Bagi masyarakat awam yang perekonomian mereka sekarang sedang terseok-seok, angka 25 milyar itu tentu sangat mencengangkan. Apalagi itu tidak diterima oleh satu orang. Tapi oleh seluruh anggota Komisi XI yang berjumlah 47 orang. 

Konon, tujuan penerimaan dana itu adalah untuk kegiatan sosialisasi di dapil masing-masing. Pertanyaannya: Apakah kegiatan sosialisasi betul-betul membutuhkan dana sebesar itu? Bukankah selain gaji pokok, para anggota dewan juga telah mendapatkan sejumlah tunjangan dalam mendukung efektifitas kerjanya? 

Sebut saja misalnya tunjangan perumahan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan reses dan tunjangan-tunjangan lain seperti tunjangan transportasi, tunjangan jabatan, dan tunjangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kasus dugaan gratifikasi dan TPPU anggota Komisi XI DPR RI ini semakin memperkuat sorotan publik terhadap integritas anggota DPR. Terutama dalam pengelolaan dana publik. KPK diharapkan dapat segera menuntaskan kasus ini dan memberikan kejelasan kepada masyarakat mengenai dugaan penyimpangan dana CSR BI. 

Begitu juga kemungkinan kasus-kasus lain yang melibatkan anggota dewan dan yang sekarang belum terungkap. 

Sudah saatnya KPK unjuk gigi kembali. Jangan biarkan kasus-kasus seperti ini menguap ditelan waktu. Jangan sampai publik tidak mengubah keyakinannya bahwa KPK juga sekadar omon-omon.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda