COWASJP.COM – SISWA harus diajari melihat fakta, menganalisa masalah dan dari situ muncul kekurangan serta temukan solusi serta terakhir menyuarakan.
Menyuarakan bisa melalui diskusi, media, dan turun lapangan demo. Ini mengomentari berita www.suarasurabaya.net, ”Mendikdasmen Minta Siswa Tak Terprovokasi Berita dan Ikut Demo."
Demo sebenarnya upaya terakhir menyuarakan. Mengapa harus demo? Karena orang orang yang didemo cenderung eksklusif. Asik kumpulkan kekayaan sendiri dan kelompoknya, dan lupa pada nasib rakyat yang memilihnya.
Ketika terpilih, ego kesombongan muncul: "Saya sampai di sini perjuangan saya sendiri."
Mereka juga tidak pernah mengakomodasi tuntutan pendemo.
Itu fakta wakil rakyat saat ini. Mereka berjoget bergembira karena tunjangan dinaikkan di tengah defisit. Malah ada yang menantang: "Saya dibayar 1 jam Rp 10 juta kok ribut naik tunjangan Rp 30 juta per bulan." Ini bukti komentar wakil rakyat paling tolol.
Hi, man kamu salah jadi wakil rakyat. Di negara negara Eropa, gaji wakil rakyat standar saja dan bahkan ini pekerjaaan sambilan. Ada honor bila ada sidang. Tapi di negara kita ini, jadi wakil rakyat untuk perkaya diri. Padahal, di sisi lain rakyat yang diwakili masih susah memperoleh uang Rp.20 ribu/hari.
Standar BPS (Badan Pusat Statistik) juga tolol, warga tidak masuk kategori miskin bila pendapatan Rp.20.000 / hari.
Di era medsos, anggota dewan harus menjaga lidah dan sikap. Sejuta mata lebih rakyat yang kalian wakili terus memantau aksi Anda dari menit ke menit sampai hari ke hari. Tunjukkan kontribusi nyata Anda. Korupsi menggila, pajak baru terus tumbuh, lapangan pekerjaan menyempit, dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) akan naik.
Apa kontribusi DPR mengatasi permasalahan besar itu? Apakah Anda; wakil rakyat sudah menyusun RUU Hukum Mati Koruptor, RUU Perbesar Lapangan Pekerjaan, RUU Pembatasan Masa Jabatan Anggota DPR/DPRD Cukup Dua Periode, RUU Dewan Kehormatan DPR yang anggotanya di luar orang partai atau underbownya.
Saya yakin Anda wakil rakyat belum bahkan tidak akan pernah menyusun RUU itu. Karena Anda juga bagian dari aksi korupsi itu sendiri.
Jadi, demo bubarkan saja DPR sangat beralasan. Karena DPR menjadi beban pembiayaan negara tanpa kontribusi nyata (bukan teori atau sebatas jadi UU) mensejahterakan rakyat. Anda tidak bisa koreksi kesalahan lembaga Anda kok tidak mau dibubarkan.
Sebuah ironi di negeri ini (salah satu bukti negara dikuasai orang korup dan tolol) banyak orang cerdas dan pandai tidak bisa jadi pejabat negara. Baik itu pejabat publik atau non publik. Itu karena mereka bukan termasuk kelompok mu (Anda sebagai tim penyeleksi). Ketika Anda; wakil rakyat melakukan ini Anda sudah masuk abuse of power (menyalahgunakan kekuasaan) atau sudah melakukan korupsi kekuasaan.
Sebaliknya di negeri ini, orang bodoh atau tolol mudah menjadi pejabat karena termasuk kelompok Anda. Inilah mengapa Indonesia belum bisa menjadi negara maju. Karena para pejabat dimonopoli orang orang kelompok tertentu. Warga sepintar langit pun tidak bisa terpilih sebagai pejabat karena bukan masuk kelompoknya.
Saya berharap nanti Indonesia seperti Dubai yang memanjakan rakyatnya mulai lahir sampai menikah nol biaya. Cek https://www.facebook.com/share/v/1B1tCpgBAn/
Padahal Dubai hanya punya satu kekayaan alam yang menonjol, yakni minyak. Indonesia memiliki banyak kekayaan alam, tapi tidak bisa memanjakan rakyatnya, malah sebaliknya pajak tumbuh menggila.
Indonesia seperti Dubai hanya berlaku untuk kelompok kecil saja. Yakni wakil rakyat yang duduk di singgasana. Korupsi tumbuh terus, pajak menggila, lapangan pekerjaan menyempit, dan hidup semakin susah di negeri ini.
Apa kontribusi Anda, para wakil rakyat? Melemahkan KPK lagi? Jangan enak-enakan rapat dan rapat atau omon omon saja. Bergaji selangit tapi tanpa kontribusi. Anda seperti makan gaji buta. Rakyat muak dengan sikap Anda karena itu kita demo.
Ingat!! Gaji yang Anda terima harus Anda pertanggungjawabkan di akherat nanti. Tambah berat nanti bila Anda melakukan korupsi termasuk abuse of power.
Umar bin Khattab, kholifah yang tidak bisa tidur hanya karena ada jalan berlubang di wilayah pemerintahannya. Tapi mungkin Anda sebaliknya. Demo dengan tuntutan berat: Bubarkan DPR, malah Anda bisa tidur nyenyak. Demo itu menurut Anda seperti satu frame dalam sinetron. Forget it and don't over thinking about it.
KETOLOLAN YANG LAIN
Pada April 2023 saya mengikuti seleksi anggota Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Timur 2023-2027. Seleksi ya...cukup ketat. Tim Panitia Seleksi (Pansel) melibatkan tiga profesor perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa Timur. Seleksi KI ini mungkin lebih berat dibanding seleksi anggota KPID 2024 barusan.
Dalam empat atau lima tahap seleksi, saya akhirnya bisa masuk 15 peserta untuk mengikuti fit proper test di depan Komisi A DPRD Jawa Timur. Sebelum tes akhir ini, saya sudah menyiapkan makalah 31 halaman berjudul: "UU KIP Indonesia Versus FAOI Amerika Serikat, Komisi Informasi Powerful, Bersinergi, dan Fokus Tuntaskan Kasus."
Intinya peran KI di Amerika Serikat sangat powerful sekali dibanding KI Indonesia. KI sebenarnya bisa mengecek laporan keuangan institusi atau lembaga pemerintah maupun non pemerintah, termasuk partai yang operasionalnya menggunakan APBN dan APBD. Lembaga, institusi, BUMN, BUMD, Parpol ketika menerima subsidi pemerintah, harus diperiksa keuangannya oleh KI. KI atau lembaga itu sendiri kemudian menginformasikan laporan keuangan itu ke publik.
Bila laporan keuangan ini aktif diumumkan oleh lembaga atau institusi tersebut, minimum enam bulan sekali dengan melibatkan akuntan publik dan diawasi KI, tentu bisa mencegah perbuatan korupsi.
Tapi faktanya, KI belum berani memeriksa keuangan BUMD, BUMN, parpol, dan lembaga lain yang memakai APBN atau APBD.
KI hanya berani memeriksa lembaga publik "temannya sendiri" atau jeruk makan jeruk seperti Bawaslu, KPU atau KPUD. Kemampuan yang saya rasa masih amatir.
Kebebasan informasi publik memang sangat penting. Pada 2015 Konferensi Umum UNESCO memilih untuk menetapkan 28 September sebagai “Hari Internasional untuk Akses Informasi Universal (International Day for Universal Access to Information)” atau, seperti yang lebih dikenal, Hari Akses Informasi (Information Access Day). Tanggal tersebut sebelumnya diperingati sebagai “Hari Hak untuk Tahu (Right to Know Day)” sejak 2002.
Di Amerika Serikat, undang-undang kebebasan informasi disebut Freedom of Information Act (FOIA) sudah berlaku sejak 4 Juli 1967. Implementasi FOIA sangat powerful. Banyak kasus besar menyertai amandemen undang-undang ini. Antara lain, skandal Watergate dan kasus pasar saham Wall Street.
Sebagai implementasi Pasal 28F, UUD 1945, kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi, setelah delapan tahun digodok, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Nomor 14 Tahun 2008 dan berlaku pada 2010. Amanat UU KIP ini harus dibentuk Komisi Informasi (KI) tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten untuk mengawal implementasinya.
KI sendiri sudah terbentuk selama empat periode (termasuk periode ke-4 masa bakti 2023-2027). Namun, implementasi UU KIP sampai saat ini tidak sedahsyat FOIA Amerika Serikat. Implementasi masih amatir. UU hebat tapi perangkat super loyo.
Salah satu kunci kedahsyatan FOIA karena pemerintah Amerika Serikat yang saat itu di bawah Presiden Barack Obama (2009-2017) sangat mendukung keterbukaan informasi publik dengan meluncurkan gerakan nasional. Open Government National Action Plan For The United States of America pada 2011. Pemerintah mendukung penuh. Saya tidak tahu di Indonesia. Di level kabupaten jarang ada.
Kekurangan lain dari KI di Indonesia baik pusat dan daerah adalah proses penanganan pengaduan kasus. Ini sangat lucu. Wong KI bukan lembaga hukum tapi dalam penyelesaian kasusnya kok pakai sidang dan panitera segala. Jadi ada istilahnya “hakim”, panitera dan jadwal sidang. Ini bentuk ketololan. Sangat lucu dibanding lawakan Eko Patrio.
Ini yang menjadikan KI, khususnya Jawa Timur, PR kasusnya menggunung. Pada saat seleksi 2023, KI periode sebelumnya masih menyisakan PR kasus lebih dari 100 kasus. Saya coba mencari dasar hukum penyelesaian kasus pakai sidang dan panitera. Pada UU KIP tidak ada, demikian pula di PP-nya. Ternyata saya menemukan penyelesaian kasus pakai sidang-sidangan ada di Surat Keputusan KI Pusat.
Sok jadi Lembaga hukum padahal hanya mediator saja. Ketika sebagai Panitia Pengawas Pemilu (Kini Bawaslu) pada Pemilu 2004 (coblosan langsung pertama) dalam menyelesaikan kasus, kami cukup memanggil dua pihak bersengketa dan duduk bersama, sepakat dan kasus selesai. Tidak ada kata sidang, hakim atau panitera. Lamban dan bebani anggaran. Bawaslu dan KI levelnya bisa dikatakan tinggi Bawaslu. Bawaslu di level provinsi anggarannya langsung APBN, tapi KI provinsi anggarannya diambil dari dana hibah APBD.
Bagaimana hasil fit proper test? Lucu. Tiga dari lima anggota KI adalah anggota lama (incumbent). Mereka terpilih kembali, padahal tunggakan kasus masih menggunung. Dua anggota KI baru yakni satu lulusan S2 dan satunya S1.
Alhamdulilah, saya tidak terpilih meski materi makalah saya ya... selangit. Ini saya membuat materi terlalu tolol --sehingga bahasan saya tidak dimengerti tim fit and proper test.
Terus terang, saya tanpa backing parpol atau underbow-nya ketika mengikuti seleksi pejabat publik. Dua kali kandas di tingkat fit and proper test. Saya betul-betul tolol kali…tolol karena tidak mengenal sama sekali anggota Komisi A yang menjadi panitia fit and proper test. Tolol juga karena saya tidak melampirkan rekomendasi parpol dan underbow-nya —karena saya tidak kenal dekat dengan orang parpol.
Saya lawaran (apa adanya) saja. Rekom saya hanya PWI Jawa Timur. Hidup PWI !!
Saya terima saja keputusan dua kali tidak terpilih menjadi pejabat publik. Lama kelamaan saya jengah. Jengah dan malas karena negara ini dikuasai orang-orang atau wakil rakyat yang tolol. Teman mengatakan: "Percuma kami ikut seleksi pejabat publik bila tanpa backing parpol. Meski kepandaianmu selangit, yang terpilih adalah orang-orang yang memakai rekom parpol dan underbow-nya.” Enak duduk manis di rumah melihat sinetron, Indonesia dikuasai kelompok atau parpol busuk.
Tim fit and proper atau wakil rakyat itu tentu cenderung menggunakan kuasa (abuse of power) sesukanya. Ibaratnya sebelum seleksi usai, muncul nama-nama kuat calon pejabat publik yang didiukung parpol-parpol busuk. Biarkan saja. Toh mereka ada masanya dan tidak menjabat lagi, tua dan mati dan dimintai pertanggungjawaban oleh malaikat- Mudah-mudahan saja mereka mengamalkan perbuatannya di dunia menggunakan rekom Dekengan Pusat —sehingga masuk surga. Kita harus santai saja toh #Indonesiamasihkaya(*)
*Penulis adalah Wartawan Utama PWI-Dewan Pers