Salah Kaprah Istilah Kerajinan Daur Ulang

Karyawan pabrik daur ulang mengemas rafia yang dibuat dari sampah plastik.

COWASJP.COMDalam percakapan sehari-hari, istilah daur ulang sering kali terdengar manis, seakan-akan semua upaya kreatif mengubah barang bekas sudah otomatis masuk kategori recycle. Tas dari kemasan kopi sachet, bunga dari botol plastik, atau pot tanaman dari ember bekas—semuanya dengan enteng disebut sebagai “kerajinan daur ulang”. 

***

PADAHAL, menurut aturan resmi pengelolaan sampah, salah satunya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 14 Tahun 2021, praktik-praktik tersebut bukanlah daur ulang. Itu hanyalah bentuk pemanfaatan kembali (reuse).

Di sinilah letak salah kaprah yang sudah lama terjadi di komunitas pegiat sampah, bahkan merembes hingga ke ruang kelas, lomba-lomba sekolah, dan promosi kegiatan lingkungan. Banyak pihak tidak membedakan secara tepat antara reuse dengan recycle, padahal keduanya punya definisi yang jelas dan fungsi yang berbeda dalam hierarki pengelolaan sampah.

Reuse vs Recycle: Bedanya Jelas

Dalam konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), kata reuse berarti memanfaatkan kembali barang atau material tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Contohnya sudah gamblang: ember cat bekas dijadikan pot tanaman, botol plastik menjadi wadah sabun cair, atau kaleng minuman menjadi tempat alat tulis. Barang-barang tersebut tidak dihancurkan atau diolah ulang menjadi bahan baku baru, melainkan hanya dipindahkan fungsinya.

BACA JUGA: CHSE dan Reinterpretasi Pariwisata Halal

Sebaliknya, recycle atau daur ulang berarti mengolah kembali sampah melalui proses tertentu sehingga menghasilkan produk baru yang berbeda. Misalnya, botol plastik PET dihancurkan, dilelehkan, lalu diproses menjadi bijih plastik yang kemudian dipakai membuat botol baru atau bahan tekstil. Prosesnya melibatkan teknologi, energi, bahkan biaya yang tidak sedikit. Jadi, ada tahapan industrial yang membedakan daur ulang dengan sekadar memanfaatkan kembali.

Sayangnya, karena kata recycle terdengar lebih modern dan keren, banyak orang lebih suka menyebut kerajinan dari barang bekas sebagai “daur ulang”, padahal sejatinya hanya “pemanfaatan kembali”.

Salah Kaprah yang Jadi Budaya

Mari kita jujur: siapa yang tidak pernah mendengar lomba “kerajinan daur ulang” di sekolah atau acara lingkungan? Hampir semua lomba itu menampilkan tas dari sachet kopi, bunga dari botol bekas, atau hiasan dinding dari kertas majalah. Semuanya diberi label daur ulang. Padahal, menurut Permen LHK, itu jelas-jelas masuk kategori reuse.

BACA JUGA: Festival Makanan Indonesia di Toronto Diserbu Warga Kanada​

Salah kaprah ini bukan sekadar soal istilah. Ia membentuk cara pikir masyarakat tentang pengelolaan sampah. Orang jadi merasa sudah “mendaur ulang” hanya dengan membuat pot bunga dari ember bekas, padahal daur ulang sejati membutuhkan proses industri yang jauh lebih kompleks. Akibatnya, pemahaman publik tentang solusi sampah menjadi kabur. Kita seolah puas dengan kreativitas reuse, padahal masalah utama—timbunan sampah yang terus menumpuk—tidak serta-merta teratasi.

Mengapa Penting Meluruskan Istilah?

Mungkin ada yang berpendapat: “Apa pentingnya? Yang penting kan sampah berkurang.” Pandangan itu benar setengahnya. Memanfaatkan kembali memang bisa memperpanjang usia pakai sebuah barang, tapi tidak serta-merta mengurangi jumlah sampah secara signifikan. Botol plastik yang jadi pot bunga, misalnya, tetap berakhir sebagai sampah pada akhirnya, hanya waktunya lebih panjang.

Ketika menganyam sachet bungkus kopi menjadi tas, atau tikar disebut daur ulang, muncul kesalahan konseptual yang berbahaya. Sachet bungkus kopi biasanya disebut multilayer. Sampah multilayer ini adalah jenis sampah yang sulit didaur ulang. Dan tidak ada industri yang mau menerima atau membeli sampah ini.

Lha kalau multilayer dianyam jadi tas lalu disebut daur ulang, berarti multilayer mudah didaur ulang. Tapi kenapa tidak ada pelapak atau industri daur ulang yang mau menerima? 

Daur ulang yang benar, materialnya –misalnya multilayer tadi-- bisa masuk kembali ke siklus produksi sehingga mengurangi kebutuhan bahan baku baru sekaligus menekan jumlah sampah. 

Itulah sebabnya pelurusan istilah menjadi penting, agar masyarakat memahami bahwa reuse bukanlah solusi final. Ia hanya salah satu langkah kecil. Ada tahapan berikutnya yang menuntut sistem lebih besar: pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan melalui daur ulang industri.

Peran Regulasi dan Edukasi

Permen LHK No. 14 Tahun 2021 sebenarnya sudah sangat jelas membedakan istilah reuse dengan recycle. Dalam pasal-pasalnya, pemanfaatan kembali disebutkan secara spesifik: misalnya botol plastik untuk wadah alat tulis atau kaleng minuman untuk pot bunga. Itu semua adalah reuse, bukan recycle.

Namun, aturan saja tidak cukup bila tidak diikuti edukasi publik yang masif. Sekolah, media, dan komunitas lingkungan seharusnya ikut meluruskan. 

Jangan lagi menyebut lomba membuat bunga dari botol plastik sebagai lomba “daur ulang”. Sebutlah dengan jujur: lomba “kreasi reuse”. Dengan begitu, anak-anak sejak dini paham bahwa daur ulang membutuhkan proses yang lebih rumit daripada sekadar keterampilan tangan.

Penutup

Sampah adalah persoalan serius yang membutuhkan pemahaman serius pula. Salah kaprah istilah daur ulang yang selama ini melekat pada kerajinan barang bekas harus segera diluruskan. Reuse tetap penting dan patut diapresiasi, tetapi jangan dicampuradukkan dengan recycle. 

Bila kita ingin pengelolaan sampah benar-benar berjalan efektif, masyarakat perlu dibekali pemahaman yang tepat: reuse adalah memanfaatkan kembali, sedangkan recycle adalah mengolah ulang.

Dengan meluruskan istilah, kita tidak hanya bicara soal bahasa, tapi juga soal arah kebijakan dan strategi penanganan sampah yang lebih realistis. Karena tanpa pemahaman yang benar, upaya kita hanya akan berhenti pada kreativitas sesaat, bukan solusi jangka panjang.*

Erwan Widyarto@juraganerwan, Provokator Pengelolaan Sampah dan Sekretaris Paguyuban Bank Sampah DIY.

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda