Krisis Mediasi Politik: Dari Jember, Sidoarjo hingga Muktamar PPP

Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan Pengurus PW ISNU Jatim.

COWASJP.COM – Perseteruan politik yang terjadi di Jember dan Sidoarjo bukan sekadar drama lokal. Di balik kisruh antara bupati dan wakil bupati, ada masalah yang lebih mendasar: gagalnya negara dan partai politik menyediakan mekanisme mediasi yang sehat. 

Jika kita menoleh ke tingkat nasional, kericuhan dalam muktamar PPP memberi gambaran yang sama, politik kita sedang kehilangan kanal penyelesaian konflik.

Fenomena ini tidak boleh dibaca hanya sebagai perebutan kursi atau benturan ego pribadi. Akar masalahnya jauh lebih dalam, yakni cacat pada tiga titik krusial: pendelegasian kewenangan yang tidak berjalan, lemahnya mediasi internal partai, dan gagalnya pengawasan administratif. Ketiga hal itu bersama-sama menjebak publik dalam pelayanan yang tersendat dan demokrasi yang melemah.

Desentralisasi memang dirancang untuk mendekatkan p elayanan ke rakyat. Namun kenyataannya, pemencaran kekuasaan tidak otomatis menyelesaikan relasi bupati dan wakil bupati. UU Nomor 23 Tahun 2014 memang mengatur peran wakil kepala daerah, tetapi dalam praktiknya posisi itu sering dibiarkan samar.

Di Jember, wakil bupati sempat enam bulan tidak dilibatkan dalam kebijakan strategis, lalu melaporkan bupatinya ke KPK. Di Sidoarjo, konflik serupa terjadi hingga wakil bupati membawa perkara ke Kementerian Dalam Negeri. Semua ini menandakan bahwa hukum tanpa etika politik hanya akan melahirkan ketegangan.

Sehebat apa pun rumusan undang-undang, jika hubungan antar-elite daerah diwarnai kecurigaan, pecah kongsi tinggal menunggu waktu. Padahal, kepemimpinan daerah seharusnya ditopang oleh kepercayaan, sikap saling menghormati, dan komunikasi yang terbuka—bukan sekadar hitungan pasal.

Masalah di daerah sesungguhnya berakar pada partai. Sebagai institusi pencalonan kepala daerah, partai mestinya berfungsi sebagai jembatan gagasan dan pengendali konflik. Sayangnya, proses pencalonan sering dibangun atas kompromi pragmatis, bukan visi bersama.

Akibatnya, pasangan kepala daerah membawa agenda yang tidak selalu sejalan. Begitu duduk di kursi kekuasaan, mereka justru sibuk mempertahankan kepentingan masing-masing. Partai yang seharusnya menjadi rumah ideologi, kini lebih mirip broker politik.

Kisruh muktamar PPP di Ancol memperjelas situasi ini. Forum yang seharusnya menjadi ruang adu gagasan justru berakhir ricuh. Apa bedanya dengan konflik di Jember dan Sidoarjo? Sama-sama menunjukkan hilangnya mekanisme mediasi yang sehat.

Thomas Aquinas pernah mengingatkan bahwa hukum harus diarahkan untuk kesejahteraan umum, bukan sekadar prosedur. Namun dalam praktik demokrasi kita, hukum sering berhenti di atas kertas, sementara konflik elite terus dibiarkan menggerogoti pelayanan publik.

Jika negara dan partai tidak segera membangun kanal penyelesaian yang jelas, publik akan terus menjadi korban. Otonomi daerah yang seharusnya memperkuat pelayanan justru berubah menjadi arena tarik-menarik kekuasaan.

Demokrasi akhirnya tereduksi hanya menjadi urusan menang-kalah dalam pemilu, tanpa roh keadilan dan kesejahteraan. Padahal, demokrasi sejati mestinya hadir untuk melindungi rakyat, bukan sekadar menjaga kursi elite.

Konflik di Jember, Sidoarjo, hingga PPP adalah alarm keras. Kita tidak bisa lagi menoleransi lemahnya mekanisme mediasi dalam politik Indonesia. Tanpa perbaikan mendasar, publik akan terus menjadi korban dari pertarungan elite.

Pertanyaan besarnya: apakah kita masih mau membiarkan demokrasi berjalan di atas fondasi yang rapuh, atau berani membangun ulang mekanisme yang sehat demi kepentingan rakyat?

Penulis : 

Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan Pengurus PW ISNU Jatim.

Pewarta : Imam Kusnin Ahmad
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda