COWASJP.COM – Tahun 2025 menjadi tahun yang penuh musibah bagi masyarakat Sumatera dan Kalimantan. Banjir bandang dan longsor melanda berbagai daerah, menewaskan lebih dari 700 jiwa dan merusak ribuan rumah.
Di tengah kesedihan itu, ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto mengeluarkan kata-kata yang menggema: "Mereka ngece!" Iistilah Jawa yang berarti "mereka mencibir, acuh tak acuh" atau "tidak peduli". Merujuk pada pihak yang masih membiarkan pembalakan liar berlanjut, bahkan ketika truk-truk besar pengangkut kayu ilegal masih lalu lalang di dekat lokasi musibah! Ini sangat menyedihkan dan bisa membuat rakyat marah besar.
Padahal, peraturan hukum tentang perlindungan hutan sudah ada lama. Mengapa pelanggaran masih tak terhenti?
"Mereka Ngeye!" kata Mbak Titiek Soeharto
Selama kunjungan ke Padang pada Minggu (30/11/2025) dan rapat dengan Menteri Kehutanan pada Kamis (4/12/2025), Titiek Soeharto menyoroti secara serius pembalakan liar di kawasan hulu sebagai akar penyebab banjir bandang.
Ia menegaskan bahwa setiap aktivitas ilegal yang merusak alam harus diberantas segera! Bahkan meminta pembatalan izin pembalakan atau penambangan yang sudah ada, jika terbukti merusak ekosistem.
"Jika ada aktivitas pembalakan atau penambangan liar di wilayah hulu itu semuanya harus ditertibkan. Karena dampaknya ke masyarakat luas yang berada di hilir," katanya. Mbak Titiek khawatir jika curah hujan semakin besar, bencana akan lebih parah.
Kata "ngece" yang ia keluarkan menjadi tanda kemarahan terhadap kelalaian aparat dan pihak-pihak yang membiarkan truk-truk kayu ilegal berkeliaran. Bahkan ketika musibah baru saja terjadi!!
Truk Kayu Ilegal Masih Lalu Lalang Setiap Malam di Jalan Raya!
Meski Mbak Titiek telah menyindir, kasus truk-truk pengangkut kayu ilegal yang masih melintas tidak hanya terjadi di Sumatera Barat. Bahkan sejak tahun 2023, Bupati Humbang Hasundutan (Sumatera Utara) Dos Mar Banjar Nahor mengaku bahwa truk kayu ilegal lewat setiap malam di jalan raya, tetapi tidak pernah ditangkap.
"Siapa pun pelaku illegal logging, pasti aparat tahu. Pasti tidak bisa dibohongi," ujarnya, mencurigai ada oknum yang membekali pelaku.
Di Nagari Lubuk Nyiur (Pesisir Selatan, Sumbar), warga juga mengaku truk kayu ilegal sering melintas dari kawasan hutan di hulu, bahkan setelah banjir merusak jembatan dan rumah mereka. Ya Allah.
"Mereka seperti tutup mata, bahkan seakan tidak ada kejadian saja, akibat penebangan hutan secara ngawur itu" ungkap salah seorang warga.
Peraturan Pembalakan Sudah Terbit: Aturan Lengkap, tapi Penegakan Hukumnya Lemot
Indonesia memiliki peraturan hukum yang cukup komprehensif untuk melindungi hutan, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan: Aturan inti yang melarang penebangan, memanfaatkan, atau memiliki hasil hutan tanpa izin. Pelanggar dapat dihukum penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar (Pasal 83), serta penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp 5 miliar untuk yang membeli atau menjual kayu hasil pembalakan liar (Pasal 12 huruf k).
2. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 43 Tahun 2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu: Mewajibkan pemilik kayu memiliki Surat Keterangan Sah Hasil Hutan Kayu (SKSH HKH) untuk membuktikan asal-usul yang sah.
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: Mengatur pengelolaan hutan secara berkelanjutan, termasuk perlindungan hutan lindung dan hutan alam.
Semua peraturan ini sudah ada sejak tahun 2013 atau bahkan lebih lama, tetapi penegakan hukum masih lemot.
MBAK TITIEK MINTA PENGHENTIAN TOTAL AKTIVITAS PEMBALAKAN, ILLEGAL MAUPUN LEGAL YANG MERUSAK LINGKUNGAN
Menurut Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo, Polri telah membentuk tim Bareskrim untuk menyelidiki pembalakan liar yang menyebabkan bencana di Sumbar (4/12/2025). Namun, data menunjukkan bahwa sanksi yang diberikan terkadang terlalu ringan.
Hanya dipenjara kurang dari 1 tahun
Misalnya, di Sumatera Barat sepanjang 2023, beberapa pelaku hanya dihukum penjara kurang dari 1 tahun dan denda yang tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Mbak Titiek Soeharto juga menekankan bahwa Komisi IV DPR RI tidak akan merekomendasikan moratorium sementara. Beliau meminta penghentian total aktivitas pembalakan liar, baik ilegal maupun legal yang merusak lingkungan.
"Sudahlah, itu pengusaha-pengusaha itu cari makan di tempat lain. Tanam padi kek, tanam jagung, apa yang lainnya bisa dikerjakan. Jangan tebang-tebang lagi pohon kita," katanya.
Upaya Menggunakan Teknologi untuk Memantau Pembalakan Liar
Untuk mengatasi kelalaian dan meningkatkan pengawasan, upaya penggunaan teknologi di Sumatera dan Kalimantan terus berkembang. Dengan berbagai alat yang dirancang untuk mendeteksi aktivitas ilegal secara cepat dan akurat:
- Teknologi Pemantauan Akustik: Organisasi nirlaba Rainforest Connection (RFCx) mengembangkan Guardian System di Sumatera Barat melalui kolaborasi dengan Huawei Indonesia, menggunakan ponsel daur ulang sebagai inti perangkat. Mikrofon sensitif menangkap suara gergaji atau kendaraan hingga 3 km². Data dianalisis AI, dan mengirim peringatan real-time ke petugas.
- Aplikasi Patroli Berbasis GPS: Patroli Smart (SMART) di Taman Nasional Gunung Leuser dan Aplikasi Smart Patrol oleh BBKSDA memudahkan pemetaan area rentan dan pencatatan temuan lapangan secara cepat.
- Pemantauan Satelit dan Drone: Aplikasi GeoSMART di Kalimantan Tengah menggunakan data satelit NOAA, VIIRS, dan MODIS untuk mendeteksi perubahan tutupan lahan dan hotspot. Borneo Nature Foundation (BNF) juga menggunakan drone VTOL. Dengan kamera termal dan multispektral untuk mendeteksi pembalakan liar secara akurat.
Manfaat teknologi ini adalah efisiensi pengawasan yang lebih tinggi, meskipun masih dihadapkan tantangan seperti keterbatasan jaringan, biaya pemeliharaan, dan kebutuhan pelatihan.
Keterlibatan Masyarakat Lokal dalam Memanfaatkan Teknologi
Masyarakat lokal tidak hanya menjadi korban, tetapi juga aktif terlibat sebagai mitra dalam memanfaatkan teknologi pemantauan:
- Mengoperasikan Perangkat Akustik: Di enam nagari Sumatera Barat (seperti Pakan Rabaa Timur dan Sirukam), anggota Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) atau "parimbo" dilatih mengoperasikan Guardian System. Mereka menerima peringatan real-time melalui ponsel pintar, sehingga dapat berpatroli lebih cepat dan tepat sasaran.
- Menggunakan Aplikasi Patroli: Masyarakat lokal, mahasiswa, dan komunitas adat mulai dilatih menggunakan Aplikasi Smart Patrol untuk mencatat temuan lapangan (jejak pembalakan, truk ilegal). Kemudian diintegrasikan ke database pusat.
- Berkolaborasi dalam Satelit dan Drone: Warga setempat menjadi sumber informasi awal untuk memverifikasi data satelit atau hasil pemantauan drone, serta mengidentifikasi lokasi sulit dijangkau drone.
- Sistem Pengaduan Berbasis Teknologi: Beberapa daerah menerapkan hotline atau SMS anonim untuk warga melaporkan aktivitas ilegal, yang kemudian diverifikasi menggunakan perangkat pemantauan lainnya.
Manfaatnya adalah meningkatkan peran masyarakat sebagai penjaga hutan dan kesadaran konservasi, meskipun masih ada tantangan seperti keterbatasan pengetahuan tentang teknologi dan akses perangkat.
Dukungan Pemerintah terhadap Pelatihan Masyarakat Lokal
Pemerintah, baik tingkat provinsi maupun nasional, berperan penting dalam mendukung pelatihan masyarakat lokal dalam penggunaan teknologi pemantauan. Beberapa upaya yang telah dilakukan antara lain:
- Pelatihan Aplikasi Smart Patrol: Meskipun banyak dilaksanakan di Sulawesi Selatan, prinsipnya dapat diterapkan di Sumatera dan Kalimantan. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) menyelenggarakan workshop yang diikuti oleh perwakilan masyarakat adat dan lembaga lokal, dengan materi tentang pengenalan aplikasi, pencatatan temuan lapangan, dan analisis data pelanggaran.
- Pelatihan Penggunaan Drone: Di Kalimantan Tengah, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) bersama Balai Pelatihan LHK Samarinda mengadakan pelatihan penggunaan drone untuk mendeteksi pembalakan liar dan karhutla, dengan peserta dari komunitas lokal.
- Pembentukan Tim Patroli Swadaya: Di Sumatera Barat, BKSDA Sumbar membentuk Tim Patroli Anak Nagari (PAGARI) yang berasal dari masyarakat lokal, dilatih tentang navigasi dan pemantauan hutan, serta menerima peralatan sebagai mitra resmi.
Kasus Konkret: Keberhasilan Teknologi dan Masyarakat Lokal di Sumatera Barat
Pada tahun 2019-2020, enam nagari di Sumatera Barat (Pakan Rabaa Timur, Pakan Rabaa, Pasir Talang Timur, Simancuang, Sirukam, dan Sumpur Kudur) menerapkan perangkat Guardian dari RFCx, didukung oleh Huawei dan KKI Warsi.
Cara Kerja dan Peran Masyarakat:
- Perangkat Guardian dipasang di puncak pohon, menangkap suara gergaji atau kendaraan hingga 3 km², dan mengirim peringatan real-time ke ponsel parimbo (anggota LPHN).
- Parimbo yang sebelumnya hanya berpatroli sekali sebulan kini dapat bergerak cepat dan bekerja sama dengan polisi kehutanan untuk menindak pelaku tepat di lokasi.
Keberhasilan: Dalam 6 bulan pertama penggunaan, parimbo dan polisi berhasil menangkap lebih dari 10 kasus pembalakan liar dan mencegah penebangan ratusan pohon. Teknologi ini juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi hutan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka.
Saat ini, kasus konkret yang tercatat jelas di Kalimantan masih terbatas, tetapi beberapa inisiatif sedang berjalan (seperti penggunaan drone dan pemantauan satelit yang melibatkan warga untuk memverifikasi data).
Hukum Harus Berbicara, Jangan Biarkan "Ngece" Merusak Bangsa
Kata "ngece" dari Mbak Titiek adalah cerminan kekecewaan masyarakat terhadap kelalaian yang terus terjadi. Meskipun peraturan sudah lengkap, teknologi pemantauan mulai diterapkan, masyarakat lokal terlibat, pemerintah memberikan dukungan pelatihan.
Dan ada bukti keberhasilan di Sumatera Barat, pembalakan liar dan truk kayu ilegal masih berkeliaran karena kurangnya pengawasan, kolusi antar pihak, dan sanksi yang tidak menakutkan.
Untuk mengubah situasi, perlu langkah-langkah tegas:
Penegakan hukum yang konsisten: Aparat harus berani menangkap pelaku, tanpa memandang status atau kedudukan.
Penggunaan teknologi yang optimal: Manfaatkan satelit, drone, dan perangkat akustik dengan dukungan masyarakat lokal.
Pemberdayaan masyarakat: Lakukan pelatihan berkelanjutan dan siapkan akses perangkat untuk warga yang ingin membantu.
Jika "ngece" terus dibiarkan, musibah akibat pembalakan hutan akan terus terulang, dan kita akan terus kehilangan hutan yang menjadi paru-paru bumi. Kapan hukum akan benar-benar berbicara, dan pihak-pihak yang acuh tak acuh akan dikenai sanksi yang pantas?
Reboisasi pun perlu waktu puluhan tahun untuk benar-benar bisa mencegah banjir. Kalau toh banjir, tak separah sekarang. (*)