COWASJP.COM – ADAKAH yang percaya: cepat atau lambat Aceh bisa terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Soal ini, marilah kita mulai dari catatan sejarah. Selama konflik Aceh–Belanda (1599–1942), Aceh adalah satu-satunya daerah yang tak mampu dikuasai Belanda secara utuh. Berbeda dengan banyak daerah lain di tanah air.
Meski secara de facto perlawanan rakyat Aceh berhasil ditundukkan Belanda awal abad ke-20, namun berbagai pemberontakan sporadis terus terjadi. Di benak sebagian rakyat Aceh, perang tidak pernah benar-benar berakhir. Sebagian dari mereka melanjutkan pertempuran secara gerilya. Sebuah taktik strategi perang yang membuat Belanda kewalahan secara finansial.
Lalu apa hubungannya dengan ketercerabutan Aceh dari NKRI? Sebagaimana tantangan yang dihadapi Belanda, perlawanan rakyat Aceh melalu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terhadap republik ini pun tidak kurang kuat. Ketika Aceh luluh lantak karena bencana gempa bumi dan tsunami maha dahsyat pada 2004, perlawanan GAM sejatinya tidak pernah surut.
Dengan korban jiwa 166.080 orang dan tidak sedikit wilayahnya yang hancur berantakan, bencana tsunami itu benar-benar memporakporandakan Aceh. Tapi jangan lupa, bukan karena itu rakyat Aceh lantas tunduk.
BACA JUGA: ERA HUKUM YANG LANCUNG​
Kebijakan persuasif pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) waktu itu bagaimanapun merupakan tonggak sejarah yang patut diacungi jempol. Sikap peduli yang luar biasa sang presiden yang langsung menetapkan tsunami 2004 sebagai Bencana Nasional. Lalu mengerahkan bantuan moriel materiel yang tidak sedikit. Pun pengerahan sukarelawan, termasuk yang dari luar pemerintah. Sehingga bantuan luar negeri pun datang menggunung.
Betapa gegap gempitanya kedatangan bantuan asing waktu itu. Amerika Serikat, misalnya, mengirimkan USNS Mercy. Kapal rumah sakit Angkatan Laut AS. Sebagai sarana bantuan medis dan misi kemanusiaan "Operation Unified Assistance". Dilengkapi berbagai fasilitas medis, termasuk 1.000 tempat tidur rumah sakit dan ruang operasi. Lalu Jerman juga mengirimkan kapal berupa rumah sakit apung. Para dokter dan tenaga medis. Semua seperti berhamburan datang.
Banjir dan Longsor 2005
Lalu bagaimana dengan penanganan bencana banjir dan tanah longsor yang tidak hanya di Aceh, tapi juga Sumatera Utara dan Sumatera Barat? Harus diakui, banyak pihak yang protes. Pemerintah sepertinya lamban bergerak. Terperangkap ambigu dan gagap dalam bertindak.
Setelah dua minggu lebih, masih banyak warga yang belum mendapatkan uluran bantuan. Di tempat-tempat pengungsian yang sulit dijangkau. Kepanasan di bawah terik matahari. Kehujanan dibawah guyuran air hujan. Sebagian konon mulai mati kelaparan. Di samping ratusan jenazah yang masih tertimbun lumpur. Di bawah tindihan kayu-kayu gelondongan. Mestinya pemerintah bisa mengerahkan ratusan alat berat. Begitu juga helikopter untuk mencapai daerah-daerah terisolir.
Pertanyaannya, mengapa semua itu tidak dilakukan? Yang melahirkan banyak protes. Bahkan jeritan kepedihan dan tangisan dari ribuan rakyat yang masih terperangkap di tempat-tempat pengungsian masing-masing dan seadanya di tengah hutan.
Yang justru terdengar menggelikan sekaligus memalukan adalah pernyataan-pernyataan pejabat yang nir empati. Yang asal “ngejeplak”. Seperti ucapan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto. Bahwa Bencana banjir Sumatera hanya ramai dan mencekam di medsos.
Walaupun sudah minta maaf, namun publik dihebohkan lagi oleh pernyataan Mendagri Tito Karnavian. Yang dituding telah meremehkan bantuan dari Malaysia. Menurut Tito, nilainya kurang dari Rp 1 milyar. Padahal pemerintah punya dana bantuan lebih besar. Pernyataan yang membuat murka mantan Menlu Malaysia Tan Sri Rais Yatim.
Adab dan Etika Ketimuran
Tan Sri Rais Yatim menilai penyampaian Tito tidak mencerminkan etika dan adab dalam hubungan antar negara. Khususnya antara negara bertetangga. “Saya menerima secara dukacita reaksi menteri dalam negeri rakan kita di seberang. Yang menyatakan bahawa sumbangan 60.000 dolar AS itu diumumkan sebagai perkara kecil dan sumbangan yang tidak berpatutan,” ujar Rais Yatim.
Semestinya, menurut dia, bantuan kemanusiaan dilihat sebagai bentuk simpati dan empati. Bukan semata-mata dinilai dari besaran nominal.
Negeri ini sedang menghadapi begitu banyak tantangan. Bukan hanya soal adab dan kepatutan dalam mengeluarkan pernyataan. Tapi yang lebih penting, sikap dan kebijakan. Apakah benar bahwa tidak ditetapkannya sebagai bencana nasional disebabkan ketakutan bahwa keputusan itu akan membuat banyak borok yang akan terbongkar? Apakah Prabowo takut kepada para taipan yang perusahaannya telah menggunduli hutan-hutan di sumatera secara serampangan dan ugal-ugalan? Pertanyaan-pertanyaan yang terus jadi buah bibir publik.
Berbagai dalih yang coba dibangun pemerintah, di mata publik tidak ada yang masuk akal. Bahkan ucapan Presiden sebelumnya bahwa deforestasi itu tepat untuk digantikan dengan perkebunan sawit. Karena sawit juga memiliki daun. Pernyataan yang dianggap banyak kalangan “tidak aple to aple”.
Dan jangan lupa, tuntutan rakyat Aceh untuk merdeka sepertinya tidak pernah berhenti. Desakan agar dilakukan referendum juga seringkali muncul. Sebagian dari mereka tetap merasa diabaikan. Termasuk dalam kaitannya dengan bencana banjir dan tanah longsor ini. Sekali lagi jangan lupa, perjanjian damai di Helsinki 2005 itu belum semuanya terpenuhi.
Kita mestinya tergugah oleh protes mantan Menlu Malaysia Tan Sri Rais Yatim soal etika dan adab. Selama ini kita begitu bangga dengan adab ketimuran kita. Tapi apakah sekarang adab ketimuran itu masih ada? (*)