COWASJP.COM – SILANG SENGKARUT penanganan bencana banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumut dan Sumbar tampaknya masih tersisa. Ketika kemarahan sejumlah pihak terus meningkat. Terutama di daerah lokasi bencana. Akibatnya beberapa keputusan pemerintah pun disorot. Termasuk oleh sejumlah media asing.
Pertama, soal keputusan pemerintah yang tidak bersedia menyatakan bencana yang telah menelan lebih dari 1.000 korban jiwa ini sebagai bencana nasional.
Kedua, soal penolakan bantuan asing, yang memungkinkan penderitaan para korban bencana bisa sedikit berkurang. Meskipun hal ini debatable, antara pemerintah dan pihak-pihak yang melancarkan kritik.
BACA JUGA: HUTAN KITA MENANGIS​
Para pemimpin negara sahabat sebenarnya telah menyatakan kesiapan untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan. Di antaranya Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi, Presiden Rusia Vladimir Putin, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al Saud, Presiden Iran Masoud Pezeshkian, Raja Charles III, dan Duta Besar Uni Emirat Arab Abdulla Salem Al Dhaheri.
Meski demikian, pemerintah menolak. Dengan alasan pemerintah masih mampu dan hingga kini tidak butuh bantuan asing.
TUJUH BUPATI DI ACEH KIBARKAN BENDERA PUTIH
Padahal, setidaknya tujuh bupati di Aceh telah menegakkan bendera putih. Angkat tangan dan tidak mampu dalam penanganan tanggap darurat. Yaitu, Bupati Aceh Tengah Haili Yoga, Bupati Aceh Timur Iskandar Usman Al-Farlaky, Bupati Aceh Selatan Mirwan MS, Bupati Pidie Jaya Sibral Malasyi, Bupati Gayo Lues Suhaidi, Bupati Aceh Barat Tarmizi, dan Bupati Aceh Utara Ismail A. Jalil.
SOROTAN MEDIA ASING
Media Singapura the Straits Times edisi 20 Desember 2025, misalnya. Dalam laporannya yang di-update kembali satu hari kemudian menyebut, sikap dan keputusan pemerintah pusat Indonesia telah melahirkan kemarahan banyak orang. Media ini mengungkapkan adanya tekanan pusat terhadap para pemimpin daerah, untuk menolak bantuan dari pihak luar negeri.
Upaya recovery dari dampak bencana ternyata begitu sulit. Bagaimanapun, luasan daerah yang terdampak dan jumlah korban yang sangat besar membuat para pemimpin daerah kewalahan. Mereka tidak berdaya ketika dihadapkan pada situasi yang sulit. Dalam keadaan kesulitan justru terpaksa menolak bantuan asing.
PENGGUNDULAN HUTAN GILA-GILAAN
Sementara itu, the New York Times dalam laporannya pada 2 Desember, yang diupdate kembali 17 Desember 2025, mengungkit soal deforestasi. Bahwa penggundulan hutan yang gila-gilaan itu sudah berlangsung lama. Sayangnya, bukannya dihentikan malah sebaliknya semakin marak dalam satu dekade terakhir.
Menurut laporan the New York Times, sejumlah besar hutan alami telah digunduli selama beberapa dekade terakhir. Lalu menggantinya dengan perkebunan kelapa sawit, ladang pulpwood (bubur kayu) dan tambang emas.
Dampak dari operasi gila-gilaan ini menjadikan balok-balok kayu berbagai ukuran menumpuk di mana-mana. Lalu hanyut, menggelinding meruntuhkan bangunan dan perkampungan penduduk, ketika air bah datang.
Seorang pastor sekaligus aktifis lingkungan hidup di Sumatera Utara bicara kepada the New York Times. “Saya melihat sendiri di lapangan. Begitu banyak kayu gelondongan yang hanyut terbawa air bah,” katanya. “Kayu-kayu gelondongan itu jelas bukan begitu saja jatuh dari langit. Kayu-kayu itu pasti berasal dari kegiatan penebangan kayu di daerah hulu.”
PERSOALAN MENDASAR
Meskipun desakan semakin keras, namun pemerintah Presiden Prabowo tampaknya tidak bergeming. Tidak bersedia menyatakan bencana ini sebagai bencana nasional. Alasannya, karena pemerintah kuatir akan memengaruhi sikap investor asing. Sebab hal itu menunjukkan adanya risiko yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi.
Bagaimanapun, investor asing mengutamakan stabilitas dan prediktabilitas.
Meski demikian, sejumlah aktivis melancarkan kritik pedas terhadap sikap dan kebijakan pemerintah ini. Menanggapi kritik ini, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Susno Duadji, bahkan menyatakan tudingan menohok.
Menurut Susno, penetapan status bencana nasional memiliki implikasi besar. Termasuk membuka ruang bagi keterlibatan internasional dan mengungkap berbagai persoalan mendasar. Salah satunya adalah kemungkinan terbongkarnya fakta-fakta terkait pihak-pihak yang terlibat dalam pengerusakan lingkungan, yang diduga menjadi pemicu bencana.
Tapi terlepas dari itu, sepertinya pemerintah lupa beberapa hal. Pertama, cara pemerintah mengelola krisis dan bencana tentu sebenarnya sudah memengaruhi persepsi investor. Respon yang dinilai lambat, misalnya, tentu akan membuat kalangan investor ragu.
Kedua, penolakan bantuan asing karena pemerintah gengsi bisa dipandang menggelikan. Alasan yang tidak dapat diterima akal sehat. Orang akan menganggap ini alasan yang lemah, untuk menutupi alasan yang sejatinya. Yaitu kekuatiran akan terbongkarnya pihak-pihak yang merusak hutan. Yang jadi penyebab utama banjir bandang dan tanah longsor.
Semua tahu, pemerintah membantah keras bahwa pihaknya abai. Pemerintah mengatakan telah menyiapkan dana yang besar dalam rangka tanggap darurat penanganan bencana. Tapi pada waktu yang sama, protes dari para aktivis dan korban bencana terus bermunculan. Terutama di media sosial. Di beberapa daerah seperti di Aceh, misalnya, sampai terjadi aksi protes dengan pengibaran bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Lalu pihak keamanan berusaha membungkam aksi-aksi itu dengan tindakan keras.
Kita kuatir tindakan represif justru akan melahirkan perlawanan rakyat. Janganlah sampai terkesan pemerintah berjudi dengan kesabaran rakyat.
Percepatan dan pemaksimalan upaya penanganan bencana adalah langkah yang mesti ditempuh, ketimbang menangkis aksi-aksi protes. (*)