COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Imam Kusnin Ahmad
-----------------------------------------
ALHAMDULILLAHIROBBIL alamin. Kata hati kami begitu diberitakan bahwa Presiden Joko Widodo ( Jokowi) tidak meloloskan draf revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Sebagai aktivis (Banser) beberapa hari sebelum penolakan tersebut, kami beserta rekan-rekan didera kekhawatiran dan ketidakpastian. Mungkin bukan kami saja yang memiliki pemikiran seperti itu. Warga Indonesia lainnya juga memiliki pemikiran sama. Wabil khusus, mereka yang sangat konsen terhadap pemberantasan korupsi di tanah air ini.
Sebagai mana diketahui, 22 Februari 2016 lalu setelah bertemu pimpinan DPR RI, Presiden Jokowi memutuskan untuk menunda pembahasan draf rancangann UU KPK. Penundaan itu jelas melegakan para aktivis.
Bahkan kami sempat “taruhan” dengan lima teman aktivis di salah satu organisasi pemuda. Tiga teman saya pro Presiden yang tidak meloloskan UU KPK. Dua lainnya anti. Taruhannya makan bakso. Yang kalah harus membelikan segerobak bakso.
Alhamdulillah, dalam kenyataanya presiden telah memutuskan menunda pembahasannya. Menurut kami ini sebuah sikap bijak! Mengapa demikian. Pertama, karena dengan begitu terbukti bahwa Presiden benar-benar mendengar aspirasi masyarakat. Jalan pikiran Presiden sejalan dengan nalar publik. Yaitu tidak mau memperlemah KPK. Di sisi lain, Presden juga memikirkan bahwa terobosan untuk penguatan KPK masih bisa dilakukan lewat Revisi UU.
UU KPK yang ada saat ini sudah cukup kuat, namun masih bisa diperkuat lagi dengan menambah pasal-pasal baru, serta menyempurnakan pasal-pasal yang sudah ada agar lebih kuat. Menghilangkan pasal-pasal yang melemahkan. Dengan alasan itu, Presiden juga memahami jalan pikir DPR.
Hanya saja, draf revisi seperti yang diusulkan DPR saat ini tidak memenuhi harapan untuk memperkuat KPK. Maka, tidaklah bijak untuk ditolak, sebab revisi memang dibutuhkan guna lebih memperkuat KPK. Dalam pengertian, dengan menunda kesempatan, maka draf usulan bisa diperbaiki dan disempurnakan agar sesuai dengan harapan publik.
Apa yang tadinya dikhawatirkan akan menjebak Presiden, terbukti bisa terlewati. Bila menolak draf usulan dari DPR, Presiden akan berhadapan tidak saja dengan lembaga legislatif yang menjadi mitranya dalam pembuatan UU, tetapi juga dengan partai pendukung pemerintah. Lebih-lebih lagi berhadapan dengan PDIP yang bisa menuduhnya melawan keputusan partai.
Tetapi, bila Presiden menerima usulan draf revisi, Presiden akan berhadapan dengan tekanan publik yang jelas-jelas menuntut penolakan draf usulan karena terang benderang melemahkan KPK.. Kini, pembahasan UU Revisi KPK sudah ditunda oleh Presiden.
Terus bagaimana? Menurut pemikiran kami, sekaranglah saatnya masyarakat, terutama praktisi hukum dan aktivis anti korupsi, memberi masukan ke DPR maupun Presiden berkaitan dengan poin-poin yang perlu diusulkan dalam Draf UU Revisi KPK. Butir atau pasal apa dari UU KPK tersebut yang perlu dihilangkan, disempurnakan, bahkan ditambahkan.
Hal ini penting. Agar penundaan tidak menjadi taktik ulur waktu semata-mata, sambil menunggu rakyat lengah lalu diloloskan. Rakyat harus tetap aktif memberi masukan dan mengawal, memastikan usul-usul penguatan KPK dan diakomodasikan dalam draf revisi.
Dari diskusi dengan para praktisi dan para aktivis, misalnya LBH NU dan ISNU serta organisasi lain, ada sejumlah poin yang bisa memperkuat lembaga antirasuah itu. Menurut mereka:
Pertama, penyidik KPK diberi kekebalan hukum terbatas. Khusus terkait pidana yang bukan terkategori sebagai extra ordinary crime (EOC). Poin ini diperlukan untuk mencegah adanya hambatan-hambatan yang terkesan dicari-cari untuk menghalangi bahkan memperlemah kerja KPK.
Ilustrasi Gedung KPK (Foto: okezone)
Contohnya Kasus Abraham Samad (yang dijerat kasus pemalsuan dokumen dan paspor), Bambang Widjojanto (dijerat dengan kasus saksi palsu), dan Novel Basewedan (dijerat kasus penganiayaan pencuri sarang walet) merupakan bukti kuat perlunya poin ini.
Para komisioner dan penyidik KPK telah diseleksi dengan sangat ketat, karena itu harus benar-benar orang pilihan. Kecuali, apabila kelak ternyata mereka pernah melakukan kejahatan EOC, seperti korupsi, narkoba, atau terorisme di masa lalu. Maka, mereka harus diberhentikan dan diproses.
Tetapi, bila “dosa masa lalunya” tidak tergolong EOC, maka mereka harus diberi kekebalan hukum sampai batas waktu masa tugasnya di KPK berakhir, barulah diproses.
Kedua, memberikan kewenangan untuk melakukan perekrutan penyidik oleh KPK. Tidak mungkin KPK bisa kuat bila tidak diberi kewenangan merekrut sendiri penyidik, dan hanya menunggu didrop dari kepolisian dan kejaksaan. Tidak ada maksud untuk menyepelekan kedua lembaga hukum itu. Ini untuk memastikan independensi KPK dalam melakukan tugasnya, maka kewenangan ini diperlukan.
Ketiga, bisa dimungkinkan kita meniru UU KPK Singapura, Yaitu, mencakup poin penguatan seperti:
1.Penyidik KPK diberi wewenang menjadikan informasi tentang asal usul kekayaan tersangka yang sumbernya tidak dapat dijelaskan, sebagai bukti untuk menyeret tersangka ke proses hukum lebih lanjut. 2.Kalau penyidik KPK selama ini baru diberi kewenangan menangani sektor (yang melibatkan pejabat) publik, maka akan menjadi langkah maju bila penyidik KPK juga diberi wewenang menangani perkara korupsi sektor swasta.
Sebab, kita tahu bahwa korupsi di Indoensia tidak hanya beranak-pinak di sektor publik. Dengan demikian, wilayah kewenangan KPK diperluas menangani korupsi dalam semua sektor kehidupan di negeri ini.
Itulah masukan dan bincang-bincang dengan beberapa teman kami. Silakan warga Indonesia mengusulkan poin-poin lainnya. Harapan kita, presiden selalu memperhatikan masukan dari masyarakat.
Yang jelas, syukur kami tidak jadi urunan membelikan bakso serombong yang nilainya lebih dari Rp 750.000 itu. Bahkan, kami bisa menikmati makanan khas tersebut dua hari setelah penolakan tersebut secara ramai-ramai. Termasuk dua teman kami yang kalah tadi. Alhamdulillah wasyukurillah.***
Baca dan Simak berita lainnya Klik Di Sini