Untaian Rantai Duka Umat

COWASJP.COMRASANYA tak kan pernah kering pena kita, untuk menuliskan untaian duka umat. Terutama ketika semakin banyak kita melihat betapa rantai duka itu terus memanjang dan memanjang.

Kali ini, ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan. Di lain waktu, bukan mustahil hal itu akan menimpa organisasi massa Islam yang lain.

Karenanya puluhan ribu umat yang menjadi anggotanya pasti berduka. Duka yang pasti ikut dirasakan massa Islam yang lain. Karena umat Islam itu ibarat satu batang tubuh. Bila satu bagian tubuh mengalami sakit, maka bagian tubuh lainnya akan ikut pula merasakannya.

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No 2 tahun 2017, yang berlanjut dengan tindakan pembubaran HTI, adalah satu tonggak sejarah duka yang dialami umat ini sekarang. Menurut keterangan pemerintah, pembubaran HTI dilakukan karena ormas Islam tersebut memiliki dan menyebarluaskan ajaran yang bertentangan dengan falsafah negara Panca Sila.

Bagi kita, apa pun alasan pemerintah, yang pasti, hal itu semakin memperbesar kekuatiran kita bahwa itu bukanlah duka yang terakhir. Sebab kecenderungan ke arah itu tampak semakin nyata. Duka demi duka yang lain akan terus berulang, selama pihak-pihak yang bertentangan paham dengan mereka semakin kuat. Sementara umat Islam tetap dalam posisi yang lemah dan terpecah belah.

Mereka yang menganggap diri mereka “tafaqquh fid din”, tanpa berpikir lain, begitu bangga dengan jalan yang mereka tempuh. Seolah mereka benar-benar akan jadi ahli surga. Seolah dunia ini akan runtuh besok pagi. Sedangkan yang hanya memikirkan dunia, tanpa berpikir lain, terus saja menadahkan tangan menerima duit sogokan. Siap mencela dan merendahkan kawan seiman asal ada imbalannya.

Yang menjadi pertanyaan kita: Apakah mungkin PERPU No. 2 tahun 2017 ini dapat digunakan untuk memberangus suatu ormas Islam yang lain dengan alasan yang berbeda? Kalau HTI dibubarkan karena dinyatakan sebagai organisasi yang memiliki dan menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Panca Sila, lalu alasan apakah yang akan digunakan untuk membubarkan ormas Islam yang lain? Apakah mungkin, misalnya, dengan menggunakan kata-kata yang belakangan paling sering dipakai, seperti: dianggap, diduga, dituduh, dicap dan semacamnya.

Menghadapi situasi seperti ini, tentu sangat bijak bila HTI melakukan perlawanan melalui jalur hukum. Menempuh jalur hukum tentu paling kecil resikonya, meskipun kemungkinan bisa menang sangat kecil karena berhadapan dengan penguasa. Seandainya mereka melawan melalui aksi massa, dengan turun ke jalan, bukan mustahil mereka akan berhadapan dengan moncong senjata. Karena itu, kita berharap para pimpinan ormas Islam dapat bersikap dan bertindak lebih bijak.

Umat Islam Indonesia sudah mengalami tidak sedikit pengalaman pahit yang pastinya tidak akan terlupakan. Itu yang mungkin bisa kita sebut sebagai rantai duka yang kian memanjang. Ketika umat Islam tidak mampu menjadi pengendali kekuasaan. Ketika umat yang disebut mayoritas tapi nasibnya selalu tertindas.

Sejak bangsa ini merdeka 72 tahun silam, umat Islam sudah mengalami banyak sekali pengalaman pahit. Misalnya, mereka telah berulang kali dicap sebagai pemberontak. Sebutan yang sejauh ini tidak seorang pun dapat membantah. Sebut saja misalnya sebagai pemberontak DI TII, baik yang dikomandoi Karto Suwiryo maupun Daud Beureueh. Padahal ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) memberontak, merekalah yang jadi tumbalnya.

*

BERKACA kepada perjalanan sejarah anak bangsa, tidak seorang pun dapat membantah bahwa umat Islam dengan para kiyai dan ulamanya merupakan kelompok yang selalu berada di garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan bangsa. Bahkan sejak zaman penjajahan Belanda, umat Islamlah yang menjadi tulang punggung perjuangan bangsa.

Perjuangan Rakyat Aceh menolak kehadiran penjajahan Belanda, misalnya, tidak bisa dipungkiri adalah perjuangan umat Islam Aceh dan para ulamanya. Perlawanan Tuanku Imam Bonjol terhadap Belanda juga merupakan perlawanan umat Islam, ketika kaum adat dan parewa justru mengharapkan dukungan kolonialis Belanda. Perlawanan Pangeran Diponegoro pun tak dapat dibantah adalah perlawanan yang dijiwai semangat perjuangan Islam yang menyala-nyala.

Tapi ketika tampuk kekuasaan berhasil diraih, mereka selalu ditinggalkan. Tentunya kita termasuk orang-orang yang tidak melupakan beban sejarah kita yang kelam. Sewaktu Orde Lama (Orla) tumbang dan kekuasaan Orde Baru (Orba) baru dibangun, umat Islam langsung tersisih. Perjuangan para pemimpin umat untuk menghidupkan kembali Partai Masyumi sebagai salah satu kesatuan umat secara politik, misalnya, dengan serta-merta ditolak penguasa. Itu salah satu yang membuat kecewa.

Ternyata, penguasa kemudian begitu dekat dengan kelompok yang tidak menginginkan Islam tumbuh dan berkembang. Pasalnya, sejumlah posisi penting dalam pemerintahan sudah dikuasai kelompok non-muslim. Pengaruh lembaga “think tank” Centre for Strategic and International Studies” (CSIS) terhadap pengambilan kebijakan di pemerintahan begitu kuat. Jenderal-jenderal non-muslim maupun muslim abangan – seperti Panglima ABRI Jenderal Benny Murdani, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, Letnan Jenderal Ali Murtopo dan lain-lain – memiliki pengaruh yang sangat besar dan begitu ditakuti.

Harus diakui, era 1970-an sampai 1980-an, para pemimpin Islam “tiarap”. Yang di luar pemerintahan saja tiarap, apalagi yang berada dalam pemerintahan. Para pejabat muslim dihinggapi penyakit takut menunjukkan keislamannnya. Sebab bila ketahuan mereka rajin sholat dan puasa, misalnya, posisi dan kedudukan mereka bisa saja terancam. Hal itu sangat ditakuti, terutama oleh mereka yang “hubbud dunya wa karahiyatul maut” (Cinta dunia dan takut mati).

Pemberlakuan kebijakan Asas Tunggal Pancasila kemudian menjadi puncak kesedihan yang merisaukan. Sebab ormas-ormas Islam yang sudah puluhan tahun berasaskan Islam harus mengganti asasnya dengan Panca Sila. Mereka yang berani mengkritik kebijakan itu dianggap sebagai musuh negara dan penguasa.

Para khatib yang berani menyuarakan penolakan terhadap ketentuan itu dikejar-kejar. Sehingga tidak sedikit yang harus mengungsi ke negara jiran seperti Malaysia, karena takut diciduk kaki tangan penguasa. Sebagian mungkin juga hanya takut dikejar bayang-bayang mereka sendiri.

Sewaktu beberapa kali sempat mengikuti training pemuda muslim yang diselenggarakan oleh Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) bekerjasama dengan the International Islamic Federation of Student Organisation (IIFSO) maupun the World Assembly of Muslim Youth (WAMY) di Kuala Lumpur, saya sempat bertemu beberapa orang dari mereka. Misalnya, mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua, yang waktu itu kebetulan sedang “mengungsi” di sana. Mereka yang tertangkap seperti Toni Ardi dan kawan-kawan terpaksa mengalami tindakan “dipesantrenkan” di Jl. Kramat VI, Jakarta Pusat.

Berbarengan dengan itu, naskah khutbah para khatib dikenai kebijakan sensor penguasa. Karena itu, ketika Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin belum lama ini mengemukakan wacana sertifikasi khatib, ingatan kita langsung saja ke era 1980-an yang menyakitkan itu.

Bagaimanapun, kebijakan itu melahirkan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Puncaknya adalah ketika massa Islam yang marah di Tanjung Priok 12 September 1984 mencoba melawan pemerintah dengan cara turun ke jalan. Aksi mereka dipatahkan dengan moncong senjata. Panser dan kendaraan tempur lain dikerahkan, bahkan berseliweran di lokasi itu sampai pagi. Ratusan nyawa melayang, puluhan lainnya ditangkap. Sementara yang hilang tak tentu rimbanya tidak terhitung. Itu informasi yang sempat beredar di media asing dan sumber-sumber tidak resmi, karena informasi resmi dari pemerintah tidak ada.

Apakah itu akhir dari segalanya? Ternyata tidak. Sejumlah tragedi yang menimpa umat Islam tak henti datang. Ada tragedy Talang Sari Lampung, Komando Jihad dan sebagainya.

Kita juga tidak bisa melupakan bagaimana kebijakan politik belah bambu pun mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ketika kebijakan Asas Tunggal Pancasila diberlakukan, sikap para aktifis pun terpecah. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu organisasi mahasiswa Islam terbesar pun sempat mengalami hal itu.

Karenanya HMI terpecah menjadi HMI Dipo (karena bersekretariat di Jl. Diponegoro, Jakarta) dan HMI MPO atau HMI Majelis Penyelamat Organisasi. Mereka yang mendukung penguasa dengan pertimbangan politik dan mereka yang menolak mendukung kebijakan penguasa dalam soal Asas Tunggal Pancasila.

Beda-beda tipis dengan situasi yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekarang. Yaitu dengan adanya PPP Roma Hurmuzi dan PPP Jan Faris. Partai yang satu ini tidak pernah belajar dari sejarahnya, karena di era Soeharto pun pernah mengalami upaya pecah belah yang sama.

Karenanya, umat Islam harus segera bangun dari tidur panjangnya. Mereka harus belajar dari sejarah mereka yang pilu. Jika mereka tetap lengah, lemah dan terpecah belah, mereka akan selalu menghadapi untaian duka yang semakin memanjang. Karena mereka tidak mampu menjadi orang yang menentukan sejarah.

Kita tidak bisa menolak bahwa hanya Allah subhanahu wata’ala yang tahu sejatinya perjalanan sejarah suatu bangsa. Tapi sejarah itu ditulis oleh penguasa. Sesuai kemauan mereka.

Ketika penguasa kita adalah penjajah Belanda, maka Belandalah yang menuliskan sejarah kita untuk kita. Karena itu baru sekarang kita sadar dan mempertanyakan, mengapa pakaian para pejuang wanita kita seperti Cut Nyak Din, Cut Mutiah dan sebagainya tidak mencerminkan keislamannya. Padahal, menurut beberapa informasi yang lain, beliau-beliau itu adalah para pemimpin muslim yang sehari-harinya berpakaian sebagai wanita muslim.

Kita juga bisa mempertanyakan, mengapa nama besar Kapten Patimura yang begitu ditonjolkan dalam kitab-kitab sejarah adalah Thomas Matualessi. Sebuah nama yang menimbulkan kesan sebagai nama seorang pemimpin non-muslim. Padahal dia adalah seorang muslim.

Karenanya, sekali lagi jangan lupa, sejarah ditulis dan ditentukan oleh mereka yang berkuasa.

Mestinya di antara kita ada yang berupaya menggali kebenaran sejarah. Bukan sekadar menghafal butir-butir perjalanan sejarah yang disuapkan ke mulutnya oleh pihak lain. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda