Menonton Permainan Politikus di Panggung Sirkus

Foto dan Ilustrasi: CoWasJP Hauenstein Center

COWASJP.COMSebagian Senator adalah orang-orang kaya yang membeli jabatan mereka, sebagian lainnya lagi adalah orang-orang dengan kemampuan intelektual yang dangkal, kurang pemahaman, dan kaum partisan brengsek yang penuh prasangka.

John F. Kennedy

O l e h: Djoko Pitono

--------------------------------

RAKYAT Amerika sekarang sudah tidak percaya lagi kepada  berbagai lembaga di negaranya. Jajak pendapat Gallup menyebutkan, rata-rata kepercayaan pada berbagai lembaga di negeri itu hanya 14 persen. Ini mungkin bukan kebetulan bahwa negara itu baru memilih Donald Trump menjadi presiden, menjungkirbalikkan banyak tatanan dan pandangan banyak orang.

Clare Malone dalam situs fivethirtyeight melaporkan 16 November 2016, kepercayaan publik terhadap berbagai lembaga itu makin merosot dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2006, misalnya, 49 rakyat Amerika memiliki kepercayaan “sangat besar” dan “cukup besar” pada dunia perbankan. Tetapi tahun depan hanya 41 persen dan di tahun 2016 sekarang hanya 27 persen. (http://fivethirtyeight.com/features/americans-dont-trust-their-institutions-anymore/)

Dalam konteks politik yang bisa dikaitkan dengan sorotan tajam terhadap perilaku dan kinerja para anggota DPR di Jakarta akhir-akhir ini, laporan itu tentu sangat menarik dan pantas dikedepankan. Para wakil rakyat dilaporkan malas bekerja dan sering bolos. Ini selaras dengan hasil survei yang dikutip oleh Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian bahwa kepolisian minim kepercayaan publik, di samping kejaksaan dan DPR. Namun sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru menyangkut apa yang disebut kredibilitas para politisi. Sejak lama citra politisi nyaris tak pernah berubah signifikan.

John F. Kennedy, misalnya, dalam bukunya Profiles in Courage (1957) mengutip pernyataan seorang anggota Kabinet AS yang kesal terhadap para senator ketika itu. Pernyataan itu antara lain sebagai berikut:     

“While I am reluctant to believe in the total depravity of the Senate, I place but little dependence on the honesty and truthfulness of a large portion of the Senators. A majority of them are small lights, mentally weak, and wholly unfit to be Senators. Some are vulgar demagogues…some are men of wealth who have purchaced their position…[some are] men of narrow intellect, limited comprehension, and low partisan prejudice…”

jhon-F-KenedyKCJsf.jpg

John F. Kennedy (Foto: Hauenstein Center)

Pernyataan itu adalah  kritik yang sangat keras. Bayangkan, mayoritas senator Amerika (sekitar 1950-an) dinilai tidak jujur. Mayoritas mereka adalah orang-orang berkualitas rendah, lemah mental dan sama sekali tidak pantas jadi senator. Sebagian mereka adalah kaum demagog yang vulgar, sebagian adalah orang-orang kaya yang membeli jabatan mereka, sebagian lainnya lagi adalah orang-orang dengan kemampuan intelektual yang dangkal, kurang pemahaman, dan kaum partisan brengsek yang penuh prasangka.

Menurut Kennedy, Senat tahu bahwa banyak rakyat Amerika (saat itu) menyetujui pandangan tersebut. Tetapi para senator, begitu kata orang, adalah politisi – dan  para politisi hanyalah memikirkan bagaimana memenangkan suara, bukan kenegarawanan atau keberanian. “Kaum ibu masih menginginkan anak-anak favoritnya untuk bisa menjadi Presiden, tetapi menurut sebuah jajak pendapat Gallup terkenal beberapa tahun lalu, kaum ibu itu tidak ingin anak-anaknya menjalani proses menjadi politisi,” tulis Kennedy dalam buku itu.

Laporan Majalah Forbes pernah menguatkan pandangan tersebut. Menurut Forbes, jajak pendapat yang dilakukan National Opinion Research Center pada 1943 menunjukkan 48 persen responden yakin hampir tidak mungkin seseorang bersikap jujur bila terjun ke politik.Bagaimana setelah lebih dari 70 tahun?.

Pada 2010, 55 persen responden Gallup menyebut bahwa kejujuran dan standar etika para anggota Kongres AS (Senat dan DPR) rendah atau sangat rendah. Hanya 9% melukiskan kejujuran dan etikanya tinggi. Sebuah jajak pendapat baru Fox  News Opinion Dynamics menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat AS yakin para pejabat yang dipilih lebih tertarik pada kekuasaan dan kekayaan (67%) daripada pelayanan publik bagi konstituen mereka (14%).

Namun ketidakpercayaan terhadap politisi bukan monopoli Amerika. Laporan media 14 Maret 2011 menyebutkan hasil riset media massa Eropa juga sama kecenderungannya. Di benua itu, politisi Polandia dinilai paling tidak bisa dipercaya. Riset tersebut dilakukan oleh suratkabar Gazeta Wyborcza (Polandia), Guardian (Inggris), Le Monde (Prancis), El Pais  (Spanyol) dan Der Spiegel (Jerman)

Analisa riset itu mengungkapkan, krisis finansial dan pemotongan anggaran menunjukkan suramnya masa depan dan ketidakpercayaan kepada pemerintah. Hanya 6 persen responden percaya pada kaum elite penguasa, 46 persen agak ragu dan 32 persen tidak percaya sama sekali. Politisi Polandia paling tidak dipercaya (82 persen), disusul Jerman (80 persen).

Di Indonesia, seperti telah kita ketahui bersama, para politisi akhir-akhir ini telah menumbulkan kekesalan, kekecewaan dan bahkan kemarahan banyak kalangan di masyarakat.

Beragam .skandal besar yang dicoba dibongkar di DPR macet di tengah jalan, tak jelas juntrungannya.

Entah berapa kali KPK menangkap anggota DPR dalam perkara korupsi.

Seorang politikus kenamaan terbukti tidak etis dan dilengserkan dari jabatan penting, tetapi kemudian didudukkan di tempat lain yang strategis. Di satu saat kita juga menyaksikan para politisi berbicara garang, tapi di saat yang lain, mereka tiba-tiba diam dan menolak bicara, seperti sakit gigi. Ada kelucuan-kelucuan pula.

Apakah ini potret  “masyarakat sirkus”? Seperti  panggung sirkus, semuanya tampak lengkap. Ada macan, ular, gajah, dan sebagainya. Tetapi semuanya kehilangan identitas. Sirkus hanya punya dua tujuan, menimbulkan kekaguman dan kelucuan. Itulah memang  “the objective of circus people”

Bagi pihak yang pesimitis dan apatis, mereka mungkin akan setuju dengan.eseis dan satiris H.L. Mencken (1880-1956). Mencken menyebut, seorang politisi yang baik dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang tak terbayangkan seperti kita mengharapkan seorang maling yang jujur. Ini senada pernyataan Nikita Krushchev, pemimpin komunis Uni Sovyet di era 1960-an. Dia bilang, para politisi di mana pun sama saja.Mereka (bisa) berjanji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungainya.

Namun sikap pesimistis dan apatis sebenarnya berbahaya. Bahwa dunia politik itu kotor memang diakui banyak kalangan. Namun tidak berarti dunia itu harus dihindari, apalagi seperti kata Aristoteles, manusia secara alamiah adalah binatang politik. Vaclav Havel, sastrawan Ceko yang kemudian menjadi Presiden dan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian, mengungkapkan mengapa dirinya terjun ke politik.

“Politik yang sejati, politik satu-satunya yang saya bersedia untuk mengabdikan diri, adalah masalah pelayanan terhadap mereka yang ada di sekitar kita: melayani masyarakat dan melayani mereka yang akan hidup setelah kita. Akar terdalamnya adalah moral karena itu adalah tanggungjawab yang ditunjukkan melalui tindakan, kepada dan untuk seluruh umat manusia,” katanya..

Ribuan tahun yang lalu, Plato telah memperingatkan agar masyarakat tidak acuh tak acuh terhadap politik dan segala sesuatu yang terkait dengan masalah kepentingan publik. Ia mengatakan, sikap apatis terhadap masalah-masalah publik harganya sangat mahal, karena kita akan dikuasai oleh orang-orang yang jahat.

Jimmy Carter, negarawan dan mantan Presiden Amerika, punya ungkapan yang sangat menarik untuk melukiskan tanggungjawab dalam dunia politik. “Tugas politik yang menyedihkan adalah menciptakan keadilan dalam dunia yang penuh dosa,” kata Carter.

Sulit memang, tetap harus dijalani. (*) 
 
Djoko Pitono, veteran jurnalis dan editor buku.

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda