COWASJP.COM – KUNJUNGAN Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz al-Saud selama sembilan hari mulai Rabu (1/3/2017) di Indonesia sangat menarik. Banyak penulis memberikan fokus perhatian pada peningkatan kerjasama bilateral kedua negara. Orang-orang terperangah pada besarnya jumlah anggota rombongan Raja Salman, yang disebut mencapai 1.500 orang, sekitar 400 di antaranya anggota delegasi. Tulisan Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku, berikut ini menyampaikan sesuatu yang mungkin lain.
Raja Abdul Aziz Ibn Saud (1876-1953) adalah seorang raja yang legendaries. Entah berapa puluh atau ratus buku tentang raja ini telah ditulis. Seorang raja yang tidak hanya tinggi besar dalam ukuran orang Arab, tetapi juga cerdas dan gagah berani. Praktis sendirian tokoh itu menaklukkan kekuasaan kelompok suku-suku yang selalu berperang satu sama lain di hampir seluruh Semenanjung Arab di awal abad ke-20.
Grafis: CoWasJP, Foto-foto: Tempo dan Kompas
Dia mempersatukan dan memerdekakan serta membangun negara baru dengan nama Kerajaan Arab Saudi. Dia pun menyulap negerinya yang “setengah primitif” menjadi negeri yang kaya raya dan maju berkat ditemukannya minyak bumi dalam jumlah produksi sangat besar.
Dalam bukunya Arabia Unified: A Portrait of Ibn Saud (North American Inc., 1985), Mohammed Almana, seorang penerjemah pribadi Ibn Saud, banyak melukiskan kehebatan Sang Raja. Almana antara lain menulis, “The towering achievements of His Majesty King Abdul Aziz Ibn Saud were those of a truly remarkable man. To have united almost the entire Arabian peninsula in a permanent and harmonious union was an accomplishment which would habe been beyond even the dreams of any ordinary monarch.”
Tetapi pelukisan Mohammed Almana termasuk baru karena bukunya terbit pada tahun 1985. Jauh sebelum itu, tepatnya 1 Juni 1945, Bung Karno telah menunjukkan rasa terpesonanya pada Ibn Saud saat menyampaikan usulannya tentang Pancasila sebagai dasar negara. Mengawali pidatonya di depan para anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, Bung Karno tampak menunjukkan rasa kesalnya karena banyak anggota lembaga tersebut mengajukan berbagai langkah perbaikan negeri sebelum menyatakan kemerdekaan negara Indonesia. Dia pun menunjukkan sejumlah pemimpin, termasuk Raja Abdul Aziz Ibn Saud, yang mendirian negara dulu baru kemudian membangunnya.
Foto istimewa
Bung Karno antara lain mengatakan:
“Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!”
Bung Karno juga mengatakan.”Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka! “
“Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyadh dengan 6 orang! Sesudah "jembatan" itu diletakkan oleh Ibn Saud, maka di seberang jembatan, artinya kemudian dari pada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi Abdul Aziz bin Saud,” tambah Bung Karno.
Berjuang dari Pengasingan
Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud dilahirkan di Riyadh pada 15 Januari 1876 dan meninggal di Taif pada 9 November 1953 dalam usia 77 tahun. Selain disebut dengan nama Abdul Aziz, dia juga biasa dikenal sebagai Ibn Saud.
Menurut Wikipedia, Raja Abdul Aziz adalah anak pasangan Abdul Rahman bin Faisal dan Sara binti Ahmad al-Kabir Sudayri. Pada tahun 1890, semasa berusia sepuluh tahun, Abdul Aziz mengikuti keluarganya dalam pengasingan di Kuwait setelah dikalahkan oleh dinasti Rashidi. Pada saat itu, Nejd bukan bagian dari Kesultanan Utsmani (Turki), melainkan daerah merdeka yang dikuasai oleh beberapa kabilah suku. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Kuwait.
Foto: Kumparan
Pada tahun 1901, semasa berusia 22 tahun, Abdul Aziz menggantikan ayahnya sebagai kepala keluarga dinasti Saud dengan gelar Sultan Nejd. Ia kemudian memulai perjuangan untuk merebut kembali tanah dari dinasti Rashidi di tempat yang kini menjadi Arab Saudi. Pada tahun 1902, dia bersama-sama dengan pasukan kecil keluarga dan saudaranya berhasil merebut Riyadh.
Dua tahun setelah berhasil merebut Riyadh, Abdul Aziz berhasil menguasai separuh dari Nejd. Meskipun begitu, pada tahun 1904, dinasti Rashidi meminta bantuan dari Kesultanan Utsmaniyah untuk mengalahkan dinasti Saud,
Kerajaan Utsmaniyah mengirimkan pasukan ke Arabia (Tanah Arab) dan ini menyebabkan kekalahan dinasti Saud pada 15 Juni 1904, namun setelah pasukan Utsmaniyah mundur akibat kekalahan dalam Perang Dunia I, pasukan dinasti Saud berhasil mengumpulkan kembali kekuatannya.
Dengan dukungan para ulama beraliran Wahabi, Ibn Saud bergerak membangun kembali masyarakat di Tanah Suci dengan menghancurkan segala macam bangunan atau tempat-tempat yang dipandang berpotensi menciptakan laku musrik dan bid’ah. Bahkan Makam Nabi Muhammad SAW pun dikabarkan akan dibongkar.
Begitulah, dalam kepemimpinan awal Ibnu Saud, terjadi eksodus besar-besaran ulama dari seluruh dunia. Mereka kembali ke negara masing-masing, termasuk para pelajar Indonesia yang sedang mencari ilmu di Arab Saudi.
Foto istimewa
Di masa inilah sebenarnya, diplomasi para ulama Indonesia secara faktual sudah diawali. Para ulama pengusung Ahlussunnah wal Jamaah, yang merasa sangat perihatin, kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz.
Komite Hijaz ini merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah berdiri, Komite Hijaz menemui Raja Abdul Aziz Ibn Saud di Hijaz (nama sebelum berdirinya Kerajaan Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan. Komite Hijaz memohon agar umat Islam di Arab yang melakukan ibadah diberi kebebasan sesuai dengan madzhab yang mereka anut.
Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibn Saud.
Lima permohonan yang disampaikan Kepada Raja Abdul Aziz, seperti telah tercatat dalam sejarah, adalah:
Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqidah maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya.
Kedua, memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah "Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah" dan firman Nya "Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya."
Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthowwif dari mulai Jeddah sampai pulang lagi ke Jeddah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah.
Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
Kelima, Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.
Ternyata, permohonan NU lewat Komite Hijaz tersebut disetujui oleh Raja Ibn Saud. Sebuah “keajaiban” memang. Apa yang banyak jadi pertanyaan adalah bagaimana wakil sebuah organisasi (NU) yang belum dikenal bisa diterima oleh Raja Ibn Saud. Orang memang bisa beropini, itulah kepiawaian diplomasi KH Abdul Wahab Chasbullah. Atau, mungkin saja Raja Ibn Saud sudah sadar betapa ulama Nusantara tidak bisa diremehkan karena fakta menunjukkan besarnya jemaah haji Nusantara di Tanah Suci.
Begitulah, setelah menguasai sebagian besar Jazirah Arab dari musuh-musuhnya pada tahun 1932, Abdul Aziz pun mendirikan Kerajaan Arab Saudi atau Saudi Arabia, yang merupakan tanah gabungan Hijaz dan Nejd.
Nasib baik menyertai Raja Abdul Aziz dengan ditemukannya minyak bumi di Arab Saudi pada tahun 1938. Sang Raja lalu memberikan izin bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan sekutunya untuk melakukan eksplorasi minyak di wilayah Arab Saudi. Segala keuntungan hasil penjualan minyak dibagi untuk Amerika Serikat dan sekutunya dan keluarga Saud. Keuntungan hasil penjualan minyak yang semakin bertambah menyebabkan Ibnu Saud mulai membelanjakan uang itu untuk membangun Kerajaan Arab Saudi dan menyejahterakan segenap rakyatnya. Amerika Serikat dan Inggris menjadi sahabat dekat Arab Saudi hingga sekarang.
Ia memberi aturan kepada suku-suku nomadik agar mulai saat itu mereka tinggal secara tetap di suatu tempat. Ia juga memulai usaha untuk memberantas tindakan kriminal terutamanya tindakan kriminal terhadap terhadap para peziarah di Makkah dan Madinah.
Saat Perang Dunia II, Kerajaan Arab Saudi di bawah Raja Ibn Saud mengambil posisi negara yang netral. Tetapi pada 1948, saat meletusnya Perang Arab-Israel, Raja Arab Saudi tersebut ikut dalam perang melawan negara Yahudi yang baru menyatakan kemerdekaannya itu.
Keluarga Abdul Aziz sangat besar. Sang Raja memiliki beberapa istri dan anaknya tidak diketahui jumlahnya, namun diperkirakan antara 50 hingga 200 orang. (*)