COWASJP.COM – SAHDAN, seperti telah terukir dalam sejarah, Raja Abdul Aziz Ibn Saud, mendirikan Kerajaan Arab Saudi praktis sendirian di sebuah padang pasir tandus dan miskin seluas Eropa Barat.
Sekarang, hampir 100 tahun kemudian, lebih dari 5.000 keturunannya yang terkenal kaya raya, menjalankan monarki itu seperti keluarga. Sudah seringkali kerajaan itu diramalkan para pengamat akan jatuh, seperti saat jatuhnya Shah Iran pada 1979, tumbangnya Saddam Hussein di Irak pada 2003 dan juga tersingkirnya Mohammar Khadafi dari Libya pada 2011. Tetapi Arab Saudi terus berkembang makmur dan keluarga itu pun tetap mendapat dukungan kesetiaan dari rakyatnya.
Perpecahan merupakan sesuatu yang sangat dibenci Kerajaan Arab Saudi. Tentang ini, tersebutlah sebuah cerita terkait wasiat Raja Abdul Aziz tidak lama sebelum wafatnya pada 1953. Beberapa saat sebelum tutup usia, tulis Newsweek, Sang Raja memanggil dua anak laki-lakinya, Saud dan Faisal, yang sering bertengkar, ke kamar tidurnya.
“Bersalamanlah di atas tubuh saya,” kata Raja Abdul Azis kepada mereka,” dan bersumpahlah bahwa kamu akan bekerja bersama bila saya telah pergi. Bersumpahlah pula bahwa bila kamu bertengkar, kamu akan melakukannya secara pribadi. Kamu tidak boleh menunjukkan ketidakcocokanmu bersama dilihat dunia luar.”
Tradisi konsensus Badui dan hierarki informal suku itu telah memungkinkan keluarga tersebut terus berkuasa secara mulus. Semua konflik pribadi di antara 26 anak laki-laki Abdul Azis Ibn Saud diselesaikan di dalam keluarga itu sendiri.Ada juga cerita yang menarik terkait hal ini. Sebelum meninggalnya pada 1969, ibu Raja Fahd selalu menekankan agar Fahd dan enam saudara laki-lakinya makan siang bersama. Hingga sekarang, tradisi makan siang bersama itu masih dilanjutkan oleh anak-anak Fahd dan saudara-saudaranya.
Konsensus dan harmoni tampak sudah menjadi etos nasional Arab Saudi. Dengan negara-negara tetangganya, Saudi juga menggunakan prinsip-prinsip tersebut. Meskipun, tentu saja, selalu ada kritik-kritik terhadap negeri kerajaan kaya minyak tersebut, terutama dalam 25 tahun terakhir ini. Termasuk hubungannya yang tidak harmonis dengan sebagian tetangganya.
Tetapi harus diakui, hubungan Arab Saudi dengan negara-negara tetangganya relatif berjalan baik, berkat warisan temperamen dan pengalaman Raja Fahd sebagai perunding yang hebat.
Ahli Pasar Minyak
Raja Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud dilahirkan di Riyahd pada 16 Maret 1921 dan wafat di Riyahd pada 1 Agustus 2005 pada usia 85 tahun.
Dalam sebuah tulisannya di Facebook, Ali Musri Semjan Putra Lc.MA, menulis bahwa sejak kecil Fahd menerima pendidikan langsung dari orang tuanya, ikut dalam berbagai peristiwa penting yang dialami orang tuanya dalam mempersatukan Jazirah Arab di bawah kekuasaannya, sehingga kepribadian orang tuanya sangat menonjol tertanam dalam dirinya mulai dari sifat pemurah, tawadhu dan pemberani serta ketangkasan dalam mengatur kekuasaan.
Di samping itu, Fahd muda juga menerima pendidikan dari jalur resmi, pendidikan dasar di Sekolah Kerajaan yang bertempat di Riyadh kemudian melanjutkan ke Ma’had Ilmy (Lembaga Ilmu Islam) di Makkah Al Mukarramah. Setelah itu, dia memperdalam ilmu dengan banyak membaca buku-buku ulama salaf ataupun buku-buku yang berbicara tentang tokoh-tokoh pemimpin dunia di samping ikut menghadiri berbagai pertemuan penting yang dilakukan Raja Abdul Aziz. Begitu pula dalam kepemimpinan kakak-kakaknya. Banyak sekali jabatan penting yang pernah dipangku Pangeran Fahd sebelum dinobatkan menjadi Raja.
Pengalaman Pangeran Fahd dalam pemerintahan sebelum menjadi raja memang panjang. Pada tahun 1953, dalam usia 30 tahun, Fahd dilantik sebagai Menteri Pendidikan oleh ayahnya, Raja Abdul Aziz. Kemudian pada tahun 1962, dia menjadi Menteri Dalam Negeri. Lima tahun kemudian, Fahd menjadi Wakil Perdana Menteri Kedua.
Pada 25 Maret 1975, saat Raja Faisal dibunuh keponakannya dan Raja Khalid naik takhta. Fahd dipilih menjadi Putra Mahkota dan Wakil Perdana Menteri Pertama. Pada masa-masa akhir pemerintahan Raja Khalid, Fahd dipandang sebagai perdana menteri de facto.
Saat Raja Khalid meninggal dunia pada 13 Juni 1982, Fahd pun menjadi penerus takhta. Selama pemerintahannya, Raja Fahd membangun ekonomi Arab Saudi secara besar-besaran dan menjalin hubungan yang erat dengan pemerintah Amerika Serikat. Hubungan erat ini tercatat sangat mencolok saat meletusnya krisis Teluk Persia pada 1990 dan berlanjut dengan Perang Teluk awal 1991 setelah pasukan Irak di bawah Presiden Saddam Hussein menyerbu dan menguasai Kuwait. Ratusan ribu tentara Koalisi Barat di bawah komando militer AS yang disiapkan di Arab Saudi akhirnya berhasil menghancurkan dan menyingkirkan pasukan Irak dari Kuwait.
Dalam masalah hobi, Raja Fahd berbeda dengan para pendahulunya yang menyukai balap onta. Raja Fahd kurang tertarik. Ia lebih menyukai masyarakat cosmopolitan Jeddah yang sopan daripada masyarakat Nejd, jantung Saudi di sekitar Riyadh yang lebih terbuka dan kasar. Waktunya lebih banyak dihabiskan di istananya di Taif, sebelah utara Jeddah.
Perhatikan Muslim Dunia
Ali Musri Semjan Putra, mahasiswa Indonesia yang kuliah gratis di Saudi lebih dari 10 tahun, juga menulis bahwa selama memimpin Saudi, Raja Fahd tidak hanya sangat memperhatikan rakyatnya, tetapi juga kaum muslimin di berbagai pelosok dunia.
Ali Musri memberi contoh, dalam bidang dakwah dan pendidikan tidak ada bandingnya Kerajaan Arab Saudi dengan negara manapun. Pendidikan dan dakwah dari hal yang sekecil-sekecilnya sampai kepada hal yang sebesar-besarnya menjadi perhatian dan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Contoh dalam bidang pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi gratis termasuk buku-buku panduan dibagikan secara gratis. Lebih istimewa lagi, seluruh mahasiswa perguruan tinggi negeri diberi beasiswa paling sedikit 850 riyal setiap bulan. Untuk kegiatan dakwah yang formal seluruhnya ditanggung pemerintah mulai dari fasilitas dan dana.
Sebagai contoh seluruh mesjid operasionalnya atas tanggungan pemerintah mulai dari gaji imam, muazin, kebutuhan listrik dan air. Begitu pula ulama dan para da’i sangat mendapat perhatian khusus dari pemerintah kerajaan dalam hal kesejahteraan mereka. Di antara nikmat yang amat besar bagi rakyatnya adalah bersihnya kehidupan mereka dari segala bentuk praktik kesyirikan, takhayul, khurafat dan bid’ah. Begitu pula badan-badan sosial yang berkecimpung dalam kegiatan dakwah dan kemasyarakatan selalu mendapat sumbangan dan suntikan dana dari pemerintah. “Apa yang kita sebutkan di atas belum secuil dari apa yang dilakukan Raja Fahd untuk rakyatnya,” tulis Ali Musri pula.
Ali Musri pun melukiskan contoh-contoh lain, misalnya bidang sosial dan dakwah. Di sini, pemerintah di masa Raja Fahd mendirikan dan membantu pembangunan mesjid dan musholla serta bantuan fasilitas penunjang seperti karpet dan sajadah di berbagai negara dan kota internasional terutama di negara-negara yang minoritas muslim.
Jumlah mesjid yang dibangun di berbagai belahan benua menurut salah satu sumber lebih dari 1.500 mesjid. Setiap mesjid dilengkapi fasilitas penunjang seperti: tempat wudhu, ruang belajar, pustaka, ruang pertemuan, ruang perkantoran dan lain-lain. Diantara mesjid tersebut adalah:- Masjid Raya Raja Abdul Aziz di Tunisia, Masjid Raya Raja Faishal di Tasyat- Masjid Raya Bamako Mali- Masjid raya Raja Faishal di Ginia Konakre, Masjid raya Yawandy di Kamerun- Masjid Raya Kota Sukudy, Togo, Masjid Raya China di Tibet, Mesjid Raya Raja Fahd di kota Yanovic Rusia, Mesjid Raya Ottawa di Kanada, dan Mesjid Raya Umar bin Khatab di Los Angeles.
Selain itu, Raja Fahd juga mendirikan dan membantu pembangunan madrasah dan pesantren di berbagai negara yang terdapat di pelosok dunia. Pengiriman da’i-da’i ke berbagai negara Islam terutama negara yang berpenduduk minoritas muslim. menurut data Kementerian Urusan Agama Arab Saudi, jumlahnya mencapai 5.000 orang. Sang Raja juga memberi tunjangan kepada da’i-da’i yang tersebar di berbagai negara-negara Islam yang sedang berkembang atau di bawah garis kemiskinan. Mencetak kitab-kitab ulama kemudian membagikannya kepada para ulama dan da’i serta pencinta ilmu di dalam dan luar Arab Saudi.Sepeti kitab Majmu’ Fatawa, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah yang jumlahnya 37 jilid, kitab Al Mughny karangan Ibnu Qudamah yang jumlah 15 jilid dan banyak lagi yang lainnya.
Mendirikan Pusat Kajian Islam (Maktab Jaaliyyat) di berbagai kota dan pelosok Saudi untuk para pendatang dari berbagai negara yang bekerja di Arab Saudi. Terutama di kota-kota industri dan perdagangan seperti Jeddah, Riyadh, Madinah, Jizan, Hail, Yanbuk, Qasim dan lain-lain. Memberi bantuan kepada negara-negara Islam yang sedang ditimpa bencana alam dan peperangan seperti yang baru-baru ini bencana gempa yang menimpa Turki, Iran dan bencana tsunami di Aceh.
Begitu pula bantuan bagi rakyat Afghanistan dan Irak pasca gempuran Amerika. Pengiriman daging kurban pada setiap musim haji ke negara-negara Islam yang berada di bawah garis kemiskinan. Pengiriman bantuan ifthor (buka puasa) di bulan Ramadhan ke berbagai negara Islam serta negara yang minoritas muslim. Begitu pula di sekitar Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah disediakan pula perbukaan bagi para penziarah (umrah).
Bidang Pendidikan:
Peran lain Raja Fahd juga berderet-deret, sulit menghitungnya. Raja Fahd mendirikan sekolah-sekolah tinggi di berbagai negara Islam dan kota internasional terutama negara yang minoritas muslim. Sang Raja juga memberikan beasiswa bagi anak-anak muslim dari berbagai negara Islam dan negara yang minoritas muslim untuk belajar di berbagai perguruan tinggi di Arab Saudi. Jumlah universitas Saudi yang menampung siswa asing sekitar enam universitas. Kita ambil sebagai contoh Universitas Islam Madinah yang merupakan universitas yang jumlah mahasiswa asingnya paling dominan dibanding universitas-universitas lainnya.
Persentasenya mencapai 65% dari 140 negara. Mahasiswa Indonesia menempati urutan kedua setelah Nigeria. Jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di berbagai universitas Saudi lebih kurang sekitar 200 orang pada 2005. Seluruh mahasiswa asing yang belajar di Saudi setiap libur musim panas diberi tiket gratis untuk pulang ke negara mereka masing-masing. “Silakan Anda menghitung berapa besar biaya yang disumbangkan untuk mereka,” kata Ali Musri.
Bagaimana sikap dan tindakan Raja Fahd saat Saddam Hussein menyerbu Kuwait, tak seluruhnya terungkap saat itu. Namun setelah itu, dunia tahu betapa Raja Fahd memang raja yang bijak. Sang Raja menunjukkan kepiawaiannya dalam mengatasi kondisi yang mencekam waktu itu, saat Saddam Hussein ingin melanjutkan agresinya untuk merebut kekuasaan Al Saud.
Selain sibuk menampung para pengungsi dari Kuwait, Raja Fahd juga dihadapkan pada persoalan yang lebih penting yaitu menghadapi agresi Saddam. Seketika itu Raja Fahd meminta fatwa ulama dalam hal meminta bantuan kepada non muslim dalam hal mempertahankan negeri dari kezhaliman saudara yang seagama. Setelah melalui pertimbangan yang begitu matang baik dari segi syar’i maupun siyasah (politik) para ulama mengeluarkan fatwa tentang dibolehkannya meminta bantuan kepada non muslim dalam hal menghentikan kezhaliman yang dilakukan oleh saudara yang seagama.
Apalagi negara tetangga Saudi Arabia waktu itu tidak satu pun yang mendukung kekuasan Al Saud, bahkan mereka memberi bantuan moril kepada Presiden Irak yang nyata-nyata melakukan kezhaliman saat itu.
Sekelompok kecil dari generasi muda menentang kebijakan yang dilakukan Sang Raja berdasarkan fatwa para ulama itu. Ketika itu persoalan bertambah rumit lagi. Saat itu sebagian generasi muda menyebarkan berbagai fitnah terhadap penguasa dan ulama. Namun Raja Fahd menghadapinya dengan pandangan yang jernih tidak membuatnya untuk berbuat sesuatu yang di luar aturan agama.
Setelah Saddam kembali meninggalkan Kuwait, suara-suara sumbang masih terdengar dari sekelompok generasi muda. Raja Fahd dituduh meminta bantuan orang kafir untuk membunuh saudara-saudara seiman.
“Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Raja Fahd meminta bantuan orang kafir untuk menghentikan pembunuhan sesama muslim serta untuk melindungi kekuasaan beliau, satu-satunya negara yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah sebagai simbol Islam yang tegak di muka bumi ini. Kenyataan yang amat mengejutkan adalah justru di balik itu semua terdapat hikmah yang amat besar di antaranya adalah begitu banyaknya tentara Amerika yang masuk Islam,” tulis Ali Musri..
Tentang ini, ada pengakuan menarik salah seorang komandan angkatan perang Arab Saudi. “Saya dan anak buah saya lebih sibuk menghadapi orang-orang Amerika yang ingin masuk Islam daripada menghadapi kemungkinan serangan Saddam,” kata sang komandan yang tak disebutkan namanya itu. (*)