COWASJP.COM – Genap sudah 6 bulan kami tinggal di negeri orang. Negara terindah di dunia - Switzerland tepatnya di kota Lausanne. Kota terbesar ke-5 di Swiss. Masih ingat saat tiba pertama kali Juli tahun lalu (2021) kami mengalami shock culture dengan kehidupan di
sini. Sekarang kami sudah menikmatinya layaknya warga lokal.
Sudah merasakan 3 musim yang berbeda. Dengan keunikan sendiri-sendiri. Musim panas, tidak selalu panas setiap hari. Masih mendung dan hujan deras. Mau menidurkan anak-anak malam hari, tapi matahari masih bersinar dengan cerah. Sampai mereka bingung sudah malam kok masih ada sinar matahari.
Mau sholat Isya harus menunggu larut malam, jam 11 malam. Tapi musim panas ini adalah waktu yang cocok untuk liburan. Menghabiskan waktu dari pagi sampai malam hari dengan nyaman. Kami sudah mengunjungi Interlaken, Lauterbrunen, Wengen, Grindelwald, Jungfrajoch, Gruyeres, Bern, Zurich, dll.
BACA JUGA: Berakhir Tahun di Pusat Belanja Aubonne, Banyak Diskon dan Serba Murah
Musim gugur, yang kata orang Swiss belum dingin, tapi kami sudah merasa kedinginan. Heater di rumah sudah dipasang maksimum hingga ditegur sama pemilik apartemen. Hemat energi katanya. Sudah pakai kaos kaki karena lantai sudah terasa dingin. Hebatnya, seluruh bangunan di Swiss ini sudah didesain untuk tetap mempertahankan suhu di dalam ruangan, meskipun di luar sedang dingin.
Ada teman di Amerika yang berkata kalau sedang musim dingin di dalam rumah pun masih perlu pakai jaket. Meskipun sudah ada heater di dalam rumah. Desain bangunannya belum secanggih di Swiss. Kadang kala suhu sudah mencapai 0 derajat Celcius dan sudah turun salju lebih awal. Ini pertama kalinya kami melihat salju.
Menikmati salju di Lausanne
Musim dingin, dalam bayangan setiap hari akan turun salju. Ternyata matahari masih bersinar cerah di siang hari. Ingin berjemur tapi tetap terasa dingin meskipun sudah pakai jaket lengkap. Kadang kala juga berkabut. Suhu tiba-tiba naik menjadi 11 derajat Celcius. Kami merasa sedikit hangat, sudah sok gaya hehe.
Sekarang kami sudah bisa merasakan saat bepergian keluar rumah. Apabila suhu di atas 5 derajat Celcius tangan hanya berasa dingin. Tidak pakai sarung tangan hanya dimasukkan ke jaket tidak masalah. Tapi kalau sudah di bawah 5 derajat Celcius sudah terasa beku, hingga terasa perih dan wajib pakai sarung tangan. Kami sudah memakai sarung tangan ski yang lebih tebal dan hangat.
Keanehan ini tidak terjadi di tahun sebelumnya, kata teman yang sudah lama tinggal di Lausanne. Iklim yang berubah-ubah ini sangat tidak baik. Climate change juga mempengaruhi Switzerland. Seperti yang dikutip dari berita myswissalps bahwa suhu rata-rata di Swiss meningkat.
BACA JUGA: Liburan Akhir Tahun ke Basel, Kandang Klub Sepakbola Top di Swiss
Gelombang panas akan terjadi lebih sering, sedangkan suhu yang sangat rendah akan menjadi lebih jarang. Glasier es sudah mulai mencair. Hanya pegunungan dengan ketinggian di atas 1.500 meter yang masih tertutup salju. Serta salju akan turun dengan intensitas yang tidak setiap hari.
Selama 6 bulan sudah banyak adaptasi yang kami lakukan. Sudah mulai terbiasa belanja mingguan dan tidak bingung dengan supermarket yang tutup di hari Minggu dan hari besar Natal dan Tahun Baru. Rutin setiap minggu belanja 150 CHF = Rp 2.325.000. (1 CHF : Rp. 15.500) untuk keperluan sehari-hari. Bahan untuk memasak, buah, sayur, cemilan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Meskipun kalau dikurskan hampir 2,5 juta rupiah kami sudah mulai biasa saja. Pemikiran penting sejak tiba adalah jangan mengkonversi harga-harga ke rupiah karena otomatis lebih mahal 3x lipat. Di Indonesia dengan jumlah yang sama bisa untuk belanja bulanan. Tapi perlu dikonversi juga untuk pembaca di Indonesia. Agar memudahkan bagi pembaca, oooh sekian rupiah to.
Bersantai di taman saat musim gugur. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Rute bus dan kereta sudah mulai hapal. Tak perlu setiap saat buka google map karena tujuan kita juga ke situ-situ saja. Udara semakin dingin, mau explore ke tempat-tempat yang jauh juga mulai enggan.
Lebih nyaman di rumah sambil saya mencoba resep-resep makanan dan cemilan. Yang pastinya baru di Swiss inilah saya belajar membuatnya. Mulai dari pepes pindang, perkedel ala bule, jajanan tradisional putu, terang bulan, pastel tutup ayam kentang, dan lain sebagainya sesuai dengan request suami dan anak.
BACA JUGA: Musim Salju Itu Indah, tapi juga Berat, Berjalan pun Susah
Saya tak pernah membayangkan sebelumnya. Sebab di Indonesia biasanya mengandalkan Go Food. Tidak pernah memasak sendiri di dapur. Dan alhamdulillah sekarang sudah mendapatkan pujian dari anak dan suami tercinta kalau masakan mami semuanya enak. Ludes setiap harinya. Alhamdulillah, semakin semangat menghidangkan makanan sehat untuk mereka semua.
Bahasa Prancis yang menjadi bahasa sehari-hari yang sampai sekarang juga belum paham mulai tidak membuat stress. Alhamdulillah bertemu dengan teman-teman baru yang bisa berbahasa Inggris dan juga orang Indonesia yang sudah tinggal lama di sini ataupun sedang sekolah di sini. Tidak punya grup arisan dengan orang Indonesia di sini, tapi tetap keep in touch melalui pesan Whatsapp.
Perbincangan tidak jauh-jauh dari kegiatan anak di sekolah, tempat liburan, makanan, bermain bersama dan kesibukan yang sedang dilakukan. Mereka adalah keluarga terdekat yang kita punya sekarang saat berada di luar negeri.
BACA JUGA: Minoritas Muslim di Eropa Mau Tak Mau Nikmati Kemegahan Natal
Beberapa orang asli Swiss terkenal dengan ketidakramahannya. Cuek bebek. Tidak bersosialisasi dengan banyak orang. Namun kami sangat bersyukur berada di lingkungan yang mendukung. Tetangga di apartemen beberapa kali membuat pesta kecil sehingga kami bisa mengenal satu sama lain.
Orang tua siswa juga ramah, saya mulai berbincang dengan mereka sambil menunggu anak-anak keluar kelas. Bahkan kami sempat diajak mengobrol dengan beberapa orang menggunakan Bahasa Prancis. Sedikit-sedikit kami memahami mereka sedang berbicara apa, namun kami membalas dengan bahasa Inggris. Unik plus membingungkan juga, hehe.
3 cowok kesayangan di rumah. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Overall, orang-orang yang kami temui di Lausanne sangat baik dan ramah. Mereka malah meminta maaf tidak bisa Bahasa Inggris. Padahal harusnya kami sebagai pendatang lah yang harusnya belajar Bahasa Prancis.
Tempat wisata di Swiss yang begitu indah, biasanya hanya dilihat dari gambar google. Memang lebih mempesona saat dilihat dengan mata kepala sendiri. Maha Karya ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa. Akhir tahun semakin banyak turis yang sudah singgah ke Swiss.
Biasanya kami bebas memilih tempat duduk di kereta saat awal musim panas. Sekarang kereta sudah mulai penuh. Sebenarnya tempat wisata di Indonesia juga tidak kalah bagusnya dengan di Swiss. Teman bule yang pernah berlibur ke Indonesia berkata bahwa Indonesia is Wonderful and Beautiful.
Gedung Town Hall yang ada di Basel dengan corak dominasi merah yang terlihat mencolok dibandingkan gedung-gedung sekitarnya juga terlihat biasa saja. Karena di Indonesia kita punya Rumah Gadang khas Sumatera Barat yang memiliki estetika lebih indah. Apalagi dengan kelengkapan wisata Jawa Timur seperti Gunung Bromo, Gunung Ijen di Banyuwangi, tempat wisata anak-anak di Malang-Batu, dan masih banyak lagi yang tersebar di seluruh Indonesia. Tempat wisata ini juga mampu bersaing dengan yang ada diluar negeri. Namun yang memang tidak bisa dipungkiri adalah kebersihan udara, air, transportasi, dan tempat wisata di Swiss ini menjadi hal utama yang terjaga kualitasnya.
Hari ini merupakan hari pertama setelah liburan panjang Natal dan Tahun Baru. Aktifitas anak untuk kembali ke sekolah dengan segala dramanya akan dimulai lagi. Zirco (anak sulung) yang sudah mulai nyaman dengan kegiatan sekolah dan tidak pernah nangis lagi, mulai bertanya kapan masuk ke sekolah lagi? Dia sudah kangen dengan teman, guru, dan juga mainan di sekolahnya. Kurikulum SD kelas 1 (Zirco sekarang) dikemas dengan banyaknya kegiatan bermain. Membuat anak tidak jenuh di sekolah.
Berbeda dengan kurikulum TK A (sekolah Zirco di Indonesia) yang sudah mengharuskan anak bisa menghitung, membaca, dan menulis. Jadi susah mengajak Zirco sekolah online karena sudah teringat punya PR. Tahun ini sangat berat buat Zirco karena dia harus menempuh 2 sekolah (Indonesia dan Lausanne) dalam waktu bersamaan. Namun dengan metode pembelajaran yang berbeda.
BELAJAR MENJADI IBU SEJATI
Pengalaman kehidupan yang benar-benar saya rasakan perbedaannya selama 6 bulan ini adalah menjadi ibu dan istri yang bertanggungjawab penuh dengan kehidupan di rumah. Menjadi wanita karir yang luar biasa mengatur waktu dan mulai menjalankan bisnis dari Swiss di mana produknya sudah kelas dunia yang berpusat di Amerika.
Sebelumnya apakah tidak begitu moms? Bisa dibilang: Tidak. 5 tahun ke belakang saya adalah seorang istri dan ibu yang egois untuk mementingkan pekerjaan. Sebenarnya sifat egois ada di setiap individu ya. Tergantung pilihan menjalankannya bagaimana. Bayangkan saja setiap hari saya sudah berangkat dari Surabaya ke Gresik sejak jam 7 pagi. Sudah dalam kondisi perut kenyang karena ibu tercinta sudah memasak di pagi hari.
Anak belum bangun hingga tidak pernah mengantar dia ke sekolah selama di bangku playgroup. Pulang sudah petang, mungkin sampai Surabaya sudah jam 6 atau 7 malam. Waktu bersama anak hanya di malam hari. Zirco sejak kecil sudah terbiasa tidur jam 11 atau 12 malam karena saking kangennya dengan si ibu. Sedangkan suami juga sedang dinas di Jakarta (1 tahun), Filipina (1,5 tahun) dan di Pandaan tapi baru sampai rumah jam 9 atau 10 malam.
Berbagai resep makanan yang dicoba. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Belum lagi selama WFH sering menitipkan Zirco dan Zygmund ke Eyang Uti dan tantenya karena padatnya jadwal mengajar, rapat, bimbingan bersama mahasiswa, penelitian, pengabdian masyarakat dan lain sebagainya.
Sejak di Lausanne, saya belajar dari 0. Apakah akhirnya sedih dan menyesal moms? Jelas tidak!!! Kami begitu menikmatinya dan yang paling penting adalah Bahagia. Bukan hanya saya saja yang belajar, namun Papi Fariz, Zirco dan juga Zygmund. Zirco sudah mulai belajar makan sendiri, mandi sendiri, dan merapikan kamarnya sendiri. Sedangkan Zygmund juga sudah mulai makan sendiri di atas kursi bayinya. Mengajarkan sejak kecil, bukan berarti tega sekali, tapi untuk belajar mandiri yang sangat penting bagi mereka dewasa kelak.
Para ibu di luar sana, kalian wanita yang luar biasa. Apa pun profesinya dan apa pun kesibukan sehari-hari, tetap kalian hebat di bidang masing-masing. Tak perlu disandingkan dengan ibu lainnya. Karena wanita karir tidak lebih baik dari ibu yang seharian di rumah (full mom). Full mom tidak lebih baik dari ibu yang nyambi berbisnis dan juga sebaliknya.
Menjadi seorang wanita harus menciptakan ruang sendiri, ruang untuk berkarya, ruang untuk me-time, ruang untuk berpendapat dan ruang untuk bahagia akan dirinya sendiri. Keluar sejenak, berjalan di bawah rintikan salju, mengobrol bersama teman di tepi danau yang tenang, berjalan jauh hitung-hitung sambil berolahraga. Merupakan salah satu kegiatan me-time lho. Yuk, jangan terlalu stress membayangkan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Nikmati waktu bersama anak dan keluarga karena sejatinya mereka akan cepat tumbuh besar dan dewasa.(*)