Utak-Atik Sejarah

Jenderal Soedirman dan Letkol Soeharto berperan besar dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.(FOTO: Dok. Pemerintah RI - jernih.co)

COWASJP.COMBARU-BARU ini beredar di Youtube video anggota Komisi 1 DPR RI Fadli Zon. Isinya mengkritisi Keppres 2/2022 tentang penegakan kedaulatan negara. Yang erat kaitannya dengan peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 yang bersejarah. 

Narasi dalam kepres tersebut tidak mencantumkan nama Soeharto, yang selama ini dipandang sebagai pelaku sejarah. Tokoh militer berpangkat Letnan Kolonel waktu itu yang memimpin serangan. Yang disebutkan dalam narasi itu hanyalah bahwa ide serangan datang dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, diperintahkan oleh Jenderal Sudirman, serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan didukung oleh TNI dan laskar-laskar rakyat lainnya. 

Ketiadaan penyebutan nama Soeharto telah menimbulkan polemik di ranah publik. Bagaimanapun Keppres yang menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara erat kaitannya dengan Serangan Umum 1 Maret 1949. Yaitu pendudukan kota Jogja selama 6 jam dipimpin oleh Letkol Soeharto. 

Sejarah SU 1 Maret 1949 sudah diketahui banyak kalangan. Peristiwa ini pernah dua kali dikisahkan dalam tayangan film layar lebar. Pertama dengan judul “Janur Kuning” yang disutradarai oleh Alam Surawijaya. Kedua dengan judul “6 Jam di Jogja” di bawah arahan sutradara terkenal Usmar Ismail. 

Jelas sekali peran Pak Harto sangat besar, meskipun ada beberapa pihak yang menganggap peran penguasa Orde Baru itu terlalu dilebih-lebihkan. Namun tidak ada yang dapat membantah bahwa dialah yang memimpin langsung serangan umum 1 Maret. 

Satu peristiwa yang memberikan gambaran kepada dunia internasional bahwa Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat masih ada. 

Kalau flashback ke tahun 1948-1949, menurut Fadli Zon, Belanda melakukan agresi pertama 1947 dan agresi kedua bulan desember 1949. Tanggal 22 Desember 1949 Mr. Syafruddin Prawiranegara mendeklarasi PDRI di Halaban, Kab. 50 Kota Sumbar. Sehingga sejak 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 ibukota negara adalah Bukittinggi. 

Pada agresi Belanda kedua Bandara Maguo diduduki oleh Belanda dan Bung Karno,  H. Agus Salim, Syahrir ditawan dan dibuang ke Prapat. Bung Hatta dibuang ke Menumbing, Bangka Belitung. Bulan berikutnya Bung Karno dan Haji Agus Salim juga dipindahkan ke Manumbing. 

Otomatis Bung Karno dan Bung Hatta tidak bisa berbuat apa-apa selama periode itu. Karena statusnya adalah tawanan Belanda. Bahkan Bung Hatta ditahan di sebuah rumah yang dilengkapi sel tahanan. 

Tanpa menyatakan setuju atau tidak terhadap narasi Fadli Zon di atas, banyak pihak yang mempertanyakan alasan di balik tidak disebutnya nama Pak Harto dalam Keppres 2/2022. Menjawab persoalan itu, Menkopolhukam Mahfud MD, menjelaskan bahwa Keppres 2/2022 itu tidak beda dengan naskah Proklamasi. Yang hanya mencantumkan nama Soekarno-Hatta. Padahal, kata Mahfud, upaya memerdekakan Indonesia tidak hanya diperjuangkan oleh Soekarno dan Hatta. Tetapi juga oleh puluhan tokoh lainnya yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

sejarah1.jpgTNI merebut kembali Yogyakarta sebagai ibukota perjuangan RI selama enam jam dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 (FOTO: gahetna.nl - historia.id)

Ia menuturkan, hal itu juga berlaku pada tokoh Serangan Umum 1 Maret 1949. Nama mereka yang berperan dalam serangan itu tidak terhapus dari sejarah, meski tidak tercantum dalam Keppres 2/2022. 

Mahfud menjelaskan, Keppres tersebut hanya berisikan tokoh yang berperan sebagai penggagas dan penggerak Serangan Umum 1 Maret 1949. Yaitu Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Panglima Jenderal Besar Soedirman. Sementara, tokoh-tokoh lain yang turut berperan dalam peristiwa itu seperti Soeharto, Abdul Haris Nasution dan Wiliater Hutagalung dicantumkan dalam naskah akademik yang disusun untuk membuat Keppres tersebut.

UTAK-ATIK SEJARAH

Apakah tepat menganalogikan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan Proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945? 

Tapi seorang putera bangsa yang sekarang menetap di Leiden, Negeri Belanda, Prof. Surya Suryadi, ikut menyorot polemik ini. Menurut dia, lepas dari polemik yang sedang terjadi, sebenarnya cukup lucu juga bahwa apa yang terjadi baru terjadi 73 tahun lalu itu seolah merupakan peristiwa yang tidak ada datanya. DIUTAK ATIK SEMAU GUE. Padahal tahun 1940-an adalah zaman yang sudah cukup modern dengan teknologi perekaman peristiwa yang sudah cukup canggih (kamera, film, mesin ketik, mesin cetak, dll.) 

“Bagaimana ini bisa terjadi pada sebuah bangsa?” ungkapnya seperti dikutip dari tulisannya yang tersebar di beberapa WA grup di tanah air dalam beberapa hari ini. 

“Dalam kesempatan ini, saya postingkan beberapa guntingan koran berbahasa Belanda yang terbit pada bulan Maret 1949 dan bulan-bulan sesudahnya. Sampai Presiden Soekarno kembali ke Yogya dari tempat beliau diasingkan oleh Belanda di Prapat/Bangka pada 5 Juli 1949,” lanjutnya.

Menurut dia, koran-koran berbahasa Belanda ini merujuk kepada kantor berita Aneta. Begitu juga koran-koran vernakular berbahasa Indonesia yang terbit pada waktu itu, seperti NASIONAL, KEDAULATAN RAKJAT, MATARAM, SOERJA TJANDRA, PEDOMAN, dan lain-lain. Banyak lagi guntingan koran yang memberitakan Serangan Umum 1 Maret ini 1949 ini, dan situasi selepas serangan itu, yang tidak mungkin dipostingkan semuanya. 

Tanggal 3 Maret, dua hari setelah serangan, beberapa media melaporkan apa yang mereka sebut sebagai “serangan kaum ekstrimis terhadap Djogja”. 

“Pukul 6 pagi tanggal hari Senin 1 Maret 1949, kelompok ekstrimis yang sangat kuat di berbagai tempat di Yogya melancarkan serangan,” demikian laporan koran 'Provinciale Drentsche en Asser courant' (Assen) Kamis 03-03-1949, misalnya. 

Dikatakan bahwa menurut seorang koresponden khusus mereka dari Aneta Yogya yang mewawancarai Kolonel Van Langen, komandan tentara Belanda di Yogyakarta, para 'ekstrimis' ini , menurut sang Kolonel, memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang langgeng.

Serangan Umum 1 Maret sangat mengejutkan pemerintahan kolonial Belanda. Mereka tidak mengira bahwa serangan itu begitu kuat. Sehingga sempat menduduki kota Yogyakarta walaupun hanya selama enam jam. Jenderal Spoor – yang memimpin aksi polisionil atau agresi Belanda kesatu dan kedua di Indonesia – segera mengunjungi Yogya pada 2 Maret. Sehari setelah serangan. Ia tiba pukul 11 pagi dengan pesawatnya sendiri dan berangkat sore hari dengan mobil via Magelang menuju Semarang. Sebelum kedatangan Jenderal Spoor, komisaris pemerintah Angenent, komandan teritorial Jenderal Meyer dan perwira senior lainnya telah tiba dari Semarang dengan pesawat tambahan untuk membahas situasi tersebut. 

Seperti diungkapkan Prof. Surya Suryadi, sejarah SU 1 Maret belum terlalu lama berlangsung. Peralatan yang dapat dipakai untuk mendokumentasikan peristiwa demi peristiwa seputar itu sudah banyak. Karenanya jadi aneh dan lucu bila nama orang-orang yang berperan penting dalam peristiwa SU 1 Maret itu dihilangkan. 

Tak bisa dihindari hal ini melahirkan beberapa pertanyaan: Pertama, alasan bahwa terlalu banyak nama untuk dicantumkan, seperti dikemukakan Menkopolhukam Mahfud MD, apakah tepat? Apalagi menganalogikannya dengan Proklamasi Kemerdekaan RI?

Kedua, kalau memang nama Soeharto tidak dicantumkan karena terlalu banyak pihak lain yang berperan, kenapa nama Soekarno Hatta dicantumkan? Padahal keduanya sudah berstatus tawanan Belanda sejak 19 Desember 1948. Total hampir tiga bulan sebelum dilancarkan SU 1 Maret. Sehingga Soekarno Hatta dapat dikatakan tidak memiliki peran apa-apa dalam serangan itu. Bahkan keputusan Bung Karno untuk ditangkap Belanda sempat membuat jengkel Jenderal Sudirman. Yang sebelumnya meminta Sang Proklamator untuk ikut bergerilya bersamanya. 

Ketiga, kenapa nama Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) juga tidak disebut? Padahal sejak ditawannya Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim dan Syahrir pada 19 Desember 1948, roda pemerintahan diambil alih Syafrudin dengan membentuk PDRI di Halaban, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Dengan menetapkan Bukittinggi sebagai ibukota negara. 

Pembentukan PDRI sendiri cukup unik. Karena Bung Karno dikatakan sempat mengirimkan kawat kepada Mr. Syafrudin sebelum Dwitunggal Soekarno-Hatta ditawan Belanda. Agar Syafrudin membentuk pemerintahan sementara di Sumatera. Dan kawat itu tak pernah sampai alias tidak diketahui Syafrudin. Tapi Syafrudin mengambil inisiatif sendiri begitu mengetahui pucuk pimpinan negara ditangkap Belanda. 

Karenanya SU 1 Maret masih dalam naungan PDRI. Jenderal Sudirman yang terus bergerilya melakukan perlawanan di Jawa memberikan pengakuan terhadap PDRI di bawah Syafrudin Prawiranegara. 

Karenanya, ketika Bung Karno dan Bung Hatta bebas dan kembali ke Yogyakarta, cukup sulit membujuk kedua tokoh itu untuk kembali mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta. Untungnya Syafrudin lebih dulu memperlihatkan kebesaran hatinya, dengan mengembalikan tampuk kekuasaan ke pangkuan Soekarno-Hatta kembali. 

Seluruh kejadian ini tentu patut jadi pelajaran bagi generasi muda bangsa. 

Dengan pengertian mereka harus melek sejarah. Kali ini adalah lahirnya Keppres no. 2/2022 yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Ini adalah kontroversi di antara sejumlah kontroversi lain selama Jokowi berkuasa. Entah kontroversi apa lagi yang akan dilahirkan setelah ini. Wallahu a’lam! (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda