COWASJP.COM – Polri dikritik Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi. Soal kerangkeng manusia milik Bupati (nonaktif) Langkat, Sumut, Terbit Rencana Parangin Angin. Sampai, Edwin mengaitkan itu dengan kalimat Kapolri: "Ikan busuk dari kepalanya."
***
"Kalau kepala tidak mampu bersihkan ekor, maka kepalanya akan saya potong. Itu kata Bapak Kapolri, langsung, pada 27 Oktober 2021," kata Edwin Partogi, selaku Wakil Ketua LPSK, Minggu, 27 Maret 2022.
Edwin berharap, Polri meneliti lagi kasus kerangkeng manusia di Langkat. Edwin ingin Polri menerapkan prinsip 'ikan busuk' yang dinyatakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit itu di kasus kerangkeng manusia di Langkat.
LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) minta keadilan buat para korban tewas, menjadi gila, dan cacat fisik, akibat kerangkeng manusia yang sudah ada sejak 2012 di rumah Terbit Rencana di Langkat.
Jumlah korban, menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, dalam konferensi pers daring, Rabu, 2 Maret 2022, enam orang tewas. "Awalnya kami temukan tiga tewas. Penyelidikan selanjutnya ditemukan tiga tewas lagi. Total enam tewas, untuk sementara ini," katanya.
Korban putus jari tangan, empat orang. Akibat disiksa dengan cara: Tangan korban diletakkan paksa di lantai. Lalu, jari-jari dihajar palu besi. Berkali-kali. Sampai hancur.
Menurut Edwin Partogi, itu kejahatan luar biasa jahat. Bisa disebut sadis parah.
Edwin kepada pers, Minggu (27/3): "Kapolri dan Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) harus evaluasi Polda Sumatera Utara, terkait penanganan kerangkeng manusia di Langkat. Penanganan oleh Polda Sumut, apakah sudah cerminkan presisi Kapolri, atau tidak?"
Dilanjut: "Saya teringat pernyataan Kapolri pada 27 Oktober 2021, ikan busuk dari kepalanya. Lalu kalau tidak mampu bersihkan ekor kepalanya saya potong."
Karena, polisi sudah menetapkan delapan tersangka. Termasuk anak sulung Terbit Rencana Parangin Angin, yakni Dewa Perangin Angin. Tapi, delapan tersangka itu, semua tidak ditahan.
Soal delapan tersangka tidak ditahan, pihak Polda Sumut punya argumen, begini:
Direktur Kriminal Umum, Polda Sumut, Kombes Tatan Dirsan Atmaja kepada wartawan, Sabtu, 26 Maret 2022, mengatakan:
"Alasannya, yang pertama: Pada saat pemanggilan kedelapan tersangka untuk kita lakukan interogasi awal, bersama PH-nya (Penasihat Hukum) mereka kooperatif. Yang kedua, pada saat kita lakukan pemeriksaan sebagai saksi, kedelapan tersangka tersebut hadir dan kemarin rekan-rekan juga menyaksikan kedelapan tersangka tersebut hadir pada saat kita panggil di tanggal 25 kemarin."
Alasan nomor satu dan nomor dua, hampir sama.
Sebaliknya, Edwin Partogi membandingkan perkara hukum itu, dengan perkara hukum yang lain. Begini:
"Kasus penipuan, yang tidak menyebabkan orang luka, atau sakit jiwa, atau tewas, tersangka ditahan. Kok, ini kekerasan sampai mencabut nyawa, memutuskan jari tangan, tidak ditahan? Apakah ini standar Polri yang baru sejak Presisi?"
Edwin tidak membandingkan kasus penipuan itu sebagai kasus Binomo, yang kini ditangani Polri. Tidak. Tapi, ini kritik paling keras pihak LPSK terhadap Polri. Dinyatakan terbuka kepada pers. Tertuju ke Polda Sumatera Utara.
Temuan kerangkeng manusia berjeruji besi itu bermula dari penggerebekan Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Parangin Angin. Terbit dikejar Tim KPK, atas kasus korupsi. Terbit sudah ditangkap, jadi tersangka, ditahan KPK.
Saat penggerebekan itulah Tim KPK menemukan ada dua kerangkeng manusia di rumah tersebut. Berisi manusia. Penghuni kerangkeng ternyata pegawai kebun sawit milik Terbit.
Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin Angin. (FOTO: Instagram/diskominfo_langkat - suara.com)
Rabu, 26 Januari 2022, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri menerangkan kepada pers, KPK fokus menangani kasus korupsi Terbit. Hanya kebetulan, menemukan kerangkeng manusia di situ.
Ali Fikri: "Karena, itu (kerangkeng manusia) bukan bagian dari perkara yang kami selidiki. Soal itu (kerangkeng) dikoordinasikan dan menjadi kewenangan kepolisian."
Soal kerangkeng, kemudian diusut polisi.
Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan kepada pers menjelaskan, kerangkeng manusia di rumah Terbit, awalnya digunakan sebagai tempat rehabilitasi narkoba. Itu sesuai keterangan penjaga kerangkeng.
Kemudian, jadi penampungan pegawai kebun sawit milik Terbit di sekitar situ.
Dari catatan penjaga kerangkeng, ada 48 orang tinggal di kerangkeng. Namun waktu diselidiki polisi ditemukan 30 orang penghuni dua kerangkeng. Masing-masing kerangkeng ukuran sekitar 3 X 5 meter di belakang rumah Terbit.
Sejak itu heboh. Kemudian kasusnya ditangani Polda Sumut.
Ternyata ada lima oknum polisi yang diduga terlibat soal kerangkeng. Lima oknum polisi dari Polda Sumut itu sudah diperiksa oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
DESAIN GRAFIS: detik.com
Lima oknum polisi, yakni Aiptu RS, Bripda ES, Briptu YS, AKP HS, dan Bripka NS. Mereka punya peran di kerangkeng manusia. Termasuk menganiaya penghuni kerangkeng.
Tapi, keterlibatan lima oknum itu sudah dibantah Polda Sumut, begini:
Dirkrimum Polda Sumut, Kombes Tatan Dirsan Atmaja kepada pers, Sabtu (26/3) mengatakan:
"Saya sampaikan kembali, secara aktif tidak ada. Secara aktif. Karena kami sudah tiga kali melakukan pemeriksaan terhadap lima anggota kami, yang diduga ikut terlibat dengan kerangkeng tersebut."
Dilanjut: "Dari lima (oknum polisi) tersebut, satu berpangkat Pama (Perwira Pertama). Yang bersangkutan tidak pernah masuk atau menghampiri atau mengunjungi kerangkeng tersebut."
Tiga anggota polisi lainnya yang diperiksa. Mereka dulu sebagai LO (liaison officer) Terbit Rencana, sewaktu masih calon bupati Langkat. "Tiga anggota kami dipermintakan bantuan sebagai LO," sebut Tatan.
Dilanjut: "Satu dari tiga anggota tersebut, satu kali mencuci kendaraan karena di belakang itu ada sungai, ada kolam sehingga dia mencuci kendaraan di situ (dekat kerangkeng)."
Satu polisi lainnya, adalah warga di tempat kerangkeng itu. Ia merupakan kerabat Terbit Rencana Parangin Angin. "Jadi, semuanya tidak terlibat soal kerangkeng," kata Kombes Tatan.
Dugaan keterlibatan oknum polisi ini, termasuk yang disoal Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi. Agar Polri meneliti lagi.
Edwin: "Sepanjang saya melakukan advokasi terhadap korban kekerasan selama kurang-lebih 20 tahun, saya belum pernah menemukan kekerasan sesadis ini. Kapolri dan Kompolnas harus evaluasi Polda Sumatera Utara."
Kritikan Edwin bakal membuat Polri terus membenahi diri. Menjadi lebih baik lagi dalam menangani perkara. (*)