COWASJP.COM – Demo 11 April 2022 dinilai banyak pihak sebagai: Bagus. Tertib, tidak rusuh. Kecuali pengeroyokan terhadap Dr Ade Armando. Menko Polhukam, Prof Mahfud MD pun memuji: "Bagus. Nyaris tanpa insiden."
***
Mahfud dalam keterangan pers, Selasa (12/4): "Kita bersyukur bahwa aksi unjuk rasa sebagai bagian dari penyaluran hak politik di dalam negara demokrasi yang kita sepakati kemarin 11 April 2022 sudah berjalan dengan aman, lancar, dan dapat dikatakan tidak ada insiden yang berarti."
Dilanjut: "Saya berterima kasih kepada aparat yang bekerja keras di lapangan. Ada Pak Kapolri bersama Kapolda, Kepala BIN dan seluruh jajarannya yang telah berhasil memetakan situasi, sehari sebelumnya. Termasuk rute dan jumlah peserta, yang hampir akurat dari yang dilaporkan sebelumnya."
Dari pernyataan Mahfud, tampak bahwa Polri dibantu BIN (Badan Intelijen Negara) sudah menggunakan metode modern mengatasi demo.
Ciri metode pemolisian modern menghadapi demo, dilakukan polisi di demo 11 April 2022.:
1) Polisi tidak represif.
2) Utamakan dialog dengan pendemo.
3) Pemisahan massa.
Memisahkan karakter massa. Massa yang diprediksi beringas, dipisahkan dengan yang tertib.
1) Polisi tidak represif. Kecuali penyemprotan water cannon dan gas air mata di pintu gerbang Gedung DPR RI pada sekitar pukul 15.40. Sebab, massa mulai beringas, berupaya merobohkan pintu gerbang besi.
2) Komunikasi. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pukul 15.00 berdiri di atas mobil komando. Berbicara kepada pendemo, menggunakan pengeras suara.
3) Pemisahan massa. Dilakukan sekitar pukul 14.00. Massa dari Tugu Tani, digiring ke arah selatan, agar tidak ke Istana Negara di utara. Arus massa kemudian mengarah ke Gedung DPR.
Tiga cara itu, ada dalam buku Arrested Development (2014) karya David C. Couper. Teknik polisi menghadapi demo, yang disebut Model Madison.
David C. Couper adalah komandan polisi di Madison, Wisconsin, Amerika Serikat (AS) 1973 - 1993. Model Madison digunakan polisi di AS, selalu sukses. Terakhir digunakan untuk mengatasi demo besar-besaran di Amerika, pasca kematian George Floyd yang dibunuh polisi kulit putih, Derek Chauvin, setahun lalu.
Penanganan demo yang soft seperti Model Madison, dihargai masyarakat di berbagai negara. Termasuk Indonesia. Walaupun model ini tidak selalu sukses di lapangan.
Dikutip dari The Marshall Project, 14 Mei 2015, Model Madison digunakan juga di Jerman. Prof Anne Nassauer, profesor sosiologi di Freie Universität di Berlin, Jerman, telah mempelajari bagaimana Departemen Kepolisian Berlin menangani demo dan pertandingan sepak bola.
Dia menemukan bahwa salah satu elemen kuncinya adalah komunikasi yang transparan. Menurut Prof Nassauer, itu membantu meningkatkan kepercayaan pendemo terhadap polisi. Juga meredakan momen yang berpotensi menegangkan.
Prof Nassauer: "Polisi Berlin mempekerjakan orang secara khusus untuk berdialog dengan pendemo. Menggunakan pembicara dengan aksen lokal atau bahasa yang sesuai dengan budaya pendemo. Polisi juga menggunakan semacam lembaga public relation untuk publikasi."
Menurutnya, polisi Jerman sangat sering menggunakan Model Madison, atau yang mirip dengan Model Madison. Bisa jadi, polisi mempelajari teori ini, atau kebetulan metode mereka mirip dengan Model Madison.
Mayoritas demo di Jerman bisa diatasi polisi tanpa kekerasan. Demo berakhir damai dan aman.
David C. Couper penulis buku Arrested Development. (FOTO: amazon.com)
Di Amerika, ternyata tidak semua polisi mempercayai model ini. Dikutip dari media yang sama, Komandan polisi di Long Beach dan Oakland, California, serta Baltimore, Anthony Batts, mengatakan:
“Karakter kerumunan tidak bisa diprediksi. Di suatu saat mereka tenang. Di saat lain, mendadak beringas. Ketika mereka terlalu agresif, Anda harus mengatasinya. Tentu dengan sedikit kekerasan."
Batts adalah komisaris polisi selama bentrokan keras antara polisi dan pendemo yang mengikuti kematian Freddie Gray, pemuda kulit hitam usia 25 yang tewas di tangan polisi kulit putih pada 2015. Gray tewas di tahanan polisi Baltimore.
Demo protes terhadap polisi, adalah perkecualian. Yang tidak bisa menggunakan Model Madison. Sebab, polisi berhadapan langsung dengan pendemo yang marah terhadap polisi.
Akibatnya, unsur komunikasi tidak bisa diterapkan. Seumpama dipaksakan polisi berkomunikasi dengan massa, diperkirakan massa bakal lebih marah. Sehingga polisi memilih posisi defensif.
Di Indonesia, meski tampaknya Polri menggunakan Model Madison, tapi massa di Jakarta spesifik. Beda dengan umumnya di kota lain.
FOTO: uk.bookshop.org
Pada demo 11 April 2022, selain insiden Ade Armando, ada juga polisi dikeroyok massa. Namanya AKP Rudi Wira, dari Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Pada sekitar 17.30 ketika massa demo berangsur bubar, AKP Rudi mengurai lalu lintas di jalan tol dalam kota.
Mendadak, AKP Rudi dihajar beberapa pendemo yang berjalan di jalan tol. Saat itu Rudi bersama Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Sambodo Purnomo Yogo. Cuma, jarak antar mereka agak jauh. Ketika Rudi dikeroyok massa, Sambodo tidak melihat.
Sambodo: "Beruntung, nyawa AKP Rudi diselamatkan serombongan mahasiswa yang melawan para pengeroyok Rudi."
Dilanjut, jelang senja Pos Polisi Pejompongan hangus dibakar massa. Tanpa sebab. Para pelaku adalah peserta demo. Sampai Selasa (12/4) malam, 17 orang terduga pelaku ditahan di Polda Metro Jaya.
Karakter pendemo Jakarta: Massa menunggu petugas lengah, lalu bikin rusuh. Seperti halnya, pelaku yang pertama kali memukul Ade Armando, tampak di video yang beredar, pelaku memukul kepala Ade dari arah belakang.
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko mengatakan: "Pengeroyok Ade Armando orang-orang pengecut."
Karakter massa seperti ini, mungkin tidak cocok menggunakan Model Madison. Meskipun kelihatan demo berjalan damai, tapi ada beberapa insiden. Pembakaran kantor polisi, bukan kejahatan biasa. Itu pembangkangan. (*)