COWASJP.COM – Jalur Puncak, Cisarua, Bogor, macet total, Kamis (5/5/2022). Kendaraan merayap. Masih lebih cepat orang jalan kaki dibanding naik mobil. Bukankah kondisi ini terprediksi? Mengapa orang tetap rekreasi ke sana?
***
Pertanyaan klise, yang selalu jadi pertanyaan polisi, pengatur lalu lintas. Tapi, tidak ada yang menjawab. Sehingga tidak ada solusi. Terulang lagi, terulang lagi.
Baiknya, kita kutip pikiran wisatawan ke Puncak. Yang diwawancarai wartawan on the spot, Kamis, 5 Mei 2022.
Wisatawan yang diwawancarai harus yang kira-kira mewakili mayoritas orang yang memadati jalur Puncak. Kriterianya: Bukan orang kaya, karena jumlah golongan ini sedikit. Juga bukan terlalu miskin, yang tentunya tak mungkin rekreasi.
Muhamad Ruslan (45) warga Karawaci, Tangerang, Banten. Ia bermobil bersama isteri, dua anak, dan sepasang mertua.
Kepada wartawan, Ruslan menceritakan, ia bersama rombongan keluarga berangkat dari rumah di Karawaci sekitar pukul 02.00 WIB. Berarti ia paham, jalan pasti macet. Bahwa hanya dini hari jalanan tidak macet.
Apakah lalu lintas lancar? "Tidak macet, tapi jalanan sudah ramai," katanya. Bayangkan, jam segitu sudah ramai. Mobilnya lewat Jalan Tol Jagorawi.
Jarak Karawaci - Megamendung, Puncak, berdasar Google Map 109 kilometer. Dengan waktu tempuh bermobil, tanpa macet, 2 jam 14 menit.
Ruslan tiba di Jalan Raya Puncak Gadog KM.90, Tugu Selatan, Cisarua, pukul 05.00 WIB. Atau, waktu tempuh tiga jam. "Kami bisa salat Subuh di Masjid At-Ta'awun," ujarnya.
Mengapa Ruslan pilih ke Puncak yang jelas macet? "Ya... rekreasi. Kalau macet di mana-mana hari gini (pasca Lebaran) pasti macet di mana-mana," jawabnya.
Dilanjut: "Semua tempat wisata pasti macet. Mau ke Palabuhanratu, Pantai Anyer, pastinya macet juga. Sama saja kan. Ya tinggal pilih saja, mau macetannya di mana."
Itulah jawaban wisatawan. Mereka sadar, di semua tempat rekreasi pasti jalanan macet. Ruslan pilih terjebak macet di Puncak.
Apa yang dilakukan Ruslan sekeluarga? "Dari tadi nggak ke mana-mana. Di sini saja, istirahat. Ke masjid, ke warung, makan. Anak-anak senang, bisa main. Terus, mau keluar kejebak one way."
Polantas memberlakukan one way. Dibuka satu jalur. Pagi hingga sore hanya jalur dari arah Jakarta ke Puncak. Sore sampai malam sebaliknya.
Ruslan sekeluarga bergerak pulang, saat one way menuju arah Jakarta, pukul 14.00 WIB. Lalu lintas padat merayap. Mereka tiba di rumah pukul 21.00 WIB. Atau tujuh jam dari saat berangkat dari Puncak.
Apakah gerakan itu setimpal dengan hasil? Apa hasilnya?
Sekilas, kelihatan tanpa hasil. Tapi itulah rekreasi. Anak-anak senang bisa main. Berarti ada hasil psikologis yang tak terlihat mata.
Suasana rekreasi keluarga di Gunung Mas, Puncak, Kabupaten Bogor, Rabu (4/5/2022). (FOTO: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Psikolog Amerika, Stuart L. Brown dalam bukunya "Play. How It Shapes the Brain, Opens the Imagination, and Invigorates the Soul" (2009) menyatakan, rekreasi dan bermain, kebutuhan dasar semua manusia. Bahkan pada semua hewan.
Tanpa rekreasi dan bermain, dalam kurun waktu tertentu, manusia bakal stress. Kalau stress dibiarkan, bisa naik status jadi depresi. Kalau sudah depresi, aneka organ tubuh terganggu fungsinya.
Di buku itu yang menarik adalah riset Brown pada binatang. Soal rekreasi dan bermain. Yang menurutnya, semua hewan membutuhkan rekreasi dan bermain.
Riset dilakukan awal November 1995 di Pantai Teluk Hudson, sebelah timur Churchill Manitoba, Kanada. Kebetulan, Brown jadi produser program televisi Play, the Nature of the Game for Explorer. Maka, pembuatan filmnya sekaligus jadi riset.
Di bagian kisah inilah, buku karya Brown itu jadi sangat terkenal. Di situ ia membuktikan, bahwa hewan juga butuh rekreasi dan bermain.
Seekor anjing laut muda, sendirian di pantai itu. Ia diintai seekor beruang es dewasa. Tinggi beruang sekitar 2,5 meter, berat sekitar setengah ton. Mengintai anjing pada jarak 50 meter.
Anjing tahu diintai, tapi ia tidak melarikan diri. Mungkin ia mengkalkulasi, seumpama kabur, pasti tertangkap. Karena di pantai terbuka. Tapi belum tentu juga begitu. Pokoknya, anjing itu diam di tempat.
Syuting untuk program TV dimulai. Action.....
Beruang mendekati anjing. Langkahnya berat, tapi lebar, sesuai besar tubuhnya.
Kru TV menduga, bahwa beruang itu lapar. Sebab, ini awal musim dingin di sana waktu itu. Laut belum membeku. Kebiasaan beruang, memangsa anjing laut (untuk dimakan) di saat laut mulai membeku. Saat anjing terjebak.
Maka, semua orang yang mengintai adegan tersebut, yakin bahwa anjing itu pasti mati dimangsa beruang. Bahkan, gestur anjing itu pun sudah kelihatan pasrah.
Beruang-anjing akhirnya berhadapan. Face to face. Jarak mereka sekitar 1,5 meter. Tinggal seterkaman.
Beruang menatap tajam pada anjing. Sebaliknya, anjing menunduk. Pada detik-detik kritis itu, ekor anjing mengibas pelan. Makin lama, kibasan makin cepat. Tidak ada yang tahu, simbol apakah itu.
Alamak... Suatu keajaiban terjadi.
Buku tulisan Stuart Brown, MD. psikolog Amerika Serikat. (FOTO: Goodreads)
Tahu-tahu, beruang meloncat-loncat. Seirama dengan kibasan ekor anjing. Wajah beruang tak lagi galak. Sepertinya gembira. Ia terus meloncat-loncat.
Tak butuh lama, anjing segera ikutan meloncat-loncat. Mengimbangi ritme loncatan beruang. Sambil meloncat-loncat, mereka sama-sama bergeser, membentuk gerakan melingkar. Persis seperti manusia berdansa.
Sekitar sepuluh menit mereka begitu. Indah sekali. Damai.
Lalu terjadilah ini: Beruang dan anjing sama-sama menggigit. Menggigit menarik bulu, satu sama lain. Tapi, bukan dalam gerakan buas. Rupanya mereka bergurau. Gurau gaya hewan. Itu terjadi sekitar lima menit.
Kemudian beruang dan anjing berpisah begitu saja. Tanpa ada yang terluka. Bahkan, mereka kelihatan happy.
Dr Brown menyimpulkan, jelas bahwa beruang itu lapar. Kelihatan dari gayanya saat mendekati calon mangsa.
Brown dalam bukunya: "Beruang bisa dengan mudah melahap anjing itu untuk menutup rasa laparnya. Tapi, ada dorongan lain yang lebih kuat yang ia lakukan. Keinginan yang lebih besar daripada kelangsungan hidupnya sendiri: Bermain."
Kisah nyata hasil riset ini bisa saja bersifat subyektif, dalam perspektif manusia (Brown). Tapi jangan salah, Brown juga pakar gelagat hewan. Ia juga konsultan National Geographic bidang hewan, selama setahun sampai Desember 1994.
Kendati, buku itu lebih banyak mengulas, bahwa manusia membutuhkan rekreasi dan bermain. Kejadian beruang itu hanya pelengkap, yang kebetulan mendukung teori Brown.
Maka, jika warga Jabodetabek berbondong-bondong ke Puncak, pasca Lebaran, jangan disalahkan. Itu bagian dari rekreasi dan bermain. Tidak peduli jalanan sangat macet.
Ibarat beruang, lebih baik kelaparan daripada tidak rekreasi. Atau bagi Ruslan, lebih baik bermacet-macetan daripada terserang depresi. (*)