COWASJP.COM – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui, citra Polri merosot dari 76 persen jadi 54 persen. "Begitu ada peristiwa Sambo merosot drastis," katanya di Kompas TV, Kamis (8/9).
***
JENDERAL Listyo bersikap sangat terbuka dalam manajemen krisis. Jarang ada Kapolri mengakui kemerosotan citra. Keterbukaan juga ia paparkan saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, 24 Agustus 2022.
Kapolri mengatakan, peristiwa penembakan yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, jadi pukulan berat untuk Polri.
Diungkap, saat ia menjalani fit and proper test di DPR RI sebagai calon Kapolri, citra Polri di angka 74 persen.
Kemudian, ia melaksanakan berbagai program transformasi Polri usai dilantik menjadi Kapolri. Paling menonjol, jargon Presisi (prediktif, responsibilitas, transparansi). Isinya 16 program.
Hasilnya, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri naik menjadi 76 persen.
Listyo: “Angka naik ke 76 persen itu pekerjaan berat. Dan ini dilakukan oleh kita semua, dari atas sampai bawah bareng-bareng."
Dilanjut: “Begitu ada peristiwa Sambo, turunnya luar biasa. Jadi 54 persen, dan ini pukulan buat kita."
Kemudian, Polri berupaya keras menangani kasus Sambo. Awalnya, sangat berat. Karena ada rekayasa oleh Sambo. "Waktu itu penyidik sampai takut pada Sambo. Karena ada semacam ancaman," kata Kapolri. Sehingga penyidikan sangat sulit.
Kondisi berubah setelah Kapolri membentuk Tim Khusus internal. Melibatkan pihak eksternal: Komnas HAM dan Kompolnas.
Dibarengi mutasi 24 anggota Polri yang diduga membantu rekayasa Sambo. Sebagian ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Disusul kemudian menetapkan Bharada Richard Eliezer sebagai tersangka (semula cuma saksi).
Akhirnya, Bharada Eliezer mengubah kesaksian. Dari semula mendukung skenario rekayasa Sambo, berbalik jadi mengungkap keterlibatan Sambo.
Eliezer dua kali diperintah menghadap Kapolri. Pertama, saat ia bersaksi mendukung skenario Sambo. Kedua, setelah ia berbalik arah, cerita kejadian sebenarnya. Akhirnya, Sambo ditetapkan jadi tersangka.
Data kemerosotan citra Polri berbasis survei Indikator Politik Indonesia. Disampaikan Direkturnya, Burhanuddin Muhtadi.
Burhanuddin memaparkan hasil survei Bertajuk Persepsi Publik terhadap Kasus Sambo: Antara Penegakan Hukum dan Harapan Warga, yang dilakukan secara virtual, Kamis 25 Agustus 2022.
Burhanuddin: "Efek kasus Sambo, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri memang turun. Namun, setelah Sambo ditetapkan sebagai tersangka, tingkat kepercayaan publik meningkat menjadi 54,4 persen."
Itu hasil survei Indikator Politik Indonesia periode 11-17 Agustus 2022. Jumlah sample 1.229 responden. Dalam wawancara melalui telepon.
Selama proses awal pengusutan kasus Sambo, masyarakat memperhatikan. Tercatat 73 persen responden menyimak proses Polri menangani kasus Sambo. Tentu, dari berita media massa.
Burhanuddin: "Sebanyak 65,7 persen masyarakat percaya dengan pernyataan Kapolri, bahwa Kepolisian akan mengusut tuntas kasus Sambo dengan transparan, objektif dan bisa dipertanggungjawabkan."
Itu sebelum Ferdy Sambo ditetapkan jadi tersangka. Tapi, sesudah dibentuk Tim Khusus.
Setelah Sambo jadi tersangka, kepercayaan publik naik jadi 54,4 persen.
Jika dibanding dengan hasil kinerja awal Kapolri Listyo yang 76 persen, terjadi kemerosotan 21,6 persen, akibat kasus Sambo. Yang tentunya sulit dikembalikan seperti semula. Perlu kerja keras anggota Polri.
Paparan Burhanuddin itu tidak lengkap jika tidak dikomparasi dengan pendapat akademisi. Dosen Jurusan Komunikasi, Universitas Brawijaya (UB) Malang, Rachmat Kriyantono kepada pers, Rabu 17 Agustus 2022, mengatakan:
Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi. (FOTO: Ari Saputra/detikcom)
"Polri sudah lama bercitra kurang baik. Kasus Sambo membuat citranya semakin jelek.”
Dilanjut: "Ada ungkapan satire di masyarakat. Misal, kehilangan ayam jika melapor polisi bisa kehilangan sapi. Ini tanda citra Polri jelek."
Rachmat tidak menyangkal hasil riset yang menyebutkan citra Polri pada level 76 persen, sebelum kasus Sambo. Karena itu hasil riset. Tapi, kejadian pembunuhan Yosua, membuat pola anggapan masyarakat terhadap Polri yang semula sudah kurang bagus, menjadi tidak bagus.
Rachmat: “Jadi, kasus pembunuhan Yosua itu bukan yang membuat citra Polri negatif. Bukan. Karena, sampai kini citra negatif Polri sudah sangat melekat."
Pendapat Rachmat cenderung membangun Polri. Bersifat mengingatkan. Tidak membuat Polri terlalu terlena oleh pujian, bahwa hasil riset menyatakan, publik percaya terhadap kebijakan Kapolri dalam mengusut kasus Sambo (65,7 persen).
Kenyataannya, masih ada kebijakan Polri dalam pengusutan kasus Sambo yang tidak transparan. Menimbulkan tanda tanya di masyarakat.
Misal, terbaru soal lie detector (tes kebohongan). Sudah dilakukan Polri dalam tiga gelombang. Terhadap para tersangka kasus ini.
Gelombang pertama, lie detector terhadap tiga orang: Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Makruf. Hasil tes kebohongan terhadap tiga tersangka itu, diumumkan Polri: Semuanya jujur.
Gelombang ke dua, lie detector terhadap Putri Candrawathi (isteri Sambo) dan asisten rumah tangganya, Susi. Dilaksanakan di Laboratorium Forensik Polri di Sentul, Bogor, Selasa, 6 September 2022. Polri menyatakan, hasilnya akan diumumkan esoknya, Rabu, 7 September 2022.
Tapi kenyataannya, kosong. Kamis, 8 September 2022 Polri mengumumkan, hasil lie detector Putri Candrawathi dan Susi, tidak bisa diumumkan. Sebab, hal itu masuk pro justitia. Akan diungkap di persidangan.
Pro justitia adalah istilah dalam kamus hukum, yang berkaitan dengan proses penegakan hukum.
Tidak perlu merinci definisi pro justitia, tampak ada perbedaan perlakuan. Antara hasil lie detector terhadap Eliezer, Ricky dan Kuat Makruf di satu sisi, dengan hasil lie detector Putri dan Susi di sisi lain.
Kalau hasil lie detector itu masuk pro justitia, mengapa hasil gelombang pertama diumumkan? Sedangkan, gelombang ke dua masuk pro justitia?
Gelombang ke tiga, lie detector terhadap Ferdy Sambo pada Kamis, 8 September 2022. Belum diumumkan.
Dalam kasus yang mendapat perhatian besar dari masyarakat ini (kasus Sambo), keputusan apa pun diperhatikan masyarakat. Perbedaan kecil pun dipertanyakan. Polri harus terus berjuang meningkatkan kepercayaan publik. (*)