COWASJP.COM – Dugaan KDRT Lesti Kejora jadi polemik. Lesti lapor polisi, dia dibanting suami, Rizky Billar. Sebaliknya, Rizky melalui pengacara, mengatakan, Lesti kebanting, bukan dibanting. Lalu, benarkah terjadi KDRT?
**
KASUS ini unik. Polisi sudah punya alat bukti hukum KDRT, yakni visum et repertum, juga rekaman CCTV. Juga pemeriksaan tiga saksi. Status perkara juga sudah naik, dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Tapi, belum ada tersangka. Status Rizky, sampai Jumat (07/10) malam, masih saksi. Sehingga terjadi-lah polemik antara pelapor dengan terlapor.
Lesti kepada polisi menyatakan, dia dibanting Rizky. Sebaliknya, Rizky melalui pengacara Ede Erpil, menyatakan, Lesti kebanting sendiri, saat mengejar Rizky di kamar mandi rumah mereka, di Cilandak, Jakarta Selatan.
Ada dua laporan Lesti kepada polisi yang ditepis Rizky. Pertama, soal dicekik dibanting. Kedua, dilempar bola biliar tapi meleset. Semuanya dibantah Rizky, bahwa itu tidak benar.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes E Zulpan, kepada pers menjelaskan, Lesti Kejora melapor ke Polres Jakarta Selatan. Bahwa Lesti dicekik dan dibanting Rizky Billar dua kali pada Rabu, 28 September 2022.
Cekik-banting pertama terjadi pukul 01.51 di kamar. Sampai Lesti jatuh ke lantai. Cekik-banting ke dua pada pukul 09.47 di kamar mandi rumah mereka.
Ada hasil visum yang sudah dipegang polisi. Ada rekaman CCTV dipegang polisi. Lesti juga dirawat di RS dengan diagnosis, tulang leher bergeser.
Kedua, sebelum cekik-banting, Lesti dilempar bola biliar oleh Rizky Billar. Kombes Zulpan mengatakan: "Korban dilempar bola biliar, ke arah kepala korban, tapi meleset, karena saat melempar, Rizky Billar kepeleset. Ada rekaman videonya juga."
Sebaliknya, pengacara Rizky, Ede Erpil, kepada pers di Polres Jakarta Selatan, Kamis (6/10) membantah semua laporan Lesti ke polisi. "Tidak benar, semua itu," ujarnya.
Ede Erpil: "Klien (Rizky) sudah saya tanya: Apa benar Lesti dibanting-banting? Jawab beliau: Tidak benar, Bang. Saya juga sudah tanya ke Dede. Lesti bilang juga bukan dibanting, melainkan kebanting."
Apakah Rizky melempar bola biliar? "Oh nggak. Bola biliar mau dilemparkan, tapi tidak dilemparkan. Saya sudah tanya sama Rizky tadi. Tidak benar itu. Cuman gertak." kata Ede Erpil.
Dilanjut: "Antara Rizky dengan Lesti sudah baikan. Mereka ketemu saat Lesti di rumah sakit. Berpelukan."
Rizky sudah dipanggil polisi untuk diperiksa sebagai saksi di Polres Jakarta Selatan, Rabu (5/10) tapi Rizky tidak hadir. Alasannya, trauma psikologis akibat diejek warganet terkait pemberitaan kasus ini.
Jadi, KDRT antara ada dan tiada. Polisi belum menetapkan tersangka. Meski alat bukti hukum sudah cukup (berdasar KUHAP, minimal dua alat bukti yang kuat).
Terus, apakah perkara ini bakal dihentikan, meski statusnya sudah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan? Jawabnya, tergantung hasil penyidikan polisi.
Sedangkan penyidikan polisi, jika sudah dinyatakan terbukti KDRT, masih juga tergantung pada pelapor (Lesti Kejora). Dilanjut atau tidak. Seandainya pelapor mencabut laporan, lalu berdamai, perkara ditutup. Sebab, KDRT tergolong delik aduan.
Pasal 75 KUHP menyatakan, bahwa penarikan kembali pengaduan atas suatu delik, dapat dilakukan paling lambat tiga bulan setelah diajukan (dilaporkan). Apabila tenggat waktu terlampaui, maka pencabutan aduan tidak bisa lagi dilakukan.
Lesti punya hak menghentikan perkara.
Sungguh rumit. Konflik suami-isteri, suatu cobaan hidup berat bagi para pihak. Apalagi, Rizky-Lesti sudah dikaruniai anak, Muhammad Leslar Al-Fatih Billar. Kini usia delapan bulan.
Seumpama, Lesti meneruskan perkara ini, hampir pasti mereka bercerai. Hak asuh anak, hampir pasti jatuh pada ibu. Apalagi KDRT ayah terhadap ibu.
Setelah cerai, status Lesti janda. Status yang dihindari wanita, jika tidak karena sangat terpaksa.
Seandainya, Lesti menghentikan perkara ini, mungkin dia juga ngeri (jika laporan polisi Lesti, benar-benar terjadi, bukan bohong). Bagaimana mungkin, dia bisa menahan semua itu, kelak?
Ini suatu pilihan hidup yang rumit bagi korban.
Louise Robinson dan Professor Karen Spilsbury dalam buku mereka: "Systematic review of the perceptions and experiences of accessing health services by adult victims of domestic violence" (2008), menjelaskan, bahwa tidak gampang buat wanita korban Domestic Violence (KDRT) membawa perkaranya ke ranah hukum.
Buku itu ditulis berdasar hasil riset mereka di Amerika Serikat. Para korban KDRT di sana, tidak langsung lapor polisi. Melainkan, diawali lapor ke lembaga healthcare professionals (HCP).
Di HCP korban didampingi dan diterapi pakar psikologi. Korban diberi saluran peluapan emosi jiwa. Menceritakan semua detil KDRT. Psikolog mendengarkan dengan cermat. Lantas psikolog memberi advis, sampai pendampingan.
Setelah pendampingan, keputusan terserah pada korban, apakah perkaranya diteruskan ke polisi, atau berhenti sampai di situ. Kalau ke polisi, otomatis pasutri bercerai. Pelaku KDRT dihukum sangat berat.
Sebaliknya, kalau stop, korban kembali lagi ke suami. Serumah lagi. Dengan risiko, bisa terjadi KDRT baru, suatu saat kelak. Sebab, disimpulkan, mayoritas pelaku KDRT, mengulangi KDRT-nya, sepanjang hidup.
Di buku itu disebutkan, setelah korban melapor ke lembaga HCP, hasilnya bisa dua: Positif. Korban (isteri) merasa yakin bahwa pernikahan mereka tidak bisa dipertahankan lagi. Maka, lapor polisi, yang otomatis mereka bercerai.
Hasil ke dua, negatif. Korban tidak melanjutkan perkara ke polisi. Dia menahan diri. Di saat yang sama, korban merasa hancur, ikut bersalah atas terjadinya KDRT, lalu balik lagi serumah bersama suami(pelaku KDRT).
Buku tersebut, memetakan problematika KDRT secara detil. Juga mengulas, mengapa pria tega jadi pelaku KDRT terhadap isteri, yang semula (sebelum pernikahan) ia cintai. Atau, suami masih cinta ke isteri, sekaligus selalu terjadi KDRT.
Buku itu memberikan wawasan tentang potensi manfaat atau kelemahan pengungkapan. Tujuannya kepada para profesional di lembaga HPC. Agar para profesional HPC memberikan nasihat terbaik buat para korban.
Robinson dan Spilsbury, di buku mereka itu memberikan titik awal yang penting untuk lebih memahami hambatan dan fasilitator pengungkapan bagi para isteri korban KDRT.
Robinson dan Spilsbury menulis: "Untuk mengatasi hambatan ini, kami melakukan tinjauan sistematis terbaru dari studi kualitatif yang menyelidiki pengalaman dan persepsi korban DV (Domestic Violence) tentang pengungkapan dalam pengaturan perawatan kesehatan."
Intinya: Tidak gampang. Bagi korban KDRT memperkarakan kekerasan yang mereka alami. Apalagi, bagi pasutri yang sudah punya anak.
Karena pelaku KDRT jika terbukti di pengadilan, hukumannya tidak ringan. Pasal 44 ayat 1, UU KDRT, ancaman hukuman empat tahun penjara. Di Amerika, lima belas tahun penjara.
Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Sebab, anak-anak itu setelah dewasa kelak, bakal tahu bahwa ayah mereka penjahat.
Disimpulkan di buku itu, berdasar data World Health Organization (WHO), satu dari empat pernikahan di Amerika, terjadi KDRT. Sebagian korban KDRT melapor ke polisi, sebagian tidak.
Tentu, korban KDRT yang tidak melapor ke polisi, bakal memendam sakit hati. Sangat lama. Merujuk buku Robinson dan Spilsbury, pelaku KDRT bakal mengulangi perbuatan, sampai mereka mati.
Di kasus Lesti Kejora, publik sudah bisa menduga, apa yang terjadi pada Lesti-Rizky? Walau, dugaan publik belum tentu benar. Juga, publik sudah bisa mereka-reka, apa yang bakal dilakukan Lesti sebagai terduga korban?
Dasar dugaan publik, mengacu pada tindakan penyidik: Akan dibawa ke mana, perkara ini? (*)