COWASJP.COM – Gaya 'mlipir' KPK menyidik perkara Lukas Enembe, tertangkis hukum adat Papua. KPK kerepotan memeriksa Enembe, lalu 'mlipir', hendak memeriksa isteri dan anak Enembe. Tapi hukum adat Papua, melarangnya.
***
MLIPIR, Bahasa Jawa artinya berjalan di pinggiran. Dengan hati-hati. Berkonotasi mengendap-endap. Kata dasarnya plipir, berarti pinggir. Dan, gaya begini, baru kali ini dilakukan KPK.
Soal, rencana KPK memanggil paksa tersangka korupsi Lukas Enembe karena mangkir di dua kali panggilan, sudah... berlalu. Jadi masa lalu.
Sebab, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, di konferensi pers di Jakarta, Senin, 19 September 2022, mengatakan, KPK tidak akan menjemput paksa Enembe.
Alexander: "Kita lihat situasi. Tidak mungkin kan nanti kita paksakan, kalau di sana situasinya seperti itu."
Dilanjut: "Kita tidak ingin ada pertumpahan darah, atau apa pun kerusuhan, sebagai akibat dari upaya-upaya yang kita lakukan."
Kelihatan, KPK sudah mengukur kemungkinan yang bakal terjadi, seandainya Enembe dijemput paksa. Walaupun, jemput paksa dalam perkara ini, sah atas nama hukum.
KPK sepertinya sudah tahu, rumah Enembe di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Jayapura, Papua, kini dijaga ketat puluhan pemuda. Hasil pantauan pers, Sabtu, 1 Oktober 2022, rumah di pinggir jalan poros itu dijaga, tiga lapis.
Lalu KPK 'mlipir' memanggil isteri dan anak Enembe, Yulce Wenda, dan Astract Bona Timoramo agar datang ke Kantor KPK di Jakarta, Rabu, 5 Oktober 2022. Untuk diperiksa sebagai saksi perkara Enembe.
Tapi mereka mangkir tanpa pemberitahuan.
Alexander Marwata menyatakan, jika sekali lagi Yulce dan Astract tidak menghadiri undangan KPK, mereka bakal dijemput paksa. "Itu sudah sesuai KUHAP," ujar Alexander.
Itu, tertangkis hukum adat Papua. Seperti dikatakan kuasa hukum Enembe, Aloysius Renwarin, kepada pers di Jayapura, Senin, 10 Oktober 2022, begini:
"Ada kearifan lokal di Papua yang perlu diperhatikan penyidik KPK untuk memanggil Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe sebagai saksi ke Jakarta."
Dilanjut: "Karena mereka satu kesatuan, dengan Gubernur Papua Lukas Enembe. Jadi, tidak bisa dipisahkan."
Sedangkan, bunyi hukum adat Papua: Jika terjadi perang, maka yang tidak boleh disentuh (oleh musuh) adalah anak, isteri, dan orang tua yang sedang sakit, dari pihak lawan.
Aloysius: "Jadi secara adat di Papua, dengan memperhatikan kearifan lokal yang ada, terhadap istri dan anaknya, tidak dapat diganggu. Gubernur Papua sedang sakit, secara budaya juga harus dihargai."
Mengapa pakai hukum adat? Jawabnya, karena Enembe baru saja dikukuhkan sebagai Kepala Suku Besar Papua.
Aloysius: "Dengan pengangkatan beliau sebagai Kepala Suku Besar, segala masalah yang berhubungan dengan Lukas Enembe harus diselesaikan dengan hukum adat."
Lukas Enembe dikukuhkan sebagai Kepala Suku Besar Papua oleh Dewan Adat Papua di rumah pribadi Enembe di Jayapura, Minggu, 9 Oktober 2022.
Ketua Dewan Adat Papua, Dominikus Sorabut dalam keterangan pers, Senin, 10 Oktober 2022, menyatakan:
"Ini adalah proses organisatoris. Kami sudah melakukan rapat pleno resmi yang ke-11 di Jayapura. Tujuh wilayah semua hadir di pengukuhan ini."
Dominikus Sorabut : "Kami tidak disogok oleh siapa-siapa, tetapi terpanggil nurani untuk Ibu Pertiwi, sehingga kami datang dan memutuskan bahwa layak seorang Lukas Enembe dijadikan sebagai pemimpin besar tanah dan bangsa Papua atau Kepala Suku Besar Tanah dan Bangsa Papua."
Dilanjut: "Pengabdian itu tidak bisa diragukan. Beliau betul-betul membuktikan bagaimana beliau mencerdaskan anak bangsa, meningkatkan pembangunan kepada masyarakat adat. Kemudian membuka isolasi."
Akhirnya: "Tapi kemudian apa yang dibuat Pak Gubernur Lukas Enembe selama ini, itu tidak taruh dalam positif thinking. Tapi semua taruh dalam konteks negatif, dan narasinya itu mendiskriminasi."
Bahkan, kuasa hukum Enembe, Aloysius Renwarin, meminta KPK membuka blokir rekening bank Lukas Enembe.
Aloysius: "Gubernur Papua harus diberikan akses untuk pemulihan kesehatan, termasuk dibuka kembali rekening bank beliau yang diblokir, supaya bisa dipakai untuk berobat beliau."
Pusing-lah aparat KPK. Jemput paksa tersangka Enembe, sulit. Jemput paksa isteri-anaknya, pun repot. Karena, lokasi rumah isteri-anak, satu jua dengan rumah Enembe. Sang Kepala Suku Besar Papua.
Sedangkan, KPK sudah telanjur mengumumkan, Enembe tersangka korupsi. Tepatnya, diduga Enembe terima sogokan Rp 1 miliar di proyek infrastruktur Papua.
Rekening bank Enembe diblokir. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana kepada pers, Selasa, 13 September 2022 mengatakan, alasan pemblokiran, karena ada transaksi yang mencurigakan, terkait kasus Enembe yang disidik KPK.
Apakah perkara ini akan ditutup saja? Atau kah ada langkah baru KPK? Terserah KPK. (*)