COWASJP.COM – Bharada Eliezer, lucu. Sebelum menembak mati Brigadir Yosua, ia berdoa dulu. Lalu, dor... dor... dor... Yosua mati. Itu hasil sidang perdana terdakwa Ferdy Sambo di PN Jakarta Selatan, Senin (17/10). Apa doanya?
**
ISI doa itulah yang membuat orang kepo. Soal isi doa, jaksa penuntut umum beda pendapat dengan kuasa hukum Bharada Eliezer, Ronny Talapessy. Bertolak-belakang.
Padahal, jaksa dan pengacara sama-sama menafsirkan isi doa. Tidak tahu bacaannya. Tepatnya beda tafsir. Tapi sama-sama ngotot.
Kronologi terungkap di sidang, begini: Jumat, 8 Juli 2022 sekitar pukul 17.00 di rumah pribadi Ferdy Sambo, Jalan Saguling, Jakarta Selatan.
Sambo bertanya ke Eliezer: "Chard (namanya Richard Eiezer) kamu berani tembak Yosua?."
Setelah berpikir sejenak, Eliezer menjawab tegas: "Siap komandan..."
Lantas, Sambo menyerahkan ke Eliezer, sekotak peluru ukuran 9 milimeter. Peluru diterima, dimasukkan Eliezer ke dalam senjata Glock 17 bernomor seri MPY851.
Sambo ingin Yosua ditembak di rumah dinas, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Jarak antara rumah pribadi dengan rumah dinas, dekat. Naik mobil sekitar lima menit.
Maka, berangkat-lah rombongan dari rumah Saguling ke Duren Tiga. Dua mobil.
Mobil pertama, isi lima orang. Sopir, Ricky Rizal. Kiri depan, Yosua. Di tengah sendirian, Putri Candrawathi. Di belakang, Kuat Makruf dan Eliezer. Tiba di Duren Tiga, duluan.
Eliezer, begitu tiba langsung naik lantai dua, masuk kamar ajudan. Di situ ia berdoa. Pintu kamar ditutup. Putri Candrawathi masuk kamar di lantai satu. Yosua menerima telepon di taman depan. Lainnya pencar.
Mereka (kecuali Yosua) sudah tahu bahwa Yosua akan dibunuh di situ.
Mobil ke dua, isi tiga orang. Sopir Yogi, kiri depan AR. Di tengah sendirian, Ferdy Sambo. Tiba beberapa menit kemudian.
Begitu tiba, Sambo memanggil Eliezer. Yang dipanggil keluar kamar, turun ke lantai satu. Bersamaan, Sambo memerintahkan Kuat Makruf fan Ricky Rizal memanggil Yosua di taman.
Jaksa menyebut, saat itu masih ada kesempatan buat Ricky dan Kuat membatalkan pembunuhan. Misalnya, memberitahu Yosua agar lari, kabur. Tapi tidak dilakukan.
Kini, empat orang berdiri di dekat tangga. Sambo berhadapan dengan Yosua. Sedangkan, Eliezer, Kuat dan Ricky di arah jam sepuluh dan sebelas dari Yosua. Jarak antara Yosua dengan mereka sekitar satu setengah meter.
Titik mereka itu sekitar tiga meter dari kamar Putri Candrawathi, yang pintunya tertutup.
Sambo marah ke Yosua: ""Kamu tega sama saya, ya... Kamu kurang ajar sama saya, ya..."
Sambo ke Eliezer: "Chard... tembak..."
Eliezer sudah pegang pistol, tapi belum juga menembak. Mungkin grogi.
Sambo: "Woooi... cepat tembak..."
Dor... dor... dor...
Tembakan pertama kena dada kanan atas. Menembus tulang belikat. Tembakan ke dua menyerempet pundak kanan. Reflek, tangan kiri Yosua melindungi wajah.
Tembakan ke tiga, menyerempet lengan kiri, kena dagu. Yosua tumbang.
Dalam kondisi Yosua masih bergerak hendak bangkit, Sambo menembak belakang kepala, tembus hidung. Di situ tulang tengkorak Yosua pecah. Tewas.
Lantas, Sambo membuat rekayasa. Menembak-nembak dinding beberapa kali. Lalu, menempelkan pistol ke tangan Yosua. Mungkin, dengan maksud agar di gagang pistol ada sidik jari Yosua.
Tapi, soal doa Eliezer itu dipertanyakan jaksa di sidang. Tepatnya, jaksa membaca surat dakwaan.
Jaksa: "Saksi Richard Eliezer Pudihang Lumiu naik ke lantai dua, masuk ke kamar ajudan. Namun bukannya berpikir untuk mengurungkan dan menghindarkan diri dari rencana jahat tersebut, saksi Richard Eliezer justru melakukan ritual berdoa berdasarkan keyakinannya, meneguhkan kehendaknya sebelum melakukan perbuatan merampas nyawa Korban Nofriansyah Yosua Hutabarat."
Maksud jaksa, Eliezer malah meneguhkan niat membunuh dengan cara berdoa. Tafsir jaksa ini, unik juga.
Usai sidang, Pengacara Eliezer, Ronny Talapessy, ditanya wartawan, benarkah Eliezer berdoa untuk meneguhkan niatnya membunuh?
Ronny: "O, tidak begitu. Posisi klien kami ketakutan, karena tidak berani menolak perintah komandan. Ia berdoa agar penembakan tidak terjadi."
Umpama beda pendapat jaksa-pengacara ini dilanjut, bisa masuk ranah SARA.
Tim peneliti psikologi, Maguen S, Metzler TJ, Litz BT, Seal KH, Knight SJ, dan Marmar CR, dalam karya mereka: "The Impact of Killing in War on Mental Health Symptoms and Related Functioning" (2009) menyatakan: Polisi atau tentara yang membunuh orang, pasti mengalami guncangan jiwa.
Disebutkan: "Psikologi menyakiti orang lain, atau mengambil nyawa orang dalam menjalankan tugas, adalah kompleks. Pasti berdampak pada beberapa aspek kehidupan individu penembaknya."
Pembunuhan itu sendiri sudah berdampak psikologis pada pelaku. Ditambahi dampak lain, berupa: Kejadiannya dimuat di media massa, media sosial, diketahui masyarakat luas, diadili, dan dihukum. Ini dampak tambahan, dari dampak membunuh.
Maka, sekitar 87 persen pelaku kena (mengidap) Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Ini sakit jiwa tingkat menengah-ringan, yang jika tidak diterapi, bisa jadi gila beneran.
Gejala PTSD ada empat, berikut:
1) Ingatan pada peristiwa traumatis.
Pengidap PTSD sering teringat peristiwa yang membuatnya trauma. Bahkan, penderita merasa seakan mengulang kembali kejadian tersebut. Ingatan peristiwa traumatis juga sering kali hadir dalam mimpi buruk sehingga penderita tertekan secara emosional.
2) Kecenderungan mengelak sebagai reflek.
Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang membuatnya trauma. Maka, penderita akan menghindari tempat, aktivitas, dan orang yang terkait dengan kejadian traumatis tersebut.
3) Pemikiran dan perasaan negatif.
Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Juga kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya, dan merasa putus asa. Penderita jadi penyendiri, sulit menjalin hubungan dengan orang lain.
4) Perubahan perilaku dan emosi
Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meskipun tidak dipicu oleh ingatan pada peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini membahayakan dirinya dan orang lain. Penderita juga sulit tidur dan berkonsentrasi.
Tim psikolog itu dalam buku mereka, menyebut, itu terbukti pada tentara yang pulang dari Perang Vietnam, Perang Teluk, Afghanistan. Juga polisi yang pernah membunuh.
Dulu, di Amerika Serikat banyak veteran perang yang gila. Kini mereka diterapi, sepulang perang. Sedangkan polisi di sana, sudah ada lembaga yang menangani itu.
Tentara membunuh dalam perang, atau polisi membunuh penjahat, sebenarnya mereka sudah siap mental, sebelum membunuh. Mereka yakin di jalan yang benar.
Pembunuhan terhadap Yosua, bukan perang, juga belum terbukti penjahat. Mungkin, beban psikologis pelaku lebih tinggi daripada PTSD. Apakah karena itu Eliezer berdoa? (*)