COWASJP.COM – Pelecehan seks dan penelanjangan mahasiswa Universitas Gunadarma disoal dua pihak: Kementerian PPPA dan DPR RI. Sebab perkara distop polisi. Bagaimana kalau model begitu ditiru, kelak?
***
KOMENTAR dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) disampaikan Asisten Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan, Kemen PPPA, Margareth Robin Iche Maya Korwa kepada, pers Sabtu (17/12), begini:
"Pihak Kementerian PPPA prihatin dan sangat menyesalkan, pihak kampus Gunadarma menyelesaikan kasus itu secara damai."
Iche menyitir UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Juga, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
HARUS DISELESAIKAN SECARA HUKUM!!
Dilanjut: "Pihak berwenang harus mengedepankan penyelesaian perkara secara hukum. Kementerian PPPA mendorong penanganan kasus Gunadarma ini agar dituntaskan secara hukum demi tegaknya hukum yang adil. Memberikan efek jera, dan mencegah kasus serupa, kelak."
Terpisah, Anggota Komisi III DPR RI (membidangi kamtibmas) dari Fraksi PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal kepada wartawan, Sabtu (17/12) mengatakan:
"Dugaan pelecehan seksual dan persekusi mahasiswa Universitas Gunadarma mestinya diselesaikan secara hukum di muka pengadilan. Kasus ini tidak boleh dihentikan di tengah jalan. Agar menjadi pelajaran berharga bagi para peserta didik."
Pastinya, Cucun paham, bahwa Polres Depok menerapkan restorative justice di perkara itu. Sebab, korban tiga mahasiswi Gunadarma mencabut laporan. Sehingga perkara dihentikan.
Syarat penerapan restorative justice, antara lain, tipiring (tindak pidana ringan), dan korban memaafkan tindak pidana pelaku. Lalu damai. Disaksikan para pihak dan polisi. Perkara distop. Supaya penjara tidak kepenuhan.
Tapi, Cucun: "Dalam pandangan kami untuk kasus di Gunadarma tidak tepat diperlukan restorative justice. Karena dibutuhkan ketegasan hukum agar memberikan pelajaran dan efek jera bagi pelaku. Maupun calon pelaku kasus serupa di kemudian hari."
Dilanjut: "Pelecehan seksual tindakan pidana yang tidak hanya melanggar hukum nasional, tetapi juga norma agama dan sosial di masyarakat. Maka perlu ada tindakan tegas jika memang benar terjadi. Juga, pelaku persekusi harus ditindak tegas agar tidak terbiasa main hakim sendiri di kemudian hari."
Pendapat dua pihak itu senada. Khawatir. Jadi preseden. Bagaimana, kalau itu ditiru? Bagaimana, kalau penirunya kelak berkelit merujuk kasus itu? Bagaimana, kalau penirunya berkata: "Di Gunadarma gakpapa. Mengapa saya dihukum?"
Khawatir merusak sistem hukum. Sebab, law enforcement tidak serius ditegakkan. Meskipun, sudah pasti, polisi bertugas selalu serius.
Seperti diberitakan, 'Kasus Gunadarma' ada dua kejadian pelecehan seksual. Satu kejadian di Kampus Gunadarma, Depok. Satu lagi di sebuah rumah, kamar kos pelaku, di Bekasi Timur. Kejadian Jumat, 2 Desember 2022.
Pelaku dua mahasiswa Gunadarma. Korban tiga mahasiswi kampus yang sama.
Tiga korban melapor ke Polres Depok, Senin, 12 Desember 2022. Isi laporan, mereka dilecehkan secara seksual oleh dua mahasiswa. Laporan diterima pihak Polres Depok.
Tak diduga oleh para korban, ternyata pada Senin, 12 Desember 2022 dua pelaku 'diadili' teman-teman sekampus mereka. Di kampus. Karena, detil kejadian sudah sepuluh hari viral di medsos. Tanpa penyelesaian.
Dua pelaku diikat di pohon di dalam kampus. Ditelanjangi ramai-ramai. Dicekoki air kuning, yang katanya air kencing. Ada yang menendang kena badan pelaku.
Baru-lah saat itu heboh. Persekusi itu direkam video, diunggah ke medsos, viral. Dua pelaku diamankan security kampus, supaya tidak dihakimi massa. Lantas diserahkan ke Polres Depok. Menginap semalam di sana.
Esoknya, Selasa, 13 Desember 2022, tiga korban kompak, mencabut laporan. Mungkin mereka ngeri. Sudah ada hukum rimba. Para pelaku sudah ditelanjangi ramai-ramai. Tapi, alasan para korban mencabut laporan, kompak sama: "Karena kejadiannya sudah lama. Malu."
Terduga pelaku pelecehan seksual di Universitas Gunadarma dianiaya sejumlah mahasiswa. (FOTO: Tangkapan layar twitter @abcdyougoblog - kompas.com)
Pencabutan laporan, dilanjut perdamaian para pihak. Sebab, berdasar KUHP Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 tentang perbuatan cabul, adalah delik aduan. Hanya diproses polisi jika ada pengaduan pihak korban. Atau, kalau ada pengaduan lalu dicabut lagi, perkara pun ditutup polisi.
Maka, Polres Depok menerapkan restorative justice. Perkara ditutup. Selesai.
Jangan salah. Kegalauan pihak Kementerian PPPA dan Komisi III DPR RI, realistis. Logis. Kekhawatiran mereka, bahwa tindak main hakim sendiri bakal dicontoh pelaku lain, merujuk 'Kasus Gunadarma'.
Tak perlu lama. Langsung. Lha wong, arek Indonesia kok pakai contoh.
Sabtu, 17 Desember 2022, Herdi Arliyanto (43), warga Perumahan Villa Podo Rukun, Desa Sumbersekar, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jatim, kepada pers mengatakan, anak lakinya, inisial MFA (16) santri Ponpes An-Nur 1, Bululawang, Malang, babar-bunyek korban main hakim sendiri di Ponpes tersebut.
"Anak saya dikeroyok sekitar 30 santri, kakak kelasnya. Dipukuli, diinjak-injak. Lalu ia pulang. Di rumah pusing, muntah-muntah. Sekujur badannya berdarah. Kepalanya sobek. Saya bawa ke rumah sakit, lukanya dijahit tujuh."
Ceritanya, Kamis, 15 Desember 2022 malam, MFA tidur di masjid di dalam pondok. Mendadak dibangunkan beberapa temannya. Dibawa masuk ke ruangan. Di ruangan itu sudah banyak teman-temannya. Katanya, sekitar 30 remaja, sesama santri.
"Anak saya dituduh mencuri uang milik dua santri di lemari. Satunya Rp 50 ribu. Satunya Rp 100 ribu. Langsung, anak saya dihajar di situ. Jumat (16/12) pagi ia pulang."
Apakah MFA mencuri? "Saya tanya anak saya, katanya ia tidak mencuri. Ia sudah mengatakannya ke teman-teman santri. Tapi tetep dihajar."
Sudah dilaporkan Herdi ke Polsek Bululawang. Oleh pihak Polsek dianjurkan ke Polres Malang. "Di Polres Malang, terus visum di RSUD Kanjuruhan sampai jam 12 malam pada Jumat (16/12)," tuturnya.
Para santri An-Nur 1, terduga pengeroyok MFA, mungkin tidak mencontoh 'Kasus Gunadarma'. Mungkin mereka tidak tahu, di Gunadarma juga persis seperti itu.
Perkara beginian tidak perlu contoh. Bahwa di Gunadarma terjadi begitu, cuma mempertegas kasus serupa yang sudah banyak.
Tapi, perkara penelanjangan (bukan yang pelecehan seks) di Gunadarma belum ditutup polisi. Kasat Reskrim Polres Metro Depok, AKBP Yogen Heroes Baruno kepada pers, Sabtu (17/12) mengatakan, wajah-wajah pelaku penelanjangan (persekusi) sudah dipegang polisi.
AKBP Yogen: "Beberapa identitas sudah kita kantongi. Wajah-wajah yang tersebar di video, ya. Apabila nanti pelaku (peleceh seks) atau korban persekusi tersebut melakukan pelaporan, baru kita akan tindaklanjuti."
Seumpama terduga pelaku pelecehan seks, yang kemudian jadi korban penelanjangan, melapor ke polisi, juga tidak serta-merta bisa diusut polisi.
Sebab, kejadian penelanjangan adalah ekor dari perkara pelecehan seks. Saling terkait, ada hubungan kausalitas. Induk perkaranya, pelecehan seks. Sedangkan, induknya sudah ditutup.
Sebaliknya, induk perkara tidak mungkin diusut lagi. Karena sudah damai. Sudah restorative justice.
Mau tidak mau, pendapat dari pihak Kementerian PPPA dan Komisi III DPR RI di atas, sesungguhnya tiada guna. Percuma. Walaupun, usulan atau pendapat model beginian ini juga banyak. (*)