COWASJP.COM – "JANGAN besar karena jabatan. Besarkanlah jabatan".
Ketika kalimat itu diucapkan Pangdam V/Brawijaya yang baru, Mayjen TNI Farid Makruf MA, saya langsung membuka kotak kue di depan saya. Saya robek karton bagian sampingnya. Saya pinjam pulpen Johannes Dipa SH. Saya tulis kalimat itu di karton sobekan. Saya pun berkata dalam hati: "Kalimat ini akan saya jadikan lead di tulisan saya".
Lead adalah kalimat pembuka dalam sebuah tulisan. Mencari kalimat pembuka, adalah salah satu bagian yang tersulit dalam menulis.
Banyak orang memulai tulisan dengan kalimat asal-asalan. Padahal kalimat pembuka itu harus istimewa. Dulu ada doktrin jurnalistik dalam menulis: lead harus diambil dari bagian yang terpenting dalam seluruh tulisan.
Doktrin itu terkait dengan teknologi lama: di percetakan model lama kalimat disusun dengan huruf-huruf terbuat dari timah. Tidak bisa dipotong di tengah. Beda dengan zaman komputer sekarang ini. Anda bisa potong tulisan di bagian mana pun yang Anda mau.
Maka, dulu, bagian yang terpenting harus ditaruh di tempat paling awal di tulisan. Disebut lead.
Di zaman berikutnya muncul teori baru. Khusus untuk penulisan cerita. Feature. Leadnya tidak lagi yang terpenting, tapi yang termenarik.
Penting belum tentu menarik. Menarik belum tentu penting. Dengan menempatkan bagian paling menarik di lead pembaca akan tergoda untuk terus mengikuti cerita.
Saya memilih jalan yang lebih sulit: lead harus gabungan dari unsur terpenting dan termenarik.
Untuk membuat lead yang ''hanya'' mengutamakan ''penting'', hanya perlu berpikir 9 kali. Untuk membuat lead yang mengutamakan ''menarik'' juga hanya perlu berpikir 9 kali.
Maka untuk menggabungkan yang terpenting dan termenarik hitung sendiri: harus berapa kali berpikir.
Kadang tidak harus berpikir sama sekali. Seperti untuk membuat lead hari ini. Tinggal comot dari ucapan sumber berita. Sumber beritalah yang harus berpikir.
Benar. Kadang lead sudah ditemukan jauh sebelum memulai menulis. Lead tulisan hari ini, misalnya, sudah saya temukan ketika kalimat itu diucapkan Pangdam Farid Makruf. "Ini akan saya jadikan lead" tekad saya saat mendengar kalimat itu.
Baru dari Pangdam Farid saya mendengar kalimat seperti itu: penting sekaligus menarik.
Sayangnya sobekan karton kotak kue itu hilang. Saat Pangdam meninggalkan tempat, sobekan itu saya tinggal di meja. Saya mengantarkan Pangdam ke pintu depan. Saya juga ikut buru-buru naik mobil. Harus ke Pacet.
Di jalan saya menelepon kantor. Agar sobekan karton di atas meja itu difoto. Lalu dikirim dengan WA ke saya.
Sobekan itu diperlukan karena saya akan menulis Disway di dalam mobil, di perjalanan menuju Pacet. Bahan-bahan tulisan ada di sobekan itu.
Rupanya meja sudah dibersihkan. Tidak ditemukan lagi sobekan itu. Kue yang belum termakan pun sudah bersih. Saya tidak bisa mulai menulis tanpa sobekan itu.
Saya pun minta agar semua tempat sampah dikumpulkan. Sampahnya diperiksa. Sobekan itu harus ditemukan.
"Mungkin di kantong jaket bapak," ujar petugas kantor.
Saya mulai ngegas. Untuk apa telepon ke kantor kalau sobekan itu ada di kantong. Baju, celana, dan jaket saya masih yang itu-itu juga. Jangankan sobekan, uang pun tak ada.
Sampai tiba di Pacet, sobekan masih raib. Batas waktu sudah mepet. Kalau tulisan telat dikirim saya bisa dimarahi admin. Itulah kesempatan admin untuk marah, setelah hanya admin yang jadi sasaran marah perusuh.
Terpaksa saya mulai menulis. Tanpa catatan apa-apa. Anda sudah membacanya kemarin dulu. Hanya saja tulisan itu harus saya hentikan saat cerita sampai ke soal Poso. Nama-nama ekstremis Poso ada di sobekan itu. Nama-namanya khas Sulteng: sulit saya ingat. Hanya sedikit orang Sulteng yang saya ingat namanya. Salah satunya: Mastura. Ada juga Toana.
Maka sambungan tulisan itu saya janjikan baru bisa terbit di hari Senin. Siapa tahu perlu dua hari untuk menemukan sobekan.
Setelah tulisan Letnan Master selesai dikirim ke Disway, barulah saya dapat kabar: sobekan itu ditemukan. Hari sudah larut. Tulisan di sobekan itu sudah tidak lengkap. Ada yang tersobek ada yang tersiram air.
Bagaimana kalau sobekan itu tidak ditemukan? Bisakah edisi Senin muncul dengan cerita lanjutan? Bisa. Tapi saya harus menanggung malu: bertanya lagi ke Pangdam. Saya tidak boleh malu. Itulah doktrin lama saya kepada wartawan: jangan malu bertanya ulang kepada narasumber.
Apakah saya tidak pernah mengalami kesulitan dalam menemukan lead?
Kadang saya sendiri juga begitu sulit menemukan lead. Tidak semua sumber berita seperti Jenderal Farid. Wartawan sangat senang dengan sumber berita yang kata-katanya berisi, kalimatnya penuh warna dan ingatannya kuat.
Memang, kadang sumber berita juga tergantung pada pancingan pertanyaan. Kalau pertanyaan tidak bermutu sumber beritanya juga malas berpikir.
Mayjen TNI Farid Makruf MA. (FOTO: kailipost.com)
Tapi kalau sumber beritanya seperti Pangdam Farid penulisnya bisa sambil bersiul. Dari sekali bertemu Jenderal Farid saya bisa mendapat lima calon lead.
"Anak Pasar jadi Jenderal" di edisi kemarin dulu itu, juga kata-kata Farid. Lalu lead yang saya pakai hari ini. Demikian juga yang akan saya jadikan lead edisi besok pagi.
Bagaimana kalau sulit menemukan kalimat yang bisa dijadikan lead? Jangan berpikir terlalu keras. Tulis saja apa yang keluar dari pikiran. Pun kalau itu bukan pilihan terbaik. Lalu Anda hapus. Tulis lagi yang lain. Yang mungkin juga belum menarik. Hapus lagi. Sampai ketemu sendiri lead yang terbaik.
Zaman muda dulu, saat awal-awal jadi wartawan, urusan lead ini paling meneror. Maka setiap kali selesai wawancara pikiran langsung bertanya: apa lead-nya nanti. Sepanjang perjalanan pulang ke kantor pun pikiran fokus ke mencari lead. Kadang sampai lampu bang-jo tidak terlihat. Ditangkap polisi.
Begitu lead ditemukan, bagi saya, 50 persen tulisan sudah selesai. Cerita bisa dialirkan dari lead itu.
Lead itu ibarat ibarat gincu. Menarik untuk dilihat. Penting untuk dibayangkan. (*)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan
Edisi 14 Januari 2023: Tertutup Terbuka
Rizky Dwinanto
"Eh koyo ngene kabeh, emoh aku".. Dilakukan Megawati sambil menunjuk para kadernya. "Lha kan sudah ada pemimpin yang mustinya.." Dilakukan Megawati setelah memuji-muji dirinya yang cantik, karismatik, pintar dan pejuang. "Kok elu gak ngelihatin gua ya". Dilakukan setelah menyebut kader bertanya tentang calon pemimpin. Fixed, Pak Dahlan gak bisa baca arahnya juga seperti yang lainnya. Ibu Mega masih menginginkan kadernya mengajukan dirinya tetapi dengan cara perempuan yang muter-muter dulu. Ibu Mega kecewa karena kadernya lebih memilih nama Jokowi dan Ganjar dibanding dirinya. Disitulah terungkap ucapan kekesalan "koyo ngene kabeh, emoh aku". Saking sebelnya kepada Jokowi yang mengendorse Prabowo dan Ganjar, sampai Ibu Mega mengungkapkan kekesalannya. "Jokowi bukan siapa-siapa kalau gak ada PDIP". Pak Dahlan harus belajar pada saya untuk memahami perempuan.
adi ya adi
Sistem terbuka : yg nrima "uang" rakyat/pemilih Sistem tertutup : yg nrima "uang" pengurus partai Perdebatan hnya tentang siapa yg akan menerima "uang" Bgtu juga di rumah, boleh di coba, coba alihkan "sang penerima uang" (istri) ke yg lain.... Alamat yg td nya tiap malam selalu ter/(di)buka akan tertutup selamanya..... He...he
MZ.ARIFIN UMAR ZAIN
Gimana kalau presiden dipilih oleh gubernur2. Gubernur dipilih oleh Walikota2 & Bupati2. Walikota & Bupati dipilih oleh camat2. Camat2 dipilih oleh Kepala Kelurahan & Kades? Ka Lurah, Kader dipilih oleh Ka Rw. Ka Rw dipilih oleh Ka Rt? Ka Rt dipilih oleh Warga2 nya?
Sistop Tanjung
Dalam buku the power of gatholoco sistem terbuka apa tertutup bahkan telanjangpun tidak berguna, pemborosan anggaran saja ujungnya tetap cari duit dari komisi bansos sampai ijon proyek, yang benar tidak usah pemilu gantian aja tiap 5 tahun, di kopyok model arisan toh partai pemiliknya ya itu2 saja ga boleh diganti
anak rantau
Perang batin. "kamu harus komen sekarang!.. Tidak! Kamu harus komen!.. Tidak!... HARUSSS!!! iyadeh.... Daripada tidak pake celana dan beha. Hahahha. Reply: Imajinasi abah juga condong ke calon perempuan. Karna tidak ada laki laki pakai beha, hahaha Reply, #sunting_ulang_tulisan
Jo Neka
Saya salah satu pengujinya..Pak Dahlan Riya'..hihiii
Mirza Mirwan
Sebenarnya pelaksanaan pemilu sistem proporsional terbuka baru berlangsung tiga kali: 2009, 2014, dan 2019. Tetapi sudah dipelajari sejak awal milenium ke-3. Saat itu KPU -- Anas Urbaningrum masih menjadi komisioner -- mengadakan studi banding ke Norwegia. Saya lupa tahunnya. Di Norwegia memang jumlah parpol "ora mekakat" banyaknya. Padahal parlemen Norwegia, Stortinget, hanya punya 169 kursi. Nah, di Norwegia itulah KPU mempelajari pemilihan dengan sistem proporsional terbuka. Tetapi pada pemilu 2004 belum sepenuhnya menggunakan sistem terbuka, kecuali membagi daerah pemilihan yang sebelumnya sebanyak jumlah provinsi menjadi dapil-dapil kecil dan mencantumkan nama caleg di kertas suara. Barulah pada pemilu 2009 perolehan kursi berdasarkan perolehan suara terbanyak. Walaupun di nomor buncit kalau suaranya terbanyak (di partainya), ia berhak atas kursi yang dimenangi partai Bupati Lumajang yang disebut Pak DI mungkin mantan anggota dewan hasil pemilu 2009 atau 2014. Alih-alih selisih 6 suara, selisih 1 suara saja juga berhak atas kursi tersebut. Sayangnya, waini, KPU mengadopsi sistem pemilu di Norwegia yang warganya hidup makmur. Politik uang tidak berlaku di sana. Alih-alih hanya uang senilai 2kg beras dan 4bks mi instan, bahkan senilai 1kg daging sapi juga tak membuat pemilih Norwegia terpikat. Sayangnya lagi, waini yang menjengkelkan, sistem pemilu mengadopsi Norwegia, tetapi malah menetapkan parliamentary threshold. Padahal di Norwegia tidak ....
Lagarenze 1301
Maaf, posting ulang karena ada koreksi urgent nama Dekan FISIP Unhas: Ralat sedikit, Pak Dis. Dekan FISIP Unhas saat ini adalah Dr Phil Sukri MSi (2022-2026). Sedangkan Prof Syukur Abdullah adalah nama auditorium tempat promosi doktor berlangsung. Prof Syukur Abdullah (lahir 1939, meninggal 1992) adalah cendekiawan Unhas yang meraih gelar doktor pada 1985 (usia 46 tahun, muda untuk ukuran saat itu), dan dikukuhkan jadi guru besar administrasi negara setahun kemudian. Ia memang pernah jadi Dekan FISIP Unhas dan namanya diabadikan menjadi nama auditorium. Akan halnya Erniwati yang meraih gelar doktor dengan penguji eksternal Pak Dis, ia adalah wartawati senior Harian Fajar Makassar. Ia merangkak dari bawah sebagai reporter hingga kini menjadi Wakil Direktur Bisnis Harian Fajar. Harian Fajar sendiri tak lain korannya Pak Dis bersama Alwi Hamu.
No Name
abah ini kadang memang suka amnesia,mendukung sistem pemilu mau di kembalikan ke tertutup. apakah sudah lupa dengan korup nya partai2 politik? dengan sistem tertutup malah jelas2 merugikan rakyat pemilih. partai bisa seenaknya "dagang sapi" intinya sistem tertutup sangat disukai partai yg sudah besar dan lama berkuasa.
Jimmy Marta
Saya setuju. Terbuka di tempat tertutup. Tertutup ditempat terbuka. Ayo siapa yg mau membuka yg ditutup. Siapa yg mau menutup yg terbuka...
yea aina
"Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu" : : Kiranya rakyat jelata negeri "piker keri" yang cuma bisa mengamat-amati politik, masih ingat pesan Ali bin Abi Thalib di atas.
Leong putu
Kecut sangat rasa cuka / Nyengir mata dibuatnya / Entah tertutup atau terbuka / Pun melekat mental korupsinya / .... 365_mantun korupsi
sapu jagat
Siapa bilang sistem terbuka penyakitnya parah? Dan sistem tertutup tanpa penyakit. Ibarat sistem terbuka penyakitnya darah tinggi. Dan sistem tertutup penyakitnya gula darah. Pilih yang mana? heheh
yea aina
Nyoblos pemilu: 5 tahun sekali, menentukan wakil rakyat dan presiden. Nyoblos "lainnya": 5 kali se....., menentukan keharmonisan keluarga kita.
Leong putu
Nyoblos itu sebaiknya memang terbuka di ruang tertutup dan jangan sampai difoto apalagi divideo. /LP/
Mirza Mirwan
Untuk sekadar informasi. Anggota House of Representatives DPR AS) saat ini hanya 435 orang. Anggota DPR kita 575 orang. Artinya selisih 140 orang lebih banyak di kita. Padahal penduduk kita 50-an juta lebih sedikit dari AS. Betapa mubazirnya APBN untuk menggaji anggota DPR.
Rihlatul Ulfa
Sungguh sulit bagaimana kasus duren tiga bisa terpecahkan/ menggiring mereka semua yg terlibat didalamnya/tangisan di Jambi membawa berkah/ mungkin ada doa ibu yg terselip disana/ autopsi sampai diadakan dua kali/memperjelas bagaimana teka teki itu dinanti/
Er Gham
Dua kali pengalaman nyoblos calon anggota dewan, saya pilih yang saya kenal saja. Misalnya tokoh masyarakat atau artis. Jika tidak ada, saya pilih yang mukanya 'agak-agak' enak dilihat. Atau jika tidak ada juga, saya pilih yang namanya unik. Sederhana saja.
Mirza Mirwan
Bung Jimmy, juga Bung Er Gham, belum sepenuhnya paham cara membagi kursi dalam sistem proporsional terbuka. Perasaan, saya pernah menjelaskan bahwa pembagian kursi menggunakan metode Sainte Lague. Jumlah suara dibagi dengan bilangan ganjil: 1,2,3,5,7, dst Bukan dengan bilangan pembagi pemilih (BPP) seperti pemilu 1999 dan 2004. Ilustrasinya begini. Dalam sebuah dapil dengan jatah 8 kursi, misalnya. Penentuan kursi pertama, perolehan suara tiap partai dibagi 1. Hasil bagi terbanyak yang memperoleh kursi pertama. Selanjutnya untuk kursi ke-dua, partai yang sudah memperoleh kursi tadi dibagi 3, sementara partai lain masih dibagi 1. Begitu seterusnya, yang sudah dapat 1 kursi dibagi 3, yang 2 kursi dibagi 5, yang 3 kursi dibagi 7. Sementara yang belum mendapat kursi tetap dibagi 1. Apakah ketua umum parpol boleh melemparkan suara pemilih yang menyoblos partai untuk caleg yang suaranya sedikit? Tidak bisa. Kewenangan menentukan caleg peraih kursi ada di KPU. Suara yang dibagi adalah akumulasi suara untuk partai dan untuk caleg. Dan KPU menetapkan peraih kursi adalah caleg dengan suara terbanyak di partainya. Kalau mendapat kursi lagi ya peraih suara terbanya berikutnya. Memang bisa terjadi, misalnya, amumulasi suara 250000 suara, tetapi peraih suara terbanyak hanya 40000 dan 25000. Kalau misalnya mendapat 3 kursi, kursi pertama untuk yang 40000, ke-2 untuk yang 25000, dan ke-3 untuk peraih suara terbanyak berikutnya. Ribet? Memang.
Mirza Mirwan
Orang luar memandang demokrasi di Indonesia sudah mapan (established). Setidaknya begitulah pandangan beberapa teman saya. Dada terasa mengembang, tentu saja. Bangga dong negara saya dipuji teman-teman dari negara lain. Tetapi di dalam hati saya "ngedumel". Pada kenyataannya demokrasi kita hanyalah demokrasi semu (pseudo-democracy) atau demokrasi seolah-olah (democracy as if). Betapa tidak. Dalam proses pencalegan, dari pendaftaran ke parpol saja sudah dikenai mahar. Artinya perlu uang. Dalam kampanye, untuk menangguk suara perlu amplop atau sembako. Tidak terang-terangan, tentu saja. Artinya perlu uang lagi. Proses demokrasi beraroma politik uang seperti itu jelas bukan demokrasi yang sebenarnya. Zaman orde baru tidak dikenal politik uang, tetapi ada intimidasi. Kalau tidak menyoblos beringin urusan dengan kelurahan dipersulit, misalnya. Politik uang dan intimidasi jelas mencederai demokrasi. Dalam demokrasi kita, dari dulu sampai sekarang, anggota DPR adalah wakil partai Bukan wakil Rakyat. Buktinya, untuk mensahkan sebuah RUU menjadi UU, misalnya, bukan mekanime voting yang digunakan. Yang dipakai adalah persetujuan fraksi. Kalau jumlah fraksi yang menyetujui anggotanya sudah mencapai 2/3 total kursi DPR, ya sudah...tok-tok-tok. Sah. Masih banyak cacat demokrasi kita. Sebanyak 575 anggota DPR yang sekarang sudah terlalu banyak, menurut saya, bila dibandingan dengan AS yang penduduknya 50-an juta lebih banyak. Eh, 2024 nanti malah bertambah lagi, 580.
Er Gham
Jika proporsional terbuka, apakah penentuan nomor urut berdasarkan besarnya 'MAHAR'? Tidak terkenal, tapi punya uang banyak, pasang di nomor awal, misal nomor 1 dan 2. Artis terkenal pasang nomor 3. Jika artis terpilih dengan suara terbanyak, dan masih menyisakan suara yang banyak, maka nomor 1 dan 2 itu bisa ikut lolos. Nomor nomor lain di bawah hanya sebagai 'penggembira' saja.
Waris Muljono
Inilah satu satunya UU paling aktif jadi pembahasan : UU pemilu. Isinya bisa berubah, bahkan bisa berubah 180 derajat. Yg terdampak dengan uu pemilu ini? Hanya sebagian keciiiiiiiiiiiiil rakyat Indonesia , yaitu : presiden dan wapres, anggota dpr/mpr, dprd, Gubernur, bupati/walikota. Selain mereka, ga ngaruh....
Fa Za
Partai politik, yg direpresentasikan dalam bentuk fraksi di parlemen, sejatinya adalah perwakilan rakyat yg memilih partai itu karena partai telah menawarkan program pembangunan untuk kesejahteraan. Namun realitasnya, mereka melupakan rakyat, partai politik (dan fraksi di DPR) hanya untuk anggota partainya sendiri. Lebih miris lagi anggota bekerja untuk ketua umumnya. Bukan untuk rakyat.
Komentator Spesialis
Sistem terbuka atau tertutup tak terlepas dari sistem penentuan siapa yang akan terpilih dan mendapatkan kursi. Tapi ngapain ribet amat sih sampai debat bertele tele. Kalau memang kurang kursi, kan tinggal ditambah saja. Tinggal minta tukang mebel membuatkan kursi baru.
*) Dari komentar pembaca http://disway.id