Revolusi Akhlaq vs Revolusi Mental

Dr Mohammad Natsir, pahlawan nasional. (FOTO: perpustakaan.kpk.go.id)

COWASJP.COM –  

SEWAKTU mengawali karir saya sebagai wartawan di majalah Media Dakwah, awal 1980-an, saya sering mendengar keluhan beberapa aktivis muda di lingkungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat. Yakni soal sikap politik para mantan pimpinan Partai Masyumi yang terlalu mengedepankan sikap “husnudz dzan” (baik sangka). Sehingga mereka mudah dikalahkan oleh kelompok lain yang berpolitik dengan menghalalkan segala cara. 

Selain Dr. Mohammad Natsir yang merupakan Ketua Umum DDII, di kantor pusat jalan Kramat Raya 45 Jakarta itu, sering berkumpul para mantan politisi penting Partai Masyumi. Misalnya, mantan Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Syafrudin Prawiranegara, mantan Perdana Menteri Dr. Burhanudin Harahap, tokoh perunding handal Roem-Rojen Mr. Mohammad Roem, mantan Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito, politisi kawakan Mr. Kasman Singodimejo, HM. Yunan Nasution, Dr. Anwar Haryono dan lain-lain. 

Sejumlah aktivis muda menganggap para politisi tua – yang betapa pun adalah para tokoh yang tetap mereka hormati – itu terlalu polos dalam politik. Apakah karena sebagian besar dari mereka adalah para tokoh agama yang sangat kukuh memegang prinsip-prinsip ajaran Islam? Yang secara terbuka selalu mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Terlepas dari berbagai perkembangan politik yang terjadi di era Orde Lama maupun Orde Baru, yang jelas persoalan ini tak pelak menimbulkan pro dan kontra. 

Tentu saja, ada di antara para tokoh muda yang mendukung sikap politik para orang tua tersebut. Sebagai bagian dari tradisi menunjukkan akhlaq yang sangat tinggi dari tuntunan ajaran Islam. Apa pun dampak dan akibatnya. Meski demikian, bukan tak ada yang memperlihatkan kekecewaan mereka. 

Dalam hal ini, terdapat beberapa hal yang jadi perbincangan mereka. 

Pertama, berkenaan dengan sikap husnudz dzan yang terlalu dikedepankan dalam politik. 

Kedua, terkait pernyataan-pernyataan yang terlalu terbuka. Sehingga dengan mudah mendapatkan perlawanan dari para lawan politik. 

Bagaimanapun, Islam memang memberikan larangan yang sangat keras terhadap apa yang disebut “su’udz dzan” (buruk sangka). Dalam Alqur’an Surah Alhujurat 12, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan). Karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa. Dan janganlah sebagian kalian mencari-cari keburukan orang dan menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Persoalannya, bagi mereka yang tidak suka dengan sikap yang terlalu mengedepankan “husnudz dzan”, harus dibedakan di mana mesti ber-husnudz dzan dan di mana pula tidak. Dalam pergaulan hidup sehari-hari, antara masing-masing orang, tentu dapat diterima bahwa sikap su’udz dzan itu diharamkan. Tapi bagaimana dalam percaturan politik? Ketika banyak tokoh politik tidak lagi mengindahkan larangan-larangan yang ada dalam ajaran Islam. Berpolitik dengan menghalalkan segala cara. Yang penting bisa mencapai tujuan. Ibarat kerbau yang dicucuk hidungnya. Membiarkan tanduk berkubang, asal perut bisa makan. 

Revolusi Akhlaq vs Revolusi Mental

Terlepas dari pro-kontra di atas, semestinya sejarah perpolitikan masa lalu di tanah air dapat dijadikan pelajaran berharga. Betapa pun ada yang menganggap salah, namun sikap para pemimpin Islam masa lalu itu mesti diacungi jempol juga. Karena tidak sedikit dari sikap dan perilaku yang mereka tunjukkan merupakan pelajaran sangat berharga terkait akhlaq seorang pemimpin Islam. 

Harus diakui bahwa kita miris menyaksikan permainan politik yang berlangsung sekarang. Semangat “Revolusi Mental” yang digaungkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak 2014 sampai sekarang tidak jelas bagaimana kelanjutannya. Setelah delapan tahun berlalu, revolusi mental itu ternyata hanya menjadi slogan kosong yang tidak berarti apa-apa. Tidak membuahkan apa-apa. 

Yang terjadi justru sebaliknya. Mental bobrok sejumlah pejabat yang kian menggila seperti dipertontonkan secara sangat telanjang. Menkopolhukam Prof. Dr. Mahfud MD mengatakannya dengan terus-terang. Bahwa tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di era Jokowi bahkan lebih buruk dibanding era Soeharto. 

Selain itu, sekarang perekonomian anak bangsa – khususnya bagi kalangan menengah bawah – semakin terpuruk. Penegakan hukum carut marut. Nyawa orang dibuat terlalu murah. Bahkan oleh aparat yang mestinya jadi pengayom rakyat. Dan banyak persoalan lain yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Yang memperlihatkan bahwa semangat revolusi mental itu ternyata hanya dimaksudkan sebagai alat pencitraan semata. 

Dengan begitu, tentu kita rindu akan sikap dan perilaku para pemimpin Islam terdahulu. Yang dengan resiko apa pun tetap memperlihatkan akhlaq dan budi pekerti yang tinggi. Kita tidak tahu persis apakah “Revolusi Akhlaq” yang digaungkan Habib Rizieq Shihab (HRS) sepulangnya dari pengungsian di Mekah, Arab Saudi, beberapa tahun lalu adalah jawaban dari situasi yang ada sekarang. Untuk menjadikan kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya anak bangsa berlandaskan akhlaq yang mulia. 

Mengapa mesti begitu? Tentu karena kita tahu persis banyak perilaku pejabat yang mesti selalu dikoreksi. Ketika dusta jadi kebiasaan sehari-hari. Tipu muslihat diumbar tanpa malu-malu. Aib dan keburukan orang tak hentinya dicari-cari. Terutama terhadap orang-orang yang jadi lawan politik. Kekuasaan digunakan untuk mengancam dan mengintimidasi. Bujuk rayu dengan tawaran tahta, harta dan wanita tak jarang juga dilakukan. Semua bertolak belakang dengan konsep revolusi mental yang dulu digaungkan. 

Padahal di dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian berprasangka (dzan), karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian saling mencari-cari berita atau mendengarkan aib orang. Janganlah kalian mencari-cari keburukan orang. Janganlah kalian saling menipu. Janganlah kalian saling mendengki. Janganlah kalian saling membenci. Janganlah kalian saling memboikot, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Berkaca kepada pesan Rasulullah di atas, apakah anda dapat melihat bahwa semua itu sudah dilanggar? Bukankah semangat revolusi mental yang diagung-agungkan itu tak pernah dijalankan? Tak pernah disentuh. Bagaimana mungkin bisa dievaluasi? (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda