COWASJP.COM – Setelah dukun Wowon, dukun Slamet. Sama-sama mengaku pengganda uang. Uniknya korban percaya. Padahal mereka bukan orang miskin. Wowon dapat Rp 1,5 miliar. Pendapatan Slamet belum diungkap polisi. Klien terakhir setor Rp 75 juta.
***
SUDAH ada contoh dukun Wowon, dengan jumlah korban dibunuh sembilan orang, masyarakat tidak takut. Tetap berusaha menggandakan uang. Lalu muncul dukun Slamet dengan jumlah korban dibunuh 12 orang.
Bahwa korban bukan orang miskin, sudah jelas. Mereka menyetorkan puluhan, bahkan ratusan juta rupiah, ke dukun untuk digandakan.
Berikut ini sekilas perbandingan Wowon (60) dengan Slamet (45) dalam hal perolehan uang.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko kepada pers, Kamis, 26 Januari 2023 menjelaskan, dari dua korban hidup saja Wowon meraup Rp 363 juta.
Yakni dari Hana, TKW di Arab Saudi, sudah transfer ke Wowon Cs Rp 75 juta. Untuk digandakan, dijanjikan Wowon bisa berubah jadi Rp 3 miliar.
Lalu dari Aslem, TKW Saudi juga tapi sudah pulang ke Karawang, Jabar, senilai Rp 288 juta. Untuk digandakan, kata Wowon bisa jadi Rp 5 miliar.
Hana dan Aslem menyetorkan uang mereka tidak spontan, melainkan bertahap setiap bulan, diambilkan dari gaji mereka sebagai TKW. Sedangkan jumlah uang dari para korban lainnya masih dilacak polisi. Karena, tentunya penyetoran uang itu tanpa bukti.
Pendapatan Slamet belum diumumkan polisi. Slamet membuat aturan, klien harus membayar mahar di muka (besaran belum diumumkan). Juga, klien harus menyetorkan uang yang akan digandakan.
Korban Slamet yang terakhir adalah Purwanto (dibunuh Slamet) sudah setor Rp 75 juta. Untuk digandakan jadi Rp 5 miliar.
Purwanto mendatangi rumah Slamet di Desa Balun, Banjarnegara, Jateng, Kamis, 23 Maret 2023. Ia dari rumahnya di Cibadak, Sukabumi, naik mobilnya, Wuling. Itulah hari pembunuhannya.
Dari jumlah setoran Purwanto dan nilai mobil yang ia bawa, jelas ia bukan orang miskin. Setoran para korban Slamet lainnya masih disidik polisi.
Mengapa mereka mau menggandakan uang ke dukun, dengan risiko mati? Mengapa mereka tidak menggandakan uang melalui investasi bisnis, dengan risiko rugi? Jawaban sesungguhnya cuma bisa diberikan para korban. Yang mayoritas sudah mati.
Orang selain korban cuma bisa menduga-duga penyebab mereka menggandakan uang: Serakah. Berdasar nilai miliaran rupiah yang jadi target penggandaan.
Atau, mereka merasa miskin meskipun sejatinya tidak miskin. Berarti, mereka miskin dalam pikiran.
Mantan Menteri Perumahan dan Pengembangan Kota Amerika Serikat, Benjamin Solomon Carson Sr. dalam wawancara dengan The Washington Post, dimuat 20 Juni 2017, bertajuk: “Poverty really is the result of a state of mind, among rich people”, menyebut miskin dalam pikiran sebagai “poverty is a state of mind”.
Itu, menurut Carson, diidap sekitar sepertiga populasi AS. Mereka merasa miskin meskipun sebenarnya tidak miskin.
Carson: “Jika orang memiliki pola pikir yang benar, maka akan membuat orang keluar dari kemiskinan.”
Mungkin, itu pula yang diidap para korban penggandaan uang di Indonesia. Mereka, karena merasa miskin sehingga perlu menggandakan uang dengan cara cepat.
Tapi, pendapat Carson dilawan Prof Joan Maya Mazelis. Dalam forum berita yang sama, yang dimuat The Washington Post. Prof Mazelis adalah guru besar sosiologi di Rutgers University, Camden, AS. dengan sanggahan, bahwa pendapat Carson adalah benar dan salah.
Benar untuk sebagian orang tidak miskin tapi merasa miskin. Sebaliknya, salah untuk orang yang benar-benar miskin, atau miskin absolut.
Prof Mazelis tidak asal debat. Dia melawan pendapat Carson berdasarkan hasil riset dia di Philadelphia, AS, yang dibukukan berjudul: “Surviving Poverty: Creating Sustainable Ties among the Poor” (2017).
Mazelis: “Masalahnya bukan orang yang hidup dalam kemiskinan perlu memiliki sikap yang lebih baik untuk keluar dari kemiskinan. Kita semua harus memiliki sikap yang lebih baik dalam hal orang miskin.”
Menurut Mazelis, Carson menggabungkan sebab dan akibat. Selama orang miskin merasa putus asa dan tidak berdaya, maka kemiskinan yang mereka hadapi itulah yang menyebabkan perasaan ini. Bukan sebaliknya.
Dijelaskan, sekitar 47 juta orang di AS hidup di bawah ambang kemiskinan. Kemiskinan tidak selalu berarti pengangguran atau penerima tunjangan kesejahteraan dari negara. Hanya sebagian kecil dari mereka yang berada di bawah garis kemiskinan resmi, menerima tunjangan kesejahteraan .
Garis batas kemiskinan di AS adalah keluarga beranggota empat orang yang berpenghasilan USD 24.600 (Rp 369 juta) per tahun. Atau Rp 30,75 juta per bulan. Atau sekitar sejuta rupiah per hari.
Di bawah garis batas itu berarti miskin.
Nah, mereka yang berpenghasilan di bawah garis batas itu, menurut Mazelis, tidak bisa dijustifikasi seperti pendapat Carson. Sebab, mereka yang miskin ini sudah berjuang secara benar, berpikir benar, tetap saja miskin.
Tidak mungkin dibalik, bahwa karena mereka berpikir salah, akibatnya mereka jadi miskin. Tapi, mereka miskin absolut, sehingga mungkin saja kemudian mereka berpikir secara salah.
Dikaitkan dengan klien dukun Wowon dan dukun Slamet, cocok dengan pendapat Carson. Bahwa para klien itu miskin dalam pikiran. Akibatnya bisa menjadi miskin beneran. Bahkan dibunuh dukun.
Pendapat Carson dan teori Mazelis bisa jadi renungan para calon korban dukun pengganda uang. Sebab, setelah dukun Wowon dan Slamet sudah dipenjara sekalipun, tetap bakal muncul dukun serupa. Karena ‘pasarnya’ ada. Yaitu orang yang merasa miskin.
Sebaliknya, dukun Slamet, seperti dituturkan isterinya, Seneh (49) kepada pers, Rabu (5/4) bahwa Slamet sudah setahun terakhir tidak pernah pulang. “Ia sudah tinggal dengan perempuan lain,” ujar Seneh.
Jadi, Slamet diduga menipu lalu membunuh 12 kliennya, mengambil uang mereka secara tidak sah, untuk membiayai hidup bersama selingkuhan.
Ironis. Para klien adalah orang tidak miskin yang merasa miskin. Dukun Slamet sebaliknya. Orang miskin yang merasa kaya, sehingga bisa kawin lagi. (*